Desa wisata sebaiknya dikelola oleh sumberdaya manusia yang memiliki karakter entrepreneur. Pariwisata apa pun bentuknya adalah entitas bisnis yang menuntut kejelian pengelolanya menciptakan dan menangkap peluang keuntungan. Pengelola yang memiliki semangat wirausaha dan kemampuan menjalankan praktek bisnis merupakan salah satu faktor penentu sukses desa wisata. Di pedesaan Australia, Ollenburg (2006) menemukan kisah-kisah keberhasilan desa wisata berbasis pertanian sangat terkait dengan spirit wirausaha yang kuat di kalangan penggiat pariwisata. Kalangan petani melihat pariwisata bukan sebagai pelarian aktivitas ekonomi, tetapi menjadikannya sebagai bagian dari kegiatan pertanian keluarga. Barangkali hal ini berbeda dengan kondisi di desa-desa kita yang menempatkan pariwisata sebagai aktivitas pendamping dan belum sepenuhnya terintegrasi dengan aktivitas pertanian. Pada umumnya sumberdaya manusia yang mumpuni relatif sulit ditemukan di desa karena lebih tertarik dengan daya pikat-atau terbawa arus migrasi ke perkotaan.
Desa wisata cenderung mudah terkena dampak lingkungan perkembangan pariwisata itu sendiri. Meskipun kesadaran lingkungan pada masyarakat setempat cukup baik, misalnya mengkonservasi lahan dan hutan di sekitar desa, namun hal itu dilakukan karena nilai tambahnya tidak sepadan dengan keuntungan dari pemanfaatannya. Kesadaran ini dapat berubah cepat, ketika lahan tersebut memberikan keuntungan ekonomi lebih tinggi, misalnya melalui pembangunan amenitas dan fasilitas pariwisatalainnya. Di samping itu, pemanfaatan bahan baku lokal semakin terbatas, sedangkan penggunaan bahan baku asing sering diutamakan di dalam pembangunan infrastruktur pariwisata, baik karena alasan kepraktisan, maupun karena tututan citra modern.
Distribusi dan redistribusi sumberdaya pariwisata yang tidak seimbang antar-warga masyarakat. Barangkali struktur sosial masyarakat desa lebih sederhana daripada masyarakat kota, namun relasi kekuasaan, budaya dan ekonomi mereka cukup rumit. Okupasi mereka tak lagi seragam, tetapi beragam, meskipun komposisinya tidak proporsional. Misalnya, sebagian besar bergantung pada pertanian, tetapi ada sebagian kecil lainnya sudah bekerja di sektor off-farm dan non-farm. Jelas bahwa lingkungan dan pengalaman kerja mereka berbeda dengan rekannya di sektor pertanian. Keterkaitan okupasional dan ekonomi seperti itu juga dipraktekkan dalam pengelolaan desa wisata. Sebagaimana digambarkan oleh Page dan Getz (1997), pariwisata pedesaan lebih banyak dimotori oleh sekelompok orang yang memiliki sumberdaya ekonomi (lahan, modal, bergerak, status pekerjaan yang baik) dan modal sosial (jaringan sosial, pengaruh, otoritas, pendidikan, status dan kedudukan sosial) di atas rata-rata warga desa.
Hal ini berakibat pada ketimpangan distribusi sumberdaya pariwisata antar anggota masyarakat yang tidak jarang berujung pada disharmoni atau bahkan konflik. Oleh sebab itu, penduduk miskin yang kebetulan memiliki modal sosial dari ekonomi yang terbatas akan sangat sulit menjadi pelaku utama atau pihak yang diberdayakan melalui pariwisata. Redistribusi sumberdaya pariwisata, atau jelasnya arus uang dan jasa yang masuk ke desa melalui kunjungan wisatawan, berpeluang untuk tidak menjangkau segmen penduduk miskin.
Peran golongan perbankan tergolong masih kecil, kecuali jika unit usaha yang dikelola sudah mapan. Berbeda dengan tipe usaha lain seperti perdagangan, hasil usaha pariwisata tidak dapat dipetik dalam jangka pendek karena harus melalui rangkaian promosi yang khusus. Hal ini dipersulit lagi oleh fluktuasi pasar yang cukup tinggi. Selain membutuhkan waktu panjang, keberhasilan promosi usaha akomodasi di pedesaan tidak semata ditentukan oleh jenis dan mutu akomodasi itu sendiri, seperti bangunan fisik dan layanan bagi tamu, tetapi juga oleh realitas daya tarik destinasi secara keseluruhan. Semua ini sangat menentukan kemapanan usaha pariwisata.
No responses yet