(Bukan) Batik Papua

Batik telah diklaim sebagai bagian dari “identitas bangsa” Indonesia. Batik ditetapkan sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan non-benda oleh united Nations Educational, Scientific and cultural organization (UNESCO) sejak 2 oktober 2009. (lih. UNESCO,n.d). Semenjak itu tanggal 2 oktober ditetapkan sebagai hari batik atau pemakaian sehari-hari mulai digalakan secara nasional. Termasuk dipapua. Orang Papua mulai mengenakan “batik papua” dalam berbagai kesempatan, terutama dikenakan dalam lingkup formal pekerjaan, sekolah, acara keagamaan, dan pesta. Pengaturan cara berpakaian yang intinya adalah pengaturan tubuh (Jeacle 2012, 84). Proyek pengaturan tubuh yang bernama batik ini kini bukan lagi diperuntukan untuk para elit, tetapi juga bagi masyarakat. Dengan demikian, mendandani dan membentuk tubuh melalui pakaian adalah bagian penting dari penemuan atau pembentukan objek dan subjek pengetahuan baru. Pakaian bukan hanya untuk melindungi tubuh, tetapi juga sinyal untuk identitas diri. Fenomena ‘batik papua’ menunjukkan ekspresi paling tampak dari bagaimana pakaian berkelindan dengan projek pembentukan diri (project of the self).

Beberapa orang memiliki kemeja batik khas Papua karena keanggotaan pada organisasi atau institusi. Kemeja batik yang biasa digunakan maa yakomina dipapua diperoleh dari organisasi keperempuanan di gereja dimana ia menjadi jemaat. Sementara theo, kemeja batik diperoleh karena jabatannya sebagai pengurus koperasi yang dibuat oleh perusahaan kelapa sawit. Theo sebagai salah satu pengurus marga, dipilih menjadi pengurus koperasi.

Batik motif papua didominasi motif tumbuhan, flora, dan fauna endemic papua atau peralatan sehari-hari dan budaya dipapua, seperti rumah honai, tifa, panah, tombak. Warna batik khas papua didominasi warna lebih menyala dibanding motif batik yang biasa ditemui di jawa. Salah satu momen penting ketika orang papua mengenakan batik adalah ritual keagamaan. Dalam pengertian ‘himpunan (assemblage) modifikasi atau suplemen tubuh’ (Eicher dan Higgins 1992), secara strategis berfungsi membentuk identitaas nasional yang berkelindan dengan moral keagamaan yang bekerja untuk mengubah ‘dosa’ (ketelanjangan) menjadi ‘keberadaban’ (Comaroff dan Comaroff 1997).

Kecenderungan memakai batik dengan motif khas papua sebagai seragam organisasi atau institusi, saya temui di beberapa tempat di papua, baik dikawasan pengunungan dan pesisir. Sejumlah sekolah yang dikelola Yayasan berbasis keagamaan, juga memberlakukan seragam dengan motif batik. Begitu juga dengan institusi pemerintah. Selain seragam korpri, dinas-dinas pemerintah daerah di papua biasanya juga mempunyai seragam batik motif khas papua, entah level satuan kerja atau wilayah adminstratif. Memakai kemeja di Papua, berarti juga membedakan diri dari yang  tidak  memakai  kemeja.  Hanya  orang-orang  tertentu  saja  yang  memakai  kemeja.  Orang-orang kampung yang tidak cukup berpendidikan  dan  tidak  mempunyai  jabatan  atau  peran  tertentu  dalam  organisasi atau institusi, biasanya tidak memakai kemeja. Kalangan itu biasanya disebut dengan masyarakat. Berkemeja bisa berarti sebuah posisi yang menegaskan, bahwa ia bukan masyarakat yang itu, tapi orang yang mempunyai jabatan.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

nineteen + sixteen =

Latest Comments