Kearifan Angkringan atau HIK di Surakarta

Angkringan, yang asalnya dari kata “angkring”, sudah berusia seabad lebih bercokol di Kota Bengawan, jauh sebelum merebak di telatah Yogyakarta. Sebagai buktinya, jurnalis Djawi Hiswara edisi 28 Januari 1918 menyurat terminologi “angkring” dalam pemberitaannya. Koran lawas terbitan Surakarta menjelaskan bahwa angkring adalah keranjang pikulan untuk mewadahi panganan dan air kopi (yang tergeletak di samping jalan).

Angkringan menggamit sederet fungsi. Dialah penanda kota yang tak pernah tidur, sekaligus potret kegigihan warga kelas bawah mengais secentong nasi. Gerobak yang berjumlah ratusan itu simbol wong cilik bertahan dari jepitan hidup di area perkotaan. Bermodal secukupnya dan tanpa susah payah mencari ijazah, mereka menggulung lengan baju nglembara ke Solo dan Yogyakarta mengikuti jejak kerabat dan tetangganya berjualan angkringan.

Bagi kaum pembeli, angkringan berikut nasi kucing-nya bukan sebatas juru penyelamat kala kantong kempes. Dengan merogoh kocek secukupnya, kita sanggup melahap gorengan yang disajikan meliputi mendoan, bakwan, tahu susur, lentho, pisang goreng, limpung, blanggreng, tape goreng, dan lainnya. Juga memesan wedang teh kebo njerum (kerbau berendam di air), yakni teh dengan gula batu yang dibiarkan menggeletak tanpa diusik oleh sendok. Bila dihayati, sesungguhnya angkringan laksana ruang perenungan. Dengan segenap menu dan tampilan sederhana, hik mengajak kita ngemadne urip (menikmati hidup) barang beberapa jenak, tanpa harus kemrungsung (tergesa-gesa) lantaran dikejar waktu.

Seraya menyesap wedang teh ginastel (legi, panas dan kentel) dan camilan yang menggerakkan mulut, kita duduk nglaras di dingklik panjang. Di sini kita berkesempatan menghibur diri, membahagiakan hati, mengendorkan ketegangan hidup, yang telah menjadi tradisi manusia Jawa selama ini. Seperti priayi di masa silam yang menikmati suara burung perkutut dan duduk di kursi goyang serta kulitnya dielus angin sepoi dari rerimbun daun di pekarangan rumah.

Gampang dijumpai penikmat angkringan duduk sendirian maupun berbincang bersama teman sambil berpikir, mencari akal agar kebutuhan keluarga tercukupi. Nongkrong di angkringan, pikirannya mulai terbuka sehingga menemukan cara yang tepat untuk berbuat apa besok pagi. Kearifan angkringan bukan berhenti pada perkara perut dan mengajari ajur-ajer (melebur) dalam berinteraksi sosial lintas kelas sebagaimana jarwo dhosok wedang (ngawe kadang), yaitu mencari-menambah teman. Tetapi juga sarana mengendalikan batin (rohani) supaya dirinya tak larut oleh kegelisahan jiwa, angan-angan yang tak karuan juntrungnya, harapan yang tak mungkin tercapai, di mana semua itu kalau dibiarkan dapat berakibat fatal bagi pribadi dan keluarga.

Dalam nuansa angkringan yang khas, kita tanpa sadar mudah dibujuk menggelar momen instropeksi dan metani atau meneliti diri sendiri. Kalau mampu berpikir sejauh itu, kita dapat semeleh, berdamai dengan keadaan yang dialami dan takkan menggerutu kepada Gusti Allah perihal nasib maupun kondisi aktual yang dinilai kurang mengenakkan.

Tidak jarang pula dipergoki sopir becak dan buruh bangunan lungguh jegang bercengkerama di angkringan dibumbui humor ala wong cilik. Dengan suasana santai dan harga makanan terjangkau dompet, angkringan merajuk mereka semeleh. Bila telah membanting tulang namun tetap berkekurangan, perlahan mereka dipaksa menerima kasunyatan urip apa adanya. Melalui cara inilah, mereka menemukan ketentraman batin dan sumber kebahagiaan sejati manusia. Ya, angkringan menjelma menjadi klinik rohani segala kelas social (Heri Priyatmoko, 2018).

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

two × three =

Latest Comments