mostbet az casinolackyjetmostbet casinopin up azerbaycanpin up casino game

Kajian Sejarah Monumen Dan Tetenger Sebagai Penanda Sejarah Di Kota Yogyakarta

Bangsa Indonesia memiliki kebudayaan dan tradisi yang masih kental. Sejatinya kehidupan manusia yang tidak bisa lepas dari suatu kebudayaan inilah maka perlu mendapatkan penghormatan yang tinggi dengan memelihara silsilah, baik dalam bentuk dokumen tertulis maupun cukup dihafal secara lisan, mengenang jasa dan pengorbanan, mewarisi keteladanan yang telah diberikan, serta mikul dhuwur mendem jero sebagaimana yang diajarkan oleh kalangan masyarakat Jawa, dalam arti senantiasa mengangkat tinggi derajat orangtua, serta menutup rapat-rapat aib keluarga dalam hal ini yaitu leluhur yang sudah mendahului kita.

Peristiwa sejarah tidak bisa berdiri sendiri dalam arti lepas dari elemen-elemen yang menjadi prasyarat bagi terbentuknya suatu peristiwa sejarah. Oleh karena itu, perlu digarisbawahi beberapa aspek yang terkait dengan suatu peristiwa sejarah, yakni aspek peristiwa itu sendiri, aspek ruang, aspek waktu, perubahan, dan kesinambungan. Bahwa suatu peristiwa sejarah terjadi pada ruang dan waktu tertentu. Itulah sebabnya setiap peristiwa sejarah memiliki keunikannya sendiri-sendiri yang membedakan dengan peristiwa sejarah yang terjadi pada ruang dan waktu

yang lain.

Oleh karena itu, diperlukan kajian Monumen dan Tetenger Sebagai Penanda Sejarah ini semata-mata untuk menginventarisasi dan mendokumentasikan penanda sejarah yang telah terjadi untuk Kota Yogyakarta maupun untuk Bangsa Indonesia itu sendiri. Kami mengucapkan terimakasih kepada seluruh tim penyusun kajian yang terlibat. Seluruh tahap pelaksanaan kajian dapat berjalan dengan lancar, harapannya mendapatkan hasil yang terbaik demi meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pelestarian nilai sejarah. Mengingat bahwa arti penting sejarah bagi kehidupan saat ini dan sekaligus kehidupan yang akan datang, maka sejarah menjadi bagian yang sangat penting untuk dijadikan bahan kajian di lembaga-lembaga pendidikan.

Kajian Sejarah “Monumen Dan Tetenger  Sebagai Penanda Sejarah Di Kota Yogyakarta” dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan pertimbangan bahwa data yang dikumpulkan lebih banyak bersifat deskriptif dan perlu interpretasi mendalam. Adapun penelitian dalam kegiatan ini merupakan penelitian terapan yaitu dengan keinginan untuk menjawab atau mencari solusi pemecahan masalah-masalah terkait dengan kebijakan sehingga solusi yang dihasilkan dapat diimplementasikan sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan dan keputusan mengenai keberadaan monumen dan tetenger di Kota Yogyakarta.

Adapun metode yang digunakan adalah metode penelitian sejarah, yaitu penyelidikan yang kritis terhadap keadaan-keadaan, perkembangan, serta pengalaman di masa lampau dan menimbang secara cukup teliti dan hati-hati tentang bukti validitas dari sumber-sumber sejarah, serta interpretasi dari sumber-sumber keterangan tersebut (Nazir 2005: 48)[1].

Dari kajian ini dapat disimpulkan bahwa:

  1. Terdapat 140 Monumen, Tetenger dan Penanda Sejarah yang Terinventarisasi
  2. Terdapat 140 Monumen, Tetenger dan Penanda Sejarah yang terdokumentasi
  3. Terdapat 140 Monumen, Tetenger dan Penanda Sejarah yang Ternarasikan sejarahnya

Berdasarkan kesimpulan tersebut, dihasilkan suatu rekomendasi, diantaranya yaitu:

  1. Membuat panduan penulisan narasi dalam monumen dan tetenger. Monumen dan tetenger sebagai salah satu media yang dibangun untuk merawat memori kolektif masa lalu yang berkaitan dengan perjuangan, pencapaian atau peringatan peristiwa yang penting agar diketahui oleh generasi selanjutnya. Agar tidak terjadi kekeliruan dalam membuat narasi dalam monumen dan tetenger, dipandang perlu untuk dibuat panduan penulisan narasinya: Panjang narasi pada monumen dan tetenger kurang lebih satu paragraf, dengan menggunakan kalimat sederhana yang jelas.
    • Isi substansi narasi pada monumen dan tetenger harus bersifat objektif dan merujuk pada fakta yang valid.
    • Dalam penyusunan narasi harus berdasarkan pada referensi yang relevan dan terpercaya atau informasi dari pelaku/saksi sejarah.
    • Isi narasi pada monumen dan tetenger minimal mengandung 3 aspek yaitu: latar belakang peristiwa, peristiwa itu sendiri (termasuk didalamnya tokoh), dan tujuan dibuatnya monumen/tetenger.
    • Dikarenakan sebuah peristiwa sejarah terjadi tidak mungkin hanya diprakarsai oleh satu orang aktor sejarah maka hendaknya dihindari narasi yang sifatnya framing atau menonjolkan, mengkultuskan (hero worship) tokoh atau kelompok tertentu, yang akibatnya dapat meminggirkan peran tokoh atau kelompok yang lain.
    • Dikarenakan narasi dalam monumen dan tetenger harus berbasis pada fakta historis, maka hendaknya dihindari narasi yang memuat berbagai ideologi dan pesan yang mengarah pada kepentingan kekuasaan.
    • Untuk menghindari narasi pada monumen atau tetenger akan mengarah pada politik memori, maka dapat dibentuk sebuah tim khusus yang terdiri dari ahli dari lintas bidang ilmu yang bertugas mengkaji narasi tersebut.
  2. Selain itu, perlu adanya panduan dan kriteria pembuatan identitas monumen dan tetenger sebagai penanda sejarah untuk situs sejarah.  Jika mengacu pada Undang-Undang No 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya, yang dimaksud dengan situs cagar budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu. Dalam hal ini situs sejarah merupakan bagian dari situs cagar budaya yang ada diwilayah administratif Kota Yogyakarta. Untuk membuat identitas monumen dan tetenger sebagai penanda sejarah untuk situs sejarah di wilayah administratif Kota Yogyakarta perlu dibuat panduan dan kriterianya sebagai berikut.
    • Bahwa yang dimaksud dengan situs sejarah dalam hal ini merupakan bagian dari situs cagar budaya yang ada di wilayah kota Yogyakarta.
    • Sebelum membuat identitas monumen dan tetenger pada situs sejarah, terlebih dahulu harus dipastikan status situs tersebut mengenai penetapannya sebagai situs cagar budaya oleh Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Yogyakarta.
    • Mengacu pada poin 2, terdapat 2 kriteria atau klasifikasi situs sejarah dalam hal ini yaitu pertama situs sejarah yang belum ditetapkan sebagai cagar budaya dan kedua situs sejarah yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh TACB Kota Yogyakarta.
    • Jika situs sejarah yang dimaksud belum ditetapkan sebagai cagar budaya, padahal telah memenuhi syarat sebagaimana ditentukan oleh UU No. 11 Tahun 2010, maka hendaknya situs sejarah tersebut diajukan kepada TACB Kota Yogyakarta untuk dilakukan kajian terlebih dahulu.
    • Jika situs sejarah yang dimaksud sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, maka pembuatan identitasnya sebagai monumen dan tetenger harus mengacu pada naskah kajian penetapan yang dilakukan oleh TACB Kota Yogyakarta.
    • Pembuatan identitas situs sejarah yang sudah berstatus sebagai situs cagar budaya harus selaras dengan naskah kajian penetapannya.
    • Oleh karena itu pembuatan identitas situs sejarah ini dapat mengambil dari bagian naskah kajian penetepann yang sudah dilakukan oleh TACB.
  3. Pembuatan monumen baru hendaknya memiliki bentuk yang sesuai dengan lokasi perletakan, skala pandang, dan keamanan
  • Rancangan obyek monumen atau tetenger baru hendaknya menyesuaikan lokasi apakah akan menggunakan model tiga dimensi, atau dua dimensi sehingga keberadaannya tidak menimbulkan kekacauan visual atau gangguan lain seperti aksesibilitas dan estetika
  • Skala pandang dihitung secara cermat baik dimensi fisik secara utuh maupun obyek informasi (tulisan, atau gambar) sehingga dapat teramati dengan baik dengan skala ukuran terhadap lingkungan yang proporsional
  • Pilihan material dan system konstruksi diperhitungkan secermat mungkin sehingga dapat menjamin keamanan bagi lingkungan
  1. Tema dapat ditransformasikan dan atau di stilasikan untuk menjadi obyek utama monumen. Sebuah obyek monumen atau tetenger hendaknya memiliki tema bentuk yang diolah dari nilai penting baik peristiwa, ketokohan, tempat, atau perkembangan ilmu pengetahuan yang penting yang kemudian ditransformasikan atau distilasikan menjadi bentuk akhir
  2. Obyek utama monumen harus dilengkapi dengan informasi yang jelas, kalimat yang padat, sahih, dan memiliki daya tahan lama. Selain memiliki obyek utama yang baik dan berkualitas obyek monumen  atau tetenger hendaknya dilengkapi informasi gambar bila perlu dan tulisan dengan berbagai macam Bahasa yang singkat, padat, dan jelas serta diyakini kebenarannya.
  3. Material yang digunakan harus menggunakan material yang tahan terhadap pengaruh alam tropis dalam jangka waktu yang lama. Pilihan tempat baik di dalam ruangan atau di luar ruangan hendaknya mempengaruhi pilihan material yang memungkinkan agar obyek monumen atau tetenger memiliki ketahanan terhadap pengaruh alam dan gangguan manusia dalam jangka waktu yang lama.
  4. Tengaran yang hanya berisi informasi tempat hendaknya mengikuti peraturan yang sudah ada. Norma mengenai pilihan warna, jenis huruf, desain bentuk untuk menunjukkan tempat penting sudah diatur. Dengan ini maka pembuatan tetenger baru terutama yang menunjukkan tempat dapat mengikuti norma tersebut (bidang media berwarna hijau, dan konten tulisan berwarna kuning)
  5. Unsur keistimewaan DIY dan potensi wilayah dapat ditambahkan ke dalam obyek untuk penguat identitas. Semua jenis monumen atau penanda hendaknya diupayakan sedemikian rupa menyematkan ciri Keistimewaan Yogyakarta dan Kota Yogyakarta. Ciri tersebut dapat berupa bentuk, warna, ornament, atau font tulisan.
  6. Dengan pertimbangan semakin minimnya ruang terutama ruang terbuka public maka pembuatan monumen atau tetenger dimungkinkan dapat diinklusikan (digabungkan) dengan media lain misalnya gapura sekaligus media menempatkan plakat, relief, gambar, atau obyek tiga dimensi. Denagn metode ini satu obyek atribut kawasan dapat memuat berbagai macam kepentingan identitas atau informasi
  7. Beberapa peristiwa penting yang belum memiliki monumen atau tetenger hendaknya segera dibangun menyesuaikan pedoman tersebut diatas sehingga nilai penting yang ada dapat terus diingat. Adapun beberapa peristiwa yang belum dibuat monumen  atau tetenger yaitu, peristiwa Geger Spahey, Peristiwa pidato Dwikora, demonstrasi pro penetapan dan penetapan UU keistimewaan, pisowanan agung reformasi 1998.
  8. Kondisi fisik monumen dan tetenger yang ada di kota Yogyakarta berbeda-beda. Monumen dan tetenger yang berada dibawah kewenangan lembaga resmi cenderung terawat namun monumen dan tetenger yang pembangunannya diinisasi oleh kelompok masyarakat cenderung tidak terawat. Padahal keduanya menyimpan memori perjuangan bangsa yang bobotnya hampir sama. Oleh karena itu perlu diagendakan secara perawatan rutin baik mencakup dana dan tenaganya.

Nasir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *