Expedition Content (2020) disutradari oleh seniman suara dan sutradara Amerika, Ernst Karel dan antropolog Indonesia, Veronika Kusumaryani. Film yang telah menjadi official selection dalam Berlin International Film Festival dan Vision du Reel tahun 2020 ini menjadi salah satu pilihan dalam program Perspektif pada Festival Film Dokumenter (FFD) 2022. Diputarkan di Gedung Ex Bioskop Permata, Yogyakarta, FFD untuk pertama kalinya memberikan ruang pada publik Indonesia untuk mengalami film ini. Film ini mungkin lebih layak disebut sebagai pengalaman sonik sensorial karena memadukan beragam lanskap suara, dari gesekan daun pisang yang terkena angin hingga bisikan seorang anak Hubula. Setiap rekaman dimulai dengan keterangan tanggal, bulan, tahun, lokasi serta kondisi apa yang melatarbelakanginya. Pada sebuah rekaman anak-anak yang bermain di alam terbuka, suara serangga bahkan terdengar lebih keras dari pada bisa menggambarkan situasi permainannya.
Expedition Content adalah karya kompilasi suara yang disusun dari rekaman arsip selama 37 jam. Karya ini mendokumentasikan pertemuan antara ekspedisi yang dilakukan para peneliti dari Amerika dengan orang-orang Hubula. Film ini penting bukan hanya sebagai catatan etnografi tetapi juga mencatat sejarah hilangnya seorang antropolog yang baru saja lulus sekaligus pewaris Standard Oil, Michael Rockefeller di dalam kerja etnografi. Meski Carl Hoffman (2014) telah menulis buku untuk membuktikan kematian Rockefeller lewat pengakuan penduduk desa dan tetua suku atas pembunuhannya setelah berenang ke tepi sungai pada 1961, hingga kini tidak pernah ada bukti yang ditemukan atas kematiannya. Spekulasi hilangnya Rockefeller pun muncul, dari penelusuran jurnalis, usaha keluarga, hingga beberapa tayangan seperti program televisi maupun film dokumenter. Beberapa artikel bahkan menyatakan bahwa Rockefeller merupakan korban dari kanibalisme suku Asmat atas upaya balas dendam terhadap kolonialisme Belanda di tanah Papua.
Sensory Ethnography Lab (SEL) adalah laboratorium eksperimental yang berinovasi melalui kombinasi estetika dan etnografi. Media yang digunakan meliputi analog dan digital, instalasi, serta pertunjukan untuk mengeksplorasi estetika dan ontologi dunia, baik yang alami maupun tidak alami. Laboratorium ini menggunakan perspektif yang diambil dari seni, ilmu sosial dan alam, serta humaniora, untuk mendorong perhatian pada banyak dimensi dunia, baik yang hidup maupun mati, yang mungkin sulit diterjemahkan jika hanya dengan kata-kata seperti halnya karya etnografi konvensional. Pada beberapa bagian film, volume suara meningkat dan membawa kesan yang menyatu dengan realitas ruang. Seperti saat suara hujan deras dan banjir, penonton seakan tidak bisa membedakan di realitas mana ia berada. Suara ritual dan mantra-mantra yang diucapkan terasa sangat medidatif, membuat penonton merasa berada di tengah-tengah lingkaran orang Hubula. Sampai kemudian terdengar noise (pengganggu) suara ambulans yang tidak kontekstual dengan filmnya, berasal dari luar ex bioskop.
Pilihan-pilihan suara yang dihadirkan dalam film juga bukan tanpa alasan. Terdengar rekaman pembicaraan non formal para etnografer yang sedang beristirahat, seperti berasal dari alat perekam suara yang tidak sengaja merekam. Suara mereka yang mencari frekuensi radio, membacakan isi telegram untuk memastikan kebutuhan filter dan kaset untuk keperluan pengambilan gambar, hingga rekaman obrolan tentang kulit putih sepertinya memberikan gambaran pelukisan kebudayaan yang berbeda dengan catatan etnografi pada umumnya. Karya etnografi sensorik ini merupakan pertemuan antara liyan dengan etnografernya, bukan dalam kerja interpretatif melainkan dialektikal. Meski film ini seolah merekam posisi etnografer dan subjek yang ditelitinya secara objektif, sensasi sensorial sonik membangun diskursus atas pendekatan antropologi multimodal.
Baca juga: Komitmen Pemerintah sebagai Dasar Kebijakan
No responses yet