IDENTITAS BABAD GIYANTI DUMUGI GEGER INGGRISAN

IDENTITAS BABAD GIYANTI DUMUGI GEGER INGGRISAN (BGDGI) – KOLEKSI MUSEUM SONOBUDOYO – Berdasarkan studi katalog, diperoleh data bahwa keberadaan naskah dengan judul BGDGI ada di beberapa tempat penyimpanan. Naskah-naskah ini terdiri dari berbagai rentang waktu, yaitu dari masa runtuhnya Keraton Kartasura, perpindahan pemerintahan ke Surakarta, Perang Mangkubumi, pembagian kekuasaan antara Surakarta dan Yogyakarta, hingga masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I sampai peristiwa Geger Sepehi (Geger Inggrisan). Teks awal BGDGI ini semula ditulis pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono III, kemudian disalin pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono V oleh carik Raden Sumayuda (Behrend, 1990). Dalam analisis ini, naskah yang dikaji adalah BGDGI koleksi dari Museum Sonobudoyo, Yogyakarta dengan kode koleksi S103/ PBA 301.

Berdasarkan pengamatan secara kodikologis, naskah ini memiliki judul luar Babad Gijanti yang tersemat pada bagian punggung naskah. Sementara secara umum, naskah ini memiliki judul Babad Giyanti Dumugi Geger Inggrisan, Jumenengan Hamengku Buwono III. Berdasarkan data yang terdapat pada kolofon, askah ini ditulis pada hari Minggu Kliwon, tanggal 29 Sura, wuku Bala, lambang Alip Kulawu, mangsa ke enam, windu Murka, tahun Dal, dengan sengkalan Ponca Sapta Pandhita Di (1775).  Raden Sumayuda disebutkan dalam teks sebagai nama penyalinnya. Di dalam teks juga disebutkan bahwa naskah ini menginduk pada Serat Mareskalek. Penyalinannya membutuhkan waktu sekitar lima tahun. Data ini sebagaimana tertulis pada kutipan berikut. 

sasampunira ge nĕrat, Ahad Kliwon dyi wĕlas tanggal ping, sangalikur suranipun, wuku bala kĕng lambang, Alip klawu mongsa kanĕm windunipun, Murka dal sĕngkalanira, Ponca Sapta Pandhita Di// Srat Babad kapitanira, ing tlaga ji Kangjĕng Sinuwun swargi, duk bĕdhami kawitipun, Dĕler Arting Sĕmarang, meh Giyanti pĕpalihaning praja gung, Surakarta ing Ngayogya, Srat Babadira dumugi// Sĕkawan geger Inggris manya, lan Cipai bĕdhahing Ngayogya Di, jumĕnĕngira Sang Prabu, Sinuwun Kangjĕng Sultan, Kaping Tiga Amangkubuwona Agung, Senapati ing Alaga, Angabdurahman Sayidin// Panatagama Kalifah, Tolah ingkang ngrĕgani Ngayogya Di, Kangjĕng Sultan wus susunu, Kangjĕng Gusti Pangeran, Suryenglaga kĕng kagungan Sĕratipun, Babad pusakaning tingkah, pan dadya pangeling-eling// dene ta ingkang anĕrat, Sĕrat Babad Dyan Sumayuda iki, nuwun pangapuntĕnipun, ingkang dhatĕng kagungan, tuwining kang amirsa sĕrat sĕdarum, den agung pangaksamya, dene panĕrate (….)// angantosi babonira, sĕrat marĕskalĕk lami tan olih, sarĕng angsal sĕratipun, mrĕskalĕk gya tinĕdhak, nĕdhak suging gen nrat ngantos gangsal taun, pan pinetang mulanira, kawan dasa langkung kalih// pan pinetang dintĕnira, wiwiti nĕrat ngantos dumugi, dintĕn sewu kalih atus, lakung tri dasa gangsal…. (Pangkur, 245: 20-26).

Terjemahan:

Setelah itu segera menulis Ahad Kliwon pada tanggal kedua belas, (tanggal) dua puluh sembilan (di bulan) Sura (dengan) wuku Bala yang berlambang Alip Kelawu mangsa ke enam berwindu Murka tahun Dal bersengkalan Ponca Sapta Pandhita Di (1775). Serat Babad kaget ia, di telaga raja mendiang Kanjeng Sinuwun ketika berdiskusi terlebih dahulu Deler Arting Semarang mendekati Giyanti, pembagian kerajaan besar Surakarta Ngayogya Serat Babad (hingga) sampai Kawanan perang Inggris menjadi berani dan Sepoy merusak Ngayogya besar, (hingga) bertakhtanya sang prabu Sinuwun Kanjeng Sultan Ketiga Amangkubuwona Agung Senapati Ing Alaga Angabdurahman Sayidin Pranatagama Kalifahtolah yang bertahta di Ngayogya. Kanjeng Sultan sudah berputra Kanjeng Gusti Pangeran Suryenglaga yang memiliki Serat Babad warisan dalam berperilaku agar menjadi pengingat. Sedang yang menulis Serat Babad Dyan Sumayuda ini memohon maaf (kepada) yang menjadi pemilik (serat) beserta kepada seluruh pembaca serat diluaskan (dalam) pengampunannya. Sedangkan penulisnya (?)

menunggui (teks) induknya (yaitu) Serat Marĕskalek lama tidak dapat. Setelah mendapat serat tersebut, Mreskalek segera disalin. Menyalin dengan sangat mirip dalam menulis hingga lima tahun, karena dihitung permulaannya empat puluh lebih dua

serta dihitung harinya (sejak) mengawali menulis hingga sampai hari seribu dua ratus lebih tiga puluh lima (hari). (…)

Naskah BGDGI berukuran sampul 20×30 cm sementara bagian halamannya berukuran 18×29 cm. Sampul naskah terbuat dari karton tebal yang dilapisi plastik dan di lakban pada tepinya.

Teks ditulis dalam aksara dan bahasa Jawa dalam bentuk tembang macapat. Aksara yang digunakan berjenis Jawa-ngetumbar, berwarna hitam dan cenderung kecil-kecil. Adapun kertas yang digunakan adalah kertas Eropa dengan cap kertas medali bermahkota bergambar singa membawa pedang menghadap ke kanan, bertuliskan CONCORDIA RESPARVAE CRESCUNT; countermark: Jr. Pannekoek. Kondisi kertas saat ini menguning dengan beberapa nota coklat tua. Beberapa halaman sudah dilakukan konservasi dengan menambal kertas coklat pada ruas jilidan maupun lembar naskahnya. Saat ini, jilidan naskah sudah mengendur.

Selayaknya babad pada umumnya yang berukuran tebal, naskah ini memiliki 982 halaman dengan 978 halaman ditulisi dan 4 halaman kosong. Pada halaman naskah terdapat penomoran halaman dengan menggunakan angka Jawa. Penomoran ini bersifat ganda pada sisi verso saja. Selain itu, ada penambahan penomoran halaman dari penyunting. Terdapat bagian halaman yang hilang, yakni halaman 1-35, 38-47, 60-62, 71-71, 109-110. 515-518, 527-528 hilang dan naskah terputus setelah halaman 544v. Naskah BGDGI memiliki 8 wedana yang berada pada halaman 98v-98r, 127r-127v, 274r-274v, 296v, 306v-306r, 333v-333r, 471v-471r, dan 537v-537r.

Secara garis besar, naskah BGDGI memuat kronik sejarah Keraton Yogyakarta, di awali dengan Peperangan Mangkubumi hingga perjanjian perdamaian Giyanti tahun 1755. Cerita dilanjutkan dengan pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I (1755-1792), Sultan Hamengku Buwana II (1792-1810, 1811-1812), hingga pengangkatan Sultan Hamengku Buwana III (1812) sebagai sultan di Yogyakarta.

…Kangjĕng Sinuwun swargi, duk bĕdhami kawitipun, Dĕler Arting Sĕmarang, meh Giyanti pĕpalihaning praja gung, Surakarta ing Ngayogya, Srat Babadira dumugi// Sĕkawan geger Inggris manca, lan Cipai bĕdhahing Ngayogya Di, jumĕnĕngira Sang Prabu, Sinuwun Kangjĕng Sultan, Kaping Tiga Amangkubuwona Agung, Senapati ing Alaga, Angabdurahman Sayidin// Panatagama Kalifah, Tolah ingkang ngrĕgani Ngayogya Di,… (Pangkur, 245: 21-23)

Terjemahan:

….raja mendiang Kanjeng Sinuwun ketika berdiskusi terlebih dahulu Deler Arting Semarang mendekati Giyanti, pembagian kerajaan besar Surakarta Ngayogya. Serat Babad (hingga) sampai Kawanan perang Inggris dan Sepoy merusak Ngayogya besar, (hingga) bertakhtanya sang prabu Sinuwun Kanjeng Sultan Ketiga Amangkubuwona Agung Senapati Ing Alaga Angabdurahman Sayidin Pranatagama Kalifahtolah yang bertahta di Ngayogya. …

Cerita sejarah Yogyakarta dimulai dengan kepulangan Ratu Bendara, permaisuri Adipati Mangku Negara I yang kemudian menimbulkan perselisihan antara Mangku Negara I dan Hamengku Buwono II. Cerita dilanjutkan dengan peristiwa pemberontakan Pangeran Singasari di Malang, Panembahan Loka di Kendal, Kaliwungu, dan Pekalongan, Patih Mangkupraja yang dipecat dan dibuang ke Selong (Sailan) hingga pernikahan Pangeran Dipanegara dengan Bok Ratu Bendara. Babad ini secara garis besar mengisahkan pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono III yang berusaha menahan dentuman desakan politik dari Inggris.

Baca juga : DAFTAR RINGKASAN PERISTIWA DAN TANGGAL-TANGGAL DALAM NASKAH 

IDENTITAS BABAD GIYANTI DUMUGI GEGER INGGRISAN – Untuk informasi mengenai penelitian pariwisata, berupa kajian atau pendampingan lebih lanjut dapat menghubungi Admin kami di(0812-3299-9470).

Tags:

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

six + 6 =

Latest Comments