Erupsi Sebagai Hajatan Merapi – Salah satu poin yang paling sering ditemukan dalam perbincangan mengenai Mitos Gunung Merapi adalah kepercayaan bahwa erupsi yang terjadi di Gunung Merapi merupakan suatu tanda bahwa Kraton Merapi sedang mengadakan hajatan (Nurkhayati & Triwahana, 2021, p. 77; Tridiatno, 2021, p. 229). Umumnya, hajatan yang dimaksud adalah sebuah perayaan pernikahan antar makhluk halus yang berada di Kraton Merapi dengan yang berasal dari Kraton Laut Selatan. Banyak orang yang mempercayai bahwa makhluk-makhluk dari Kraton Merapi banyak yang berjenis kelamin laki-laki, sementara makhluk-makhluk dari Kraton Laut Selatan pada umumnya berjenis kelamin perempuan. Ketika dikaitkan dengan kepercayaan bahwa gunung merupakan lambang kejantanan yang berupa lingga dan laut merupakan lambang kewanitaan yang berupa yoni, maka muntahan Gunung Merapi yang mengalir ke Laut Selatan menjadi suatu simbol ejakulasi air mani dalam hubungan seksual antara pria dan wanita (Schlehe, 1996, p. 396).
Dalam rangka hajatan makhluk halus tersebut, masyarakat Merapi percaya bahwa ada kalanya terdengar suara seperti pasukan berkuda yang berbunyi gemerincing melalui sungai-sungai yang mengalir dari Gunung Merapi. Suara-suara tersebut disebut sebagai lampor dan diyakini sebagai rombongan makhluk halus Kraton Merapi dan Kraton Laut Selatan yang saling mengunjungi satu sama lain. Biasanya, Sungai Opak di sebelah Timur Yogyakarta yang menjadi rute Panembahan Senopati ketika menuju ke Laut Selatan menjadi sungai yang paling sering dikaitkan dengan mitos ini, namun penelitian lain telah menemukan bahwa mitos ini juga dikenal di masyarakat sekitar Sungai Winongo yang berada disebelah Barat Yogyakarta (Hendro, 2018, p. 27).
Selain suara gemerincing pasukan berkuda, masyarakat lereng Merapi juga mengenal mitos berupa cahaya lentera yang bergerak ke arah Gunung Merapi. Cahaya lentera tersebut dipercaya sebagai pasukan Kanjeng Ratu Kidul yang sedang berkunjung ke Kraton Merapi. Baik lampor maupun lentera tersebut dianggap oleh masyarakat Merapi sebagai tanda bahwa akan terjadi bencana di Gunung Merapi yang mengadakan hajatan, terutama kalau terjadi pada malam Selasa Kliwon (Suaka, 2020, pp. 306–307). Sebagai respon, masyarakat pada umumnya masuk ke dalam rumah dan menutup pintu-pintu hingga rombongan makhluk halus itu berlalu. Setelah itu, masyarakat akan menyiapkan dirinya untuk menghadapi erupsi Merapi.
Baca juga : Merapi Saudara yang Melindungi
Meski begitu, masyarakat lereng Merapi tidak menganggap erupsi sebagai sebuah bencana yang hanya mendatangkan kemalangan. Ketika sawah dan ladang rusak akibat abu vulkanik Merapi, masyarakat percaya bahwa hasil panen mereka sedang dipinjam oleh Kraton Merapi untuk keperluan hajatan dan akan dikembalikan berkali lipat pada panen-panen berikutnya karena tanah yang semakin subur berkat abu vulkanik. Sementara hasil panen mereka tidak dapat dimanfaatkan, masyarakat diberi pengganti oleh Kraton Merapi berupa hewan buruan seperti kijang. Turunnya abu membuat perburuan kijang lebih mudah karena abu akan membutakan mata kijang, sehingga masyarakat mendapatkan stok daging melimpah sebagai pengganti hasil panen. Selain itu, lahar panas yang membakar padang rerumputan di lereng Gunung Merapi membuat rumput tumbuh lebih subur setelahnya, sehingga pakan ternak akan melimpah lagi setelah erupsi berlalu (Triyoga, 2010, pp. 92–97)
Untuk informasi mengenai penelitian pariwisata, berupa kajian atau pendampingan lebih lanjut dapat menghubungi Admin kami di(0812-3299-9470).
No responses yet