History Filosofi Tata Ruang Kraton Ngayogyokarto

Pengakuan wilayah Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY yang salah satu bentuk keistimewaan tersebut meliputi; tata cara pengisian jabatan serta kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; kelembagaan Pemerintah Daerah DIY;  kebudayaan; pertanahan; dan tata ruang. Dari sisi tata ruang berdasarkan undang-undang tersebut, perencanaan tata ruang termasuk tata ruang kota, seharusnya mempunyai kekhususan dan berbeda dengan perencanaan tata ruang kota di daerah lain. Hal ini disebabkan oleh latar belakang masa lalunya, terutama dari sisi kekuatan nilai-nilai budayanya.

Saat ini, nilai-nilai konsep kerajaan Jawa sudah sedikit terabaikan dengan peralihan fungsi pada kampung di sekitar Kraton Yogyakarta (nJeron Beteng, kampung di kawasan Malioboro dan Prawirotaman) menjadi daya tarik wisata atau bahkan sarana dan prasarana akomodasi perhotelan. Keberadaan kampung-kampung ini dulunya mempunyai peran dan keterkaitan yang cukup kuat dengan Kraton namun pembangunan fasilitas-fasilitas pariwisata seperti penginapan, restoran dan jasa secara tidak langsung mengubah kampung-kampung ini menjadi kampung internasional[1].

Sejarah mencatat penamaan kampung-kampung (toponim) yang ada di kota didasari oleh kebutuhan dan fungsi terhadap keberadaan Kraton Yogyakarta. Kasultanan menempatkan kelompok-kelompok warga Kota yang berprofesi sebagai abdi dalem  maupun profesi lain berada dalam wilayah sekitar Kraton sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. Oleh karena itu, untuk mempertahankan konsep filosofis  Yogyakarta agar tidak kehilangan ruhnya,  maka diperlukan suatu upaya pelestarian dan pembenahan terutama pola tata ruang dan tata bangunannya.  Penetapan Kraton dan unsur-unsur utama pembentuk kota Yogyakarta seperti Panggung Krapyak, Pasar Beringharjo, Komplek Kepatihan dan Tugu sebagai acuan kunci yang mendasari pola tata ruang Kota Yogyakarta saat ini. Termasuk revitalisasi kampung-kampung sejauh memungkinkan dan sesuai dengan perkembangan fungsi.

  • Masalalu

Unsur bangunan Kraton yang memiliki garis imajiner[2] merupakan unsur yang penting karena unsur tersebut mengandung makna filosofis. Adapun maknanya adalah manusia berasal dari alam maka akan kembali pada alam. Dengan kata lain, setiap wilayah dan penempatan bangunan-bangunan yang ada di Yogyakarta mempunyai makna filosofi tertentu. Hal ini dibuktikan dengan pola tata ruang kota yang menjadikan Kraton sebagai pusat pemerintahan dan dikelilingi bangunan penting lainnya seperti tempat ibadah, lokasi ekonomi (pasar), alun-alun, pusat pemerintahan dan termasuk pemukiman atau kampung sekitar Kraton. Toponimi atau sejarah penamaan dari kampung-kampung ini dahulunya berdasarkan pada profesi warga yang bekerja di lingkungan Kraton dan disesuaikan dengan kebutuhan Kraton.

  • Masa sekarang

Perkembangan zaman telah merubah lingkungan sekitar Kraton termasuk komplek kampung-kampungnya. Komplek yang dahulunya merupakan kebutuhan Kraton, sekarang beralih fungsi menjadi komplek pemukiman umum bahkan terdapat komplek kampung yang beralih fungsi sebagai kawasan komersial.Berpijak dari pola tata ruang kota yang telah dibentuk Kraton sejak zaman kolonial maka sangat penting untuk memformulasikan tata ruang kota Yogyakarta dimasa sekarang. Untuk mendapatkan formulasi tersebut dapat dilakukan dengan mengkaji filosofi tata ruang Kraton khususnya komplek kampung sekitar wilayah Kraton. Hal ini penting dilakukan guna mengidentifikasi filosofi Kraton dalam membentuk pola tata ruang kota. Selain itu, formulasi tata ruang Kraton yang sudah terbentuk telah menciptakan kebudayaan lokal atau kebudayaan yang sudah menjadi tradisi warga yang menempati kampung-kampung tersebut.

  • Masa dating

merumuskan dan mendalami kajian filosofi tata ruang Kraton Ngayogyokarto terutama pada komplek kampung-kampung wilayah sekitarnya. Dengan melakukan kegiatan ini akan memberikan manfaat kepada pemerintah guna menciptakan kebijakan tata ruang kota dan lebih menghidupkan dunia pariwisata kota Yogyakarta. Selain itu, mengingat kota Yogyakarta merupakan kota budaya dan kota istimewa, kajian ini diharapkan dapat digunakan untuk mempertahankan konsistensi filosofi letak tata ruang kota.

[1]Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal CiptaKarya Direktorat Tata Perkotaan dan Perdesaan.1997. Penyusunan Rencana Pembangunan Prasarana dan Sarana Kawasan Malioboro.

[2]Garis imajiner adalah garis lurus yang menghubungkan antara Kraton Yogyakarta, Tugu dan Gunung Merapi.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

20 + seven =

Latest Comments