Didalam konteks gender, etnis sunda mengenai dan melestarikan tradisi kesetaraan pada hak akses bagi bagi anak laki-laki dan perempuan terhadap harta keluarga (berupa tanah) atau warisan. Didalam konteks religi, lelaki dan perempuan juga memiliki kesetaraan dalam hal kontribusi pelaksanaan upacara tradisi dan kegiatan sehari-hari.
Gender dalam budaya kontruksi sosial budaya mengenai karakter laki-laki dan perempuan. Gender menentukan peran sosial perempuan dan laki-laki di masyarakat. Di sunda, kedudukan perempuan dan laki-laki setara didalam beberapa hal. Salah satunya dalam pelaksanaan tradisi, upacara adat, ritual, dan kegiatan sehari-hari. Pada ritual mapag Dewi Sri dikomunitas adat Banceuy, Kabupaten Subang misalnya, laki-laki dan perempuan memiliki peran dan keterlibatan yang seimbang. Perempuan memiliki peran yang penting dalam ritual dan mendapat penghormatan tinggi dalam prosesi ritual (Rohmana, 2014). Porsi keterlibatan yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam ritual juga terdapat di masyarakat Baduy; yaitu dalam pelaksanaan upacara keagamaan Sunda Wiwitan. Selain itu, laki-laki dan perempuan di Baduy juga saling membantu dan mendukung pada kegiatan sehari-hari (Muttaqien, 2020).
Di sisi lain, terdapat pula ketimpangan gender di Sunda. Hal ini tampak dalam stereotipe tentang perempuan dan justru berkembang lebih pesat melebihi praktik kesetaraan. Konsep perempuan ideal di masyarakat Sunda tidak terlepas dari sudut pandang laki-laki yang menginginkan sosok perempuan yang dapat merawat diri, mampu menyenangkan suami, dan penurut terhadap suami. Hal ini tampak dalam peribahasa yang menggambarkan relasi laki-laki dan perempuan, antara lain “bojo denok sawah ledok” (hidup senang karena istri yang menawan dan harta yang cukup); “ngeunah angeun, ngeunah angen” (hidup dengan makan yang berkecukupan dan istri yang menyenangkan suami); dan “sapi nurut ka banteng” (istri yang mengikuti perkataan suami) (Zulaikha dan Purwaningsih, 2019).
Stereotipe gender juga tampak dalam pendapat masyarakat bahwa laki-laki berperan sebagai pemimpin dan perempuan berperan sebagai pihak yang dipimpin. Hal ini tampak dalam peribahasa awewe dulang tinande. Peribahasa ini menggambarkan konsep bahwa perempuan harus mengikuti kemauan dan arahan laki-laki atau suami.
Kami selaku konsultan pariwisata mengucapkan terimakasih kepada Instansi terkait atas kepercayaan dan kerjasamanya. Demikian artikel penelitian pariwisata ini disusun, semoga bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam pembangunan pariwisata setempat.
No responses yet