Perkembangan Industri – Pendahuluan: Local Labour dan Kota Kreatif
Wacana ekonomi budaya (cultural economy) yang kami usung sebagai pemantik dari penulisan paper ini, berangkat dari adanya perkembangan industri kreatif yang memunculkan creative labour. Tenaga kerja kreatif yang dibahas oleh Scott (2010) merupakan para pekerja yang direproduksi dari suatu kota dengan sistem tertentu. Dalam konteks local labour, para pekerja tersebut menempati posisi yang tinggi—yang mana sisi kreativitas mereka berguna bagi suatu perusahaan tertentu serta menciptakan ekosistem baru dalam budaya perusahaan. Munculnya perusahaan mikro-meso-makro secara kultural di perkotaan menyebabkan implikasi yang kompleks. Beberapa tingkatan perusahaan mampu merekrut pekerja kreatif yang sesuai dengan permintaan perusahaan. Namun bagaimana dengan nasib local labour yang tidak memiliki kapabilitas serupa? Atas tingginya permintaan industri kreatif di kota, local labour yang menurut Scott menjadi subjek pada perkembangan industri budaya, memiliki pengaruh selain untuk perusahaan, juga untuk keberlangsungan pegawai itu sendiri.
Pada tataran masyarakat perkotaan, dimensi geografis kota tidak lagi dilihat sebagai grid point. Namun, reproduksi dari kota tersebut memiliki implikasi terhadap perkembangan industri kreatif. Dalam artian, kota sebagai sebuah tempat memiliki nilai yang bisa dipakai oleh labour untuk mendapatkan manfaat di dalamnya. Menelaah lebih dalam lagi cultural economy perkotaan mampu menciptakan lapangan kerja, waktu luang, dan kehidupan sosial tumbuh dalam hubungan simbiotik (2010: 124). Kota juga memberikan dampak yang jauh lebih dalam terhadap energi kreatif, hal ini dinyatakan sendiri oleh Scott:
“I shall argue that the creative energies of this field are fundamentally powered by the production system of the city, though always in the context of a wider urban environment” (2010: 121).
Dengan demikian, kota mereproduksi sesuatu yang cultural profitable, perusahaan atau firma akan menyesuaikan untuk mencari keuntungan dari nilai budaya kota tersebut. Para local labour akan dihadapkan oleh dua opsi: memilih ikut menjadi creative labour atau bertumpu pada lokalitas skill yang dimilikinya.
Bersamaan dengan itu, pekerja lokal menghadapi banyak kesulitan sistemik karena ketidakamanan yang ditandai dari pasar kerja, serta sistem yang cepat berputar dari mode dan selera yang selalu mengancam—mampu menggeser keterampilan dan reputasi mereka. Kota tidak lagi dianggap sebagai tempat secara geografis, melainkan ruang yang menghasilkan komoditas dalam konteks cultural economy serta produsen kreativitas. Kota dengan sendirinya menciptakan ruang-ruang baru untuk mengakomodasi creative labour dalam menjawab tantangan industri kreatif. Menanggapi ketidakamanan situasi ini, pekerja lokal biasanya menghabiskan cukup banyak waktu di luar tempat kerja untuk sosialisasi strategis satu sama lain dalam upaya untuk mempertahankan keunggulan di pasar industri kreatif. Dengan demikian, kami mencoba mencari tahu bagaimana keberlangsungan local labour menghadapi dinamika industrialisasi tenaga kerja yang mengarah kepada creative labour yang diciptakan oleh sistem reproduksi kota.
Pada paper ini, kami ingin mencari tahu lebih dalam bagaimana sebenarnya local labour menjadi sebuah hasil dari penciptaan industri kreatif di kota mengalami ketimpangan dalam aksesibilitas tenaga kerja industri kreatif. Tentunya melalui pertanyaan: mengapa kota kreatif memiliki ketimpangan dari aksesibilitas local labour dalam meraih industri kreatif? Serta bagaimana sebenarnya local labour beradaptasi terhadap ketimpangan tersebut? Oleh karena itu, tulisan ini tidak akan banyak bertumpu pada definisi atau pengertian mengenai kota atau industri kreatif, melainkan bagaimana sebenarnya analisis kami terhadap sisi lain kota kreatif ini–yang mana menimbulkan pengaruh terhadap local labour dan ketimpangan dalam relasi tenaga kerja.
Ketidaksetaraan Aksesibilitas Local Labour
“Many people lack access to the relatively exclusive benefits, following the process of gentrification” -Avery, 2006
Pernyataan di atas merupakan inti dari ketimpangan akses local labour terhadap pembicaraan tulisan ini. Avery (2006) dalam pembahasannya ia menjelaskan bahwa Banyak orang tidak memiliki akses ke manfaat yang relatif eksklusif yang telah diciptakan sistem tertentu, mengikuti proses gentrifikasi. Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa akses yang dapat diraih untuk mendapatkan sisi kreativitas kota hanya dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Dalam hal ini, Gentrifikasi dapat berupa hal yang positif ketika terjadi perbaikan permukiman untuk memperbaiki/menghidupkan lingkungan yang kurang baik. Akan tetapi, gentrifikasi dapat berupa hal yang negatif ketika perubahan tersebut justru merusak keadaan ekonomi, sosial maupun budaya penduduk yang telah ada dan mengakibatkan mereka tidak dapat bertempat tinggal di daerah tersebut (Cahaya, 2016).
Dalam kajian perkotaan, masyarakat kota yang tadinya tinggal di urban regional growth area akan termarginalkan seiring dengan perkembangan dan pembangunan kota kreatif yang mengarah kepada pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, yang kami bahas di sini adalah bagaimana aspek sosial berupa ketimpangan akses menjadi masif terjadi. Dengan demikian, industri kreatif dalam masyarakat perkotaan menggeserkan nilai sosial–yang mana kurangnya perhatian terhadap local labour (dalam konteks kota kreatif) menghadapi perubahan kota tersebut. Bayangkan saja, dalam satu kota kreatif tertentu, misal Bandung, memiliki ketimpangan aksesibilitas antara creative labour dengan local labour. Pencarian kami terhadap Kawasan Tekstil Cigondewah, selaku pemasok garmen dan penyokong produksi pakaian bermerek di Bandung, terlihat ada ketimpangan akses. Mereka (creative labour) memiliki akses yang lebih untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih profitable dan sesuai dengan skillnya. Sedangkan perbedaan yang terjadi adalah ketidaksetaraan akses, yang mana local labour hanya dimanfaatkan sebagai sub-urban labour yang tidak dapat memanfaatkan nilai guna dari kota kreatif itu sendiri.
Karakteristik yang membedakan dari pekerja kreatif adalah ketika seseorang itu terlibat dalam pekerjaan yang fungsinya adalah untuk membuat bentuk-bentuk baru yang bermakna. Pekerja-pekerja kreatif tersebut kemudian bisa dikelompokkan ke dalam dua komponen inti super kreatif, yang meliputi para ilmuwan dan insinyur, profesor, penyair dan novelis, seniman, entertainer, aktor, desainer, dan arsitek serta penulis, editor dan tokoh budaya. Anggota inti super kreatif ini menghasilkan bentuk atau desain baru yang siap dimanfaatkan dan juga sangat berguna, seperti merancang produk untuk bisa dijual dan digunakan secara luas. Di luar dari kelompok inti ini maka ada profesional kreatif yang bekerja dalam berbagai pekerjaan berbasis pengetahuan di sektor-sektor seperti teknologi, keuangan, hukum, kesehatan, maupun manajemen bisnis. Orang-orang tersebut terlibat dalam pemecahan masalah kreatif. Untuk melakukannya maka biasanya membutuhkan pendidikan formal yang tinggi. Sehingga orang yang melakukan pekerjaan semacam ini kadang-kadang menggunakan metode yang sangat bermanfaat. Yang selalu mereka lakukan adalah berpikir, mencoba ide-ide dan inovasi baru.
Perlu diakui bahwa pada dasarnya manusia memiliki sisi kreativitasnya masing-masing. Dalam arti yang nyata, semua manusia kreatif dan semuanya berpotensi menjadi pekerja kreatif. Hanya saja beberapa orang cukup beruntung dibayar untuk menggunakan kreativitas mereka dalam pekerjaannya. Ada beberapa pola pekerja kreatif yang dimana pekerja kreatif acap kali bergerak menjauhi komunitas perusahaan tradisional ke tempat yang biasa disebut pusat kreatif, yang mereka cari di sana adalah memiliki pengalaman yang berkualitas, keterbukaan terhadap keberagaman, dan yang paling penting adalah kesempatan untuk memvalidasi identitas mereka sebagai orang yang kreatif. Ketika perusahaan menciptakan lapangan kerja baru bukan berarti semua pekerja kreatif mampu masuk di dalamnya. Muncul ketimpangan akan aksesibilitas tenaga kerja. Para pekerja harus menghadapi persaingan yang kuat untuk setiap perannya.
Ancaman Tenaga Kerja: Pengaruh Kekuatan Teknologi
Kami melihat bahwa kemajuan dan kemudahan aksesibilitas dalam mendapatkan teknologi berpengaruh terhadap relasi tenaga kerja. Manusia beradaptasi seiring dengan perkembangan teknologi. Dalam tulisan Richardson (1996) yang menjelaskan bahwa pembahasan mengenai teknologi itu berkembang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ketenagajakerjaan. Adanya dampak dari teknologi ini mengakibatkan kehilangan tenaga kerja (job loss), deskilled (pengurangan skill/tidak berguna) dan relasi kuasa antara tenaga kerja dan manager. Kehadiran fenomena ini patut ditanyakan, mengapa peningkatan besar-besaran dalam kapasitas produktif orang menyebabkan penurunan kualitas hidup bagi sebagian besar orang? Dalam konteks industri kreatif, teknologi dan kekuatan (power) menciptakan ketimpangan akses bagi dua kelompok yang berbeda.
Baik local labour maupun creative labour, keduanya memiliki komponen penting dalam dunia kerja; keduanya juga memiliki dua sisi yang berbeda dalam pemanfaatan skill. Pemahaman mengenai teknologi sebagai sebuah fasilitator dalam dunia kerja tentu memberikan ruang baru bagi creative labour untuk berpartisipasi di dalamnya. Dalam hal ini, muncul adaptasi baru dari para labor terhadap perkembangan teknologi yang diberikan; antara mereka mau mengikutinya atau memilih jalur lain. Ada istilah menarik yang ditawarkan Richardson dalam artikelnya yang berjudul “Computers Don’t Kill Jobs, People Do: Technology and Power in the Workplace” bahwa orang dipaksa untuk mengikuti teknologi baru yang telah diperkenalkan ke mereka, tetapi juga mendorong labour untuk mengikuti perkembangannya, yaitu Technojunkies.
Berangkat dari ilustrasi di atas, perkembangan industri kreatif memunculkan tenaga kerja yang timpang, yang lebih kreatif akan memiliki akses yang lebih terhadap teknologi, sedang sebaliknya. Technojunkies memaksakan para local labour dalam suatu perusahaan tertentu tergantikan visinya sebagai tenaga kerja oleh mesin-mesin yang dinilai lebih efektif. Dalam artian, perkembangan teknologi mengakibatkan pergeseran tren tenaga kerja yang tidak lagi bergantung pada tenaga manusia, tapi pada mesin. Kekuatan dalam teknologi yang berpengaruh terhadap kreativitas kerja ini tentu tidak dapat dipahami dalam satu pandangan. Menurut Richardson sendiri dalam artikelnya tersebut, perubahan dunia kerja yang mengarah kepada job loss, deskilled, dan transformasi relasi tenaga mengarah pada efektivitas dan efisiensi kerja dalam ruang dan waktu tertentu. Ia meyakinkan bahwa dalam hal ini, manusia tidak lagi terpaku pada satu tumpuan kerja yang localized, sehingga teknologi-teknologi yang dibangun untuk alat perkembangan industri kreatif menjadi tolok ukur kemajuan tenaga kerja.
Sedangkan kebanyakan masalah yang terkait dengan perubahan teknologi sebenarnya adalah hasil dari desain yang disengaja. Desainnya disengaja, hasilnya yang diinginkan, dan dampak pada tenaga kerja diabaikan atau depersonalized ke titik bahwa mereka menjadi tidak relevan. Ketika suatu teknologi menggema menjadi suatu yang mampu menaruh kontrol terhadap dunia kerja, pada saat itu lah teknologi mengabaikan sisi kemanusiaan. Meskipun beberapa kali teknologi mencocokkan diri dengan keadaan relasi tenaga kerja, tetap saja ada hal lain yang terjadi dari pengaruh yang muncul dari aspek ini. Walaupun kritikan ini muncul, Richardson mencoba menyadarkan kita semua dari pernyataan nya tentang ‘job’ dalam tataran teknologi, yaitu:
“No one particularly wanted to create joblessness in society, but some did want to eliminate certain jobs. No one particularly wanted to eliminate people’s skills, but some did want to make them irrelevant to the production and service delivery process—which is essentially the same thing. No one wanted to cause stress-related illness, but some did want to monitor and measure, to increase demand and decrease control—all of which contribute directly to stress.” (1996: 171)
Hal ini menjelaskan bahwa bagaimanapun teknologi, sebagai sebuah alat baru, dapat dianalogikan seperti dua sisi mata uang yang berbeda. Satu sisi menampilkan icon kebangsaan, dan satunya menampilkan nilai dari mata uang tersebut. Maksud kami adalah interpretasi terhadap teknologi haruslah dilihat dari dua pandangan yang beda, walau memang kenyataannya timpang. Satu sisi menawarkan efektivitas, efisiensi dan kontrol terhadap dunia kerja, di sisi lain, teknologi menciptakan ketimpangan akses dan segregasi para tenaga kerja, terlebih local labour yang semakin tidak memiliki akses terhadap industri kreatif.
Arah Tenaga Kerja: dari Local Labour menuju Creative Labour
Satu hal yang menarik bagi kami untuk terus mengikuti trend tenaga kerja ini, adalah menyadari satu per satu bahwa tenaga kerja yang memiliki akses lebih terhadap industri kreatif tidak memilih untuk bergabung di dalamnya. Ada aspek-aspek yang mendasari munculnya Creative Labour. Dari investigasi kami terhadap beberapa hal, free trade sebagai bagian dari era Neoliberalisme telah mengukuhkan setidaknya pengaruh yang mengarah kepada pergeseran arah tenaga kerja. Mereka yang dahulu mendiami posisi sebagai local labour memilih menjadi creative labour ketika memiliki modal yang lebih. Sebagaimana pernyataan Friedman melalui The Guardian (2016):
“when the time came that you had to change … there was an alternative ready there to be picked up”.
Akan ada masa di mana, para pekerja kreatif ini memiliki tempat untuk mengembangkan sisi kreativitasnya melalui pekerjaan yang mereka geluti. ‘Tempat’ yang kami maksud dalam pembahasan ini lebih mengarah kepada pasar bebas yang sudah dijelaskan sebelumnya. Bahwa kebebasan pasar masuk ke dalam ranah tenaga kerja menilik setidaknya satu hingga dua para creative labour untuk bergabung di dalamnya.
Namun dari pergeseran ini, kita harus menyadari hal lain bahwa apa yang memengaruhi tenaga kerja meninggalkan sisi kerja tradisionalnya bukan hanya didasarkan pada alternatif/tempat yang sudah tersedia, tetapi juga melihat bahwa industri kreatif lebih menjamin dan memberikan ruang lebih dalam bekerja. Dengan artian, pekerja kreatif tidak terbatas pada ruang dan waktu tertentu, mereka yang sudah tergabung dalam ekosistem semacam ini menjadi memiliki opsi untuk mendapatkan hak dan wewenangnya sebagai tenaga kerja. Pengamatan kami dalam beberapa pekerja kreatif yang didapat dari cerita-cerita keseharian menunjukkan bahwa menjadi creative labour membiarkan diri untuk berfikir lebih eksploratif dan kerja yang tidak terbatas ruang dan waktu. Misal saja, salah satu teman kami dalam ruangguru.com. Ia yang disapa sebagai Tejo, mengakui bekerja sebagai pekerja kreatif memiliki sisi prestigious yang lebih. Selain memiliki waktu dan ruang yang tidak terbatas, menjadi seorang guru millenial, ucapnya, lebih mudah menyampaikan materi-materi pelajaran dalam bimbingan belajar. Akses terkait fasilitas tenaga kerja lebih dikedepankan dengan teknologi. Perusahaan tersebut melihat bahwa pergeseran siswa dalam belajar sudah jauh melampaui pandangan teknologi. Mereka (siswa) tidak bisa lagi dipaksakan dalam satu metode jadul, harus ada pencerahan cara belajar yang lebih mudah diterima. Cerita inilah yang kami dapat dari Tejo, bagaimana ia sendiri sebagai pelaku industri kreatif menciptakan kenyamanannya dan berpeluang lebih leluasa dalam bekerja dengan teknologi yang disediakan.
Jika meminjam istilah Karl Marx dalam Ian (1972), para pekerja dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu productive labour dan unproductive labour. Istilah productive labour dan unproductive labour merupakan sebuah kritik terhadap budaya kapitalis yang telah masuk ke dalam aspek kehidupan manusia. Baik itu tenaga kerja atau bukan, konsep yang ditawarkan oleh Marx dalam ketenagakerjaan ini merujuk setidaknya dua hal yang menjadi perhatian, pertama politik, lalu ekonomi. Kami lebih senang menyebutnya dengan Political-Economy sebagai sebuah acuan dari dampak adanya kedua istilah tadi. Yang akan kami analisis di sini adalah pekerja kreatif sebagai pekerja produktif ternyata sebuah perpanjangan tangan dari dampak ekonomi yang memunculkan perusahaan untuk mengakumulasi nilai tenaga kerja. Pada pembahasan Marx mengenai productive labour, para pekerja memiliki nilai-nilai tertentu yang dapat menarik hati perusahaan. Harapannya dari sisi produktivitas itu muncul nilai guna (use value) yang dapat perusahaan raih. Dalam konteks kota kreatif, banyak nilai guna yang dapat diambil dari local labour. Perusahaan di dalam kota-kota kreatif, sebagai sebuah entitas kapitalis, melakukan recruiting labour–dalam bahasa Marx–untuk menciptakan keuntungan tersendiri.
BACA JUGA : Runtuhnya Popularitas Senjang Di Terusan
Dalam hal ini, kami melihat bahwa tenaga kerja produktif dapat dimasukkan dalam pekerja kreatif. Mereka yang sudah memilih untuk bekerja sebagai tenaga kreatif, memiliki nilai guna lebih untuk menciptakan pasar dari para sudut pandang kapitalistik. Seperti jelas apa yang dinyatakan oleh Marx melalui Ian (1972):
“Productive labour, in its meaning for capitalist production, is wage-labour which, exchanged against the variable part of capital… reproduces not only this part of capital (or the value of its own labour-power), but in addition produces surplus value for the capitalist.” (IV/1, 152)
Nilai surplus yang ditawarkan pada perusahaan, menciptakan kesenjangan yang jelas terhadap unproductive labour. Meskipun pembahasan dalam Marx sendiri sangat lah retoris, tapi kami melihat itu sebagai suatu pernyataan bahwa, melihat Industri Kreatif sebagai penciptaan baru terhadap dunia kerja yang lebih produktif, memiliki sisi yang timpang. Unproductive labour dalam hal ini local labour tersaingi oleh nilai-nilai yang tidak mereka miliki. Sebagai sebuah usaha baru untuk merayakan kapitalisme, pekerja tidak produktif semakin terpinggirkan dari pusat kota kreatif. Kota yang menawarkan berjuta angan untuk produktif, nyatanya tidak ramah bagi beberapa pihak yang ada di dalamnya. Misal saja jika kami diperbolehkan untuk menganalisis salah satu kota yang ada di Indonesia, Bandung contohnya. Kota ini menawarkan nilai kreatif lebih. Manusia dalam dinamika sehari-harinya menciptakan kreativitas yang dibendung oleh ekspektasi dan cita-cita perusahaan (unsur kapitalistik). Pada satu jalan di Braga, yang dulunya merupakan akses bagi semua orang bisa masuk di dalamnya, menciptakan perubahan sosial, di mana para tenaga kerja yang tidak produktif terpinggirkan ke sub-sub urban kota Bandung. Ini lah yang timpang; satu sisi pekerja kreatif–yang sudah dirasionalisasi pemikiran dan pandangannya oleh kemampuan mereka, di sisi lain, para pekerja tidak produktif atau local labour memilih untuk absen dalam menggapai cita-cita kapitalis.
Penutup: Sisi Lain Kota Kreatif
Berdasarkan pemaparan atas kota kreatif yang berpengaruh terhadap aksesibilitas yang dihadapi local labour, kami melihat bahwa prospek industri kreatif di perkotaan tidak serta merta maju dan berkembang begitu saja. Akan tetapi, ada sisi lain yang harus dilihat bahwa sebenarnya reproduksi kreativitas kota juga berdampak langsung terhadap relasi tenaga kerja, penurunan produktivitas kerja dan akses terhadap lapangan kerja kreatif. Kota kreatif yang dimaknai tidak hanya sebagai grid point dan peningkatan ekonomi regional, juga memiliki ketimpangan akses kepada tenaga kerja lokal.
Di akhir tulisan ini, kami melihat bahwa ketimpangan dari kota kreatif ini berangkat dari Magnetic Attraction (Scott, 2010) yang akhirnya mengarah kepada (1) Different access of workforce, (2) Segregation to social reproduction dan (3) Valorization in the workplace. Dengan artian, kota yang dimaknai sebagai reproduksi kreativitas menghasilkan dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, kota ini menciptakan dan mengakumulasi skill pekerja kreatif, di lain sisi, kreativitas tersebut tidak dapat diraih oleh local labour yang memang tidak memiliki akses lebih; mulai dari skill, relasi tenaga kerja dan adaptasi dengan perubahan yang terjadi. Memang sedikit terlihat tidak adil, namun ketiga aspek itu lah yang menjadi dasar dari munculnya ketimpangan aksesibikitas local labour dibandingkan creative labour. Dengan demikian, akses tenaga kerja yang berbeda mengarah kepada segregasi atau pemisahan kepada reproduksi sosial—yang mana mempengaruhi perbedaan harga tenaga kerja; creative labour lebih tinggi nilai gunanya (Marx dalam Ian, 1972), dan sebaliknya.
Daftar Pustaka
Abdulsalam, Husein. 2017. Tirto id: Mempersoalkan Konsep Kota Kreatif ala Richard Florida. Dari https://tirto.id/mempersoalkan-konsep-kota-kreatif-ala-richard-florida czuR
Avery, Patricia. 2006. “Born Again: from Dock Cities to Cities of Culture” dalam Melanie K. Smith: Tourism, Culture & Regeneration. London, UK: CAB International
Florida, Richard. 2004. Cities and the Creative Class. Dari https://onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1111/1540-6040.00034
Gough, Ian .1972. Marx’s theory of productive and unproductive labour. New left review, I/76 . pp. 47- 72. ISSN 0028-6060
Gusuran, Cahaya. 2016. Glosarium: Gentrifikasi. Dari https://medium.com/cahaya-tanah-gusuran/glosarium-gentrifikasi-4b9aad628862
Monbiot, George. 2016. The Guardian: Neoliberalism – the ideology at the root of all our problems dari https://www.theguardian.com/books/2016/apr/15/neoliberalism-ideology-problem-georg-monbiot
Richardson, Charley. 1996. ‘Computers Don’t Kill Jobs, People Do: Technology and Power in the Workplace’, The Annals of the American Academy of Political and Social Science, Vol. 544, Impacts of Changing Employment: If the Good Jobs Go Away (Mar., 1996), pp. 167-179
Scott, Allen J. 2010. CULTURAL ECONOMY AND THE CREATIVE FIELD OF THECITY. Geografiska Annaler. Series B, Human Geography, Vol. 92, No. 2 (June 2010), pp. 115-130
No responses yet