Kue kolombeng merupakan makanan khas Yogyakarta. Kue kolombeng sudah ada sejak zaman dulu, sejak zaman kolonial. Kue ini berbentuk segi empat, berwarna coklat polos dan menggembung di bagian tengah seperti bantal kecil. Rasanya manis, legit, dan terasa empuk saat digigit. Tetapi kue ini garing dan beremah, jika tidak hati-hati dimakan, butiran tepung akan jatuh atau tersangkut di ujung-ujung bibir. Pada zaman dulu, kue kolombeng adalah makanan agung bagi rakyat jelata. Kue ini hanya tersaji di acara khusus, semisal kenduri atau pernikahan. Kue ini juga kerap disandingkan dengan kue apem sebagai hantaran sesaji pada tradisi nyadran di bulan ruwah menurut kalender Jawa.
Di Yogyakarta, kue kolombeng dulu hanya dijual oleh pedagang bakul tenongan dengan cap PA, atau Paku Alaman di luar pasar Beringharjo. Kelurahan Paku Alaman memang sempat terkenal sebagai sentra penghasil kue kolombeng mulai 1950 sampai sekitar akhir era 1990-an. Kini, tidak ada lagi pembuat kolombeng di Paku Alaman. Salah seorang pembuat Kolombeng yang masih bertahan adalah Cipto Diyono yang memilih menetao si Dusun Diran, Desa Sidorejo, Lendah, Kulonprogo. Sejak tahun 2000-sekarang, ia aktif memproduksi kue dan memasarkannya ke Bantul, Yogyakarta dan Kulonprogo.
Kue kolombeng yang telah matang sempurna akan bertahan sampai satu minggu. Karena itu, zaman dulu kolombeng kerap dijadikan bekal perjalanan bagi warga yang akan pergi jauh karena awet dan tidak mudah basi. Pembuatan kue kolombeng yang tidak mudah ini memiliki makna sebagai proses kehidupan. Untuk meraih tujuan yangmulia, manusia harus tekun berusaha. Namun, saat sudah mencapai tujuan itu, manusia harus tetap sederhana. Sesederhana kue kolombeng yang apa adanya dan tidak berlebih-lebihan.
Nama kolombeng sendiri masih menjadi misteri. Sejauh ini, tidak ada yang tahu pasti apa arti sesungguhnya dari nama ini. apalagi penyebutan tiap daerah yang berbeda, ada yang menyebut kolomben, klemben tetapi semua merujuk ke jenis kue yang sama. Pak cipto menduga kolomben berasal dari bahasa jawa “ kolo mbiyen” yag berarti masa lalu. Mengingatkan kita pada masa lalu, waktu makanan enak masih jarang dijumpai. Sekarang, kue kolombeng telah tenggelam oleh ketenaran panganan modern lain. Meski sudah hampir punah, tetapi kue kolombeng harus tetap ada, meskipun hanya sebagai pelengkap uba rampe atau perlengkapan sesaji di upacara-upacara adat tradisional. Bentuk dan rasa yang relatif sederhana serta fungsinya yang kebanyakan digunakan dalam upacara tradisi kematian menyebabkan kue ini kurang mendapat peminat. Bahkan di beberapa tempat kadang kue ini disebut kue kijing (jirat penanda makam) karena bentuknya mirip jirat pada makam.
No responses yet