Beksan Panji Sekar merupakan hasil karya budaya adiluhung dari kraton Yogyakarta Hadiningrat. Nilai adiluhung yang terkandung dalam Beksan Panji Sekar ini perlu dilestarikan dan diwariskan kepada generasi muda. Hal ini agar generasi muda mengenal, memahami, dan menjiwai nilai kepahlawanan yang ada dalam Beksan Panji Sekar. Untuk itu, perlu lebih digencarkan pemahaman nilai-nilai luhur dalam kisah Panji yang diaktualisasikan pada Beksan Panji Sekar.
Sebagai hasil budaya ciptaan leluhur, Beksan Panji Sekar penting untuk dilestarikan, diwariskan, dan diambil nilai-nilai budayanya untuk kepentingan masyarakat, terlebih untuk kepentingan negara. Langkah untuk pelestarian dan pewarisan nilai luhur Beksan Panji Sekar dapat dilakukan dengan menginventarisasi, menelaah, dan mensosialisasikan nilai-nilai tersebut dalam bentuk buku atau rekaman video.
Mengapa Beksan Panji Sekar penting untuk dilestarikan atau diwariskan? Beksan Panji Sekar diciptakan pada era kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwana I (1755-1792). Beksan Panji Sekar diciptakan dalam kurun waktu yang sama dengan lahirnya beksan-beksan lain seperti Trunajaya, Guntur Segara, Nyakrakusuma dan Tugu Wasesa. Dalam masa sepuluh tahun (1755-1765), Sri Sultan Hamengku Buwana I menggarap tarian-tarian tersebut bersama Putra Mahkota, Patih Dalem dan seorang Abdi Dalem (setingkat bupati) kepercayaan sultan. Mirip dengan beksan kakung lainnya, Panji Sekar bertemakan peperangan atau kepahlawanan. Tarian ini juga merupakan seni latihan perang para prajurit pada masa itu. Jiwa patriotik Sri Sultan Hamengku Buwana I memberi sentuhan khas pada karya seni tari masa itu, yaitu penggunaan senjata. Jemparing (panah) dan keris menjadi properti yang digunakan dalam Beksan Panji Sekar. Beksan Panji Sekar dibawakan oleh empat penari putra (kakung). Oleh karena itu, tarian ini masuk dalam kategori beksan sekawanan. Dua penari berperan sebagai Jayakusuma dan dua lainnya berperan sebagai Jayalengkara.
Dalam pengembaraan itu, kedua tokoh dan juga para pengikutnya berganti nama atau menyamar. Panji berganti nama menjadi Klana Jayengsari, Kuda Narawangsa, Angronakung, Jayakusuma, Panji Amalat Rasmi, Bagus Umbara, dan seterusnya. Biasanya, nama samaran salah satu tokoh utama menjadi judul cerita. Misalnya, nama Panji Jayakusuma yang merupakan nama samaran Panji digunakan sebagai judul Serat Panji Jayakusuma (Saputra, 2014: 23-24).
Sebagai karya seni adiluhung yang sudah tercipta sejak pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana I, Beksan Panji Sekar perlu dilestarikan. Setelah ISI Yogyakarta merekontruksi tarian ini pada tahun 1988, tanggal 23 November 2020, Keraton Yogyakarta kembali mementaskan Beksan Panji Sekar pada gelaran Uyon-Uyon Hadiluhung Selasa Wage untuk memperingati Wiyosan Dalem (hari kelahiran) Sri Sultan Hamengku Buwana X. Sesuatu yang berbeda akan mewarnai pertunjukan saat itu, yaitu perpaduan musik gamelan dengan alat musik gesek barat, seperti violin, biola, cello dan contrabass. Kreativitas ini merupakan bentuk reintepretasi Panji Sekar yang lebih akulturatif dan dinamis.
Kisah Panji kepada peristiwa-peristiwa yang berkenaan dengan empat orang tokoh penguasa Majapahit sejak awal berdirinya hingga kejayaannya. Hal itu menjelaskan bahwa kisah Panji sebenarnya kisah gubahan dengan mengacu pada peristiwa sejarah yang benar-benar terjadi di wilayah Jawa bagian timur. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kisah Panji sesungguhnya mengandung nilai kesejarahan, namun telah dibalut dengan berbagai kisah fiktif menjadikan cerita Panji enak dan menarik untuk diikuti. Peristiwa sejarah yang menjadi acuannya pun tidak hanya berasal dari riwayat hidup seorang raja, namun dari banyak raja.
Melihat sumber ceritanya, yaitu Cerita Panji Jayakusuma banyak adegan peperangan. Hal ini menggambarkan bahwa Beksan Panji Sekar mengandung nilai kepahlawanan sebagaimana tergambar pada teks Panji Jayakusuma tersebut. Memang Beksan Panji Sekar adalah gambaran adegan peperangan antara Jayakusuma dengan Jayalengkara. Peperangan dilakukan dengan menggunakan senjata keris, panah dan juga tangan kosong. Disebutkan bahwa memang tari-tarian tersebut dimaksudkan sebagai latihan peperangan (gladhen) dengan meneladani tokoh-tokoh yang diperankan.
Nilai kepahlawanan tergambar pada kisahan atau cerita seputar pengembaraan salah seorang tokoh di antara tokoh utama (Panji atau Sekartaji) diikuti oleh para kadeyan atau pengikutnya dan disusul oleh tokoh yang lain karena mencari tokoh utama yang lain (Sekartaji atau Panji). Dalam pengembaraan itu biasanya tokoh utama selalu berperang dan mengalahkan musuh-musuhnya. Kisah diakhiri dengan pertemuan kedua tokoh utama dalam perkawinan.
Beksa atau joged (tari) sudah ada dan berkembang sejak jaman dahulu sampai saat ini bersama dengan tumbuh dan berkembangnya kebudayaan. Oleh karena itu, fungsi tari juga berkaitan dengan semua hal dalam kehidupan manusia. Tari, meskipun hanya satu di antara sekian banyak hasil kebudayaan, tetapi merupakan seni yang selalu berdekatan dengan manusia di kehidupannya. Hal ini juga pernah disampaikan oleh Pangeran Suryadiningrat bahwa, yang dinamakan joged (tari) adalah gerak seluruh anggota tubuh, ditata dengan irama gending, sesuai pasemon, dan apa yang dimaksud dalam tari tersebut (Sumaryono, 2005: 1).
Susetyo Hario Putero dalam tulisannya “Wirasa: Puncak Pencapaian Kepenarian Gaya Mataraman“, menyebutkan bahwa ada 4 elemen Jogèd Mataram. Yang pertama adalah Sawiji, yaitu konsentrasi total untuk menghidupkan tarian atau tokoh yang diperankannya. Hal ini akan tampak pada pandengan (tatapan mata) sang penari yang tajam dan lurus. Elemen kedua adalah Greged yang bermakna bersemangat yang terkendali, namun bukan emosi saat menari. Elemen berikutnya adalah Sengguh, yaitu kepercayaan diri, namun bukan sombong. Yang terakhir adalah Ora Mingkuh, yang maknanya adalah sanggup dan tidak gentar untuk menghadapi tantangan untuk menarikan suatu tarian atau peran.
Lalu, apa relevansi/arti penting pada masa sekarang? Dongeng ‘asli Indonesia’ itu adalah cerita Panji, yang berisi kisah percintaan antara putra mahkota Kerajaan Jenggala, Inu Kertapati, dan putri ‘Sekar Kedathon’ Kerajaan Kediri, Dewi Sekartaji (Dewi Candrakirana).
Menurut dosen Institut Seni Indonesia (Yogyakarta) Sumaryono, cerita Panji adalah asli dari Jawa. Kisahnya diilhami oleh pembagian atau pembelahan wilayah antara sebelah timur Sungai Berantas yang disebut Jenggala dan di sebelah barat Sungai Berantas yang dikenal Panjalu, pada tengah abad II, atau tepatnya antara tanggal 20-24 November 1042 menjelang turunnya tahta Raja Airlangga.
”Namun, berdasarkan data yang lain, yakni yang ditulis Slamet Mulyana dalam buku tafsir sejarah Negarakretagama, cerita Panji bertitik tolak dari perkawinan Raja Panjalu ke-10 dengan Dewi Sasikirana dari Jenggala. Berdasarkan data ini, maka kemunculan cerita Panji diperkirakan antara akhir abad ke-12 sampai dengan awal abad ke-13 M,” kata Sumaryono dalam makalah yang disampaikan pada Seminar Naskah Kuno Nusantara cerita Panji sebagai warisan dunia, akhir Oktober lalu, di Jakarta. Beksan Panji Sekar berhasil direkonstruksi pada tahun 1988 dan beberapa kali dipentaskan di luar kraton sebagai studi di ISI Yogyakarta. Baru pada tahun 2020 dipentaskan kembali dalam acara Uyon-uyon Hadiluhung dengan penambahan- penambahan baru yaitu musik barat yang dikolaborasi dengan musik gamelan. Hal ini karena semangat jaman selalu mewarnai pada setiap upaya rekonstruksi tari-tarian lama.
Setiap penciptaan beksan sejak masa HB I pada masa-masa berikutnya selalu mengalami penyempurnaan-penyempurnaan. Hampir semua karya budaya di kraton Yogyakarta itu pada setiap masa pasti akan mengalami penyempurnaan. Setiap periode sultan yang berkuasa pada masa itu selalu berupaya menyempurnakan.
Dengan memahami dan mengetahui alur cerita Beksan Panji Sekar diharapkan masyarakat akan memahami dan meneladani jiwa patriotik yang disampaikan oleh para leluhur melalui karya budaya tari atau beksan tersebut. Dalam hal ini kisah patriotik Pangeran mangkubumi dalam berjuang melawan penjajah.
Pada tanggal 23 November 2020, Keraton Yogyakarta kembali mementaskan Beksan Panji Sekar pada gelaran Uyon-Uyon Hadiluhung Selasa Wage untuk memperingati Wiyosan Dalem (hari kelahiran) Sri Sultan Hamengku Buwana X. Sesuatu yang berbeda akan mewarnai pertunjukan saat itu, yaitu perpaduan musik gamelan dengan alat musik gesek barat, seperti violin, biola, cello dan contrabass.
Kreativitas ini merupakan bentuk reintepretasi Panji Sekar yang lebih akulturatif dan dinamis. Pementasan tersebut disiarkan oleh radio dan juga diabadikan pada kanal Youtube Kraton Jogja, sehingga dapat disaksikan oleh masyarakat luas. Hal ini menjadi bukti bahwa seni tradisi keraton dapat disaksikan dan dipelajari oleh masyarakat luas, tidak hanya terbatas lingkungan keraton.
Beksan Panji Sekar sebagai salah satu karya budaya yang di dalamnya terkandung berbagai nilai dan aspek yang sangat penting untuk digali, dipelajari, dan diwariskan kepada generasi muda sebagai penerus bangsa. Oleh karena itu, perlu berbagai upaya yang harus dilakukan oleh segala elemen masyarakat maupun pemerintah untuk terwujudnya kelestarian Beksan Panji Sekar ini.
Baca Juga : Raperda Film Jawa Tengah