Kuliner Tradisional Sega Abang – Sega abang merupakan menu khas kuliner tradisional yang cukup langka dan sudah menjadi ciri khas di Kabupaten Gunungkidul. Pada satu sisi, keberadaannya itu membawa berkah bagi daerah Kabupaten Gunungkidul. Hal itu dikarenakan dengan memeiliki ciri khas menu tradisional maka para wisatawan domestik maupun manca negara pun akan datang ke Kabupaten Gunungkidul untuk membuktikan kekhasan itu. Di sisi lain, keberadaan beras merah yang kian langka di daerah setempat menjadi masalah tersendiri, bukan tidak mungkin jika petani lebih memilih bertanam padi beras putih maka pari gogo yang menjadi ciri khas Gunungkidul akan hilang. Metode yang digunakan dalam pengkajian sega abang ini adalah deskriptif kualitatif. Sumber data yang digunakan ada dua yaitu sumber pustaka sebagai data sekunder dan data lapangan yang digunakan sebagai sumber primer.
Sumber data lapangan diperoleh dengan berbagai cara yaitu observasi, dokumentasi dan wawancara. Metode observasi dilakukan dengan menghimpun data di lapangan yang dilakukan oleh peneliti secara partisipan maupun non partisipan. Sedangkan wawancara dilakukan dengan narasumber yang berkompeten, antara lain: perangkat desa, petani, pelaku usaha kuliner dan konsumen.
Sega abang sejak tahun 1926 sudah menjadi kuliner yang khas bagi daerah kabupaten Gunungkidul. Pada waktu itu Mbah Ta Pawira telah berjualan sega abang dengan mendirikan warung sega abang yang berlokasi di Jirak, Semanu, Kabupaten Gunungkidul. Lokasi berjualan beliau berada dekat dengan sebuah jembatan yang dikenal dengan nama jembatan Jirak atau lebih tepatnya di sebelah selatan jembatan Jirak. Oleh sebab itu duikenal dengan sebutan sega abang Jirak. Setelah mbah Ta Pawira tidak mampu berjualan atau melanjutkan usaha warung makan sega abang Jirak maka pengelolaannya diserahkan kepada Mbah Martono. Mbah Martono merupakan putri atau anak dari mbah Ta Pawiro. Pada waktu warung makan sega abang warisan mbah Ta Pawiro ini dikelola oleh Mbah Martono maka ada saudaranya yang ikut dalam melayani atau berjualan sega abang Jirak. Hal itu dikarenakan mbah Martono tidak memiliki anak. Ketika mbah Martono sudah tidak mampu meneruskan usahanya maka pengelolaan warung sega abang diserahkan kepada Ibu Suminah. Ibu Suminah bulan merupakan anak dari Mbah Martono melainkan ia sejak awal sudah membantu Mbah Martono dalam berjualan sega abang Jirak. Oleh sebab itu keahlian berjualan sega abang diwariskan kepada Ibu Suminah. Dalam perjalanan waktu, kuliner sega abang mengalami perkembangan yang signifikan karena keberadaan warung sega abang Jirak telah dikenal oleh berbagai kalangan. Untuk wilayah Kabupaten Gunungkidul menu sega abang dapat dijumpai di beberapa tempat, yaitu; rumah Makan Pari gogo Jirak Semanu, Rumah Makan Sega abang Gungungkidul dan Warung sega abang di Munggi.
Di Kabupaten Sleman terdapat rumah makan sega abang Sega abang Lombok Ijo Pakem Mbah Widji yang beralamat Jalan Pakem – Turi KM 1, Pakem, Harjobinangun, Sleman, Yogyakarta 55582. Selain itu, di Coffe Jongke juga menyediakan menu Sega abang. Sega abang Belut Lombok Ijo Bu Murni di Jalan Godean; Dapur Desa Sega abang Lombok Ijo di Jalan Taman Siswa, Yogyakarta; dan Warung Makan Lombok Ijo Sega Abang Khas Gunungkidul di Jalan Pakem Turi Km1. Klarangan Harjobinangun Pakem Sleman Yogyakarta.
Baca Juga : Rintisan Kelurahan Prenggan
Secara filosofis masyarakat pedesaan Gunungkidul mengajarkan hidup sederhana yaitu menyesuaikan dengan kondisi alam lingkungan dimana mereka hidup atau tinggal. Hal ini dapat dilihat bahwa dalam lingkungan yang cukup tandus dengan lahan pertanian kering mereka membuktikan mampu menyesuaikan dengan baik. Gambaran kesederhanaan juga terlihat dalam proses yang panjang dalam memasak sega abang. Seperti yang diuraikan pada bab sebelumnya bahwa pari gogo (beras merah) yang merupakan bahan dasar dari pembuatan sega abang itu tetap tumbuh dengan baik di lahan yang kering atau tanpa irigasi. Bahkan mampu bertahan hidup walau tidak diberi irigasi (air yang cukup). Hal ini disampaikan juga oleh narasumber Ibu Sukinah bahwa masyarakat Gunungkidul meskipun diberikan lahan yang tandus atau kering naming tetap semangat dan bersyukur untuk memanfaatkan lahan yang dimiliki. Fungsi sosial sega abang bagi masyarakat Gunungkidul pada jaman dahulu menjadi sarana untuk berelasi dan berkomunikasi diantara mereka. Hal itu menurut Ibu Suminah bahwa oada jaman dahulu sistem menyumbang diwujudkan dalam bentuk barang satu diantaranya beras merah (pari gogo). Hal itu dikarenakan hasil bumi pertanian mereka adalah pari gogo. Fungsi sosial yang lain adalah adanya warung makan yang menyediakan menu sega abang dapat dijadikan sarana untuk interaksi sosial bagi konsumen atau komunitas kelompok tertentu. Dengan sambal menikmati sega abang yang disediakan di warung makan dan tempat yang nyaman masyarakat dapat menggunakan alternatif untuk mengadakan pertemuan di warung sega abang tersebut. Selain itu secara individu warung makan sega abang dapat dimanfaatkan sebagai tempat berkumpul untuk bertukar pikiran dan berelasi sosial walaupun mereka sebelumnya tidak saling mengenal.
Dalam fungsi ekonomi, Makanan sega abang bagi masyarakat Gunungkidul mampu dijadikan sebagai komuditas bisnis yang tentu saja dapat meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat. Hal ini dibuktikan oleh keluarga Bu Suminah dan Bapak Purwanto yang mewarisi usaha warung makan mbah Ta Parwira yang sejak dilakukan tahun 1926. Secara fisik bahwa peningkatan kesejahteraan keluarga Bapak Purwanto dan Ibu Suminah tampak usahanya yang semakin maju.
Menu tradisional sega abang diolah secara tradisional dan disajikan secara tradisional pula. Proses pengolahannya cukup panjang jika diperhitungankan sejak awal maka mulai menanam padi sampai memasak sega abang merupakan perjalanan yang cukup panjang. Dari menanam biji padi, merawat tanaman, memanen padi, menjemur padi, menumbuk padi menjadi beras hingga memasak sega abang. Konsep itu menjadikan sega abang memiliki nilai yang cukup mendalam bagi kehidupan manusia. Merupakan symbol nilai bahwa masyarakat Gunungkidul merupakan masyarakat yang memiliki sikap sederhana dan mampu menyesuaikan dengan baik terhadap lingkungan. Dalam perjalanan waktu setelah kemajuan teknologi dan penelitian semakin maju ternyata sega abang memeiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan nasi biasa atau nasi beras putih. keunggulan itu antara lain adalah kandungan seratnya yang lebih tinggi dari beras putih. selain itu kandungan glikemik dalam beras merah lebih rendah dari beras putih. hal inilah yang sangat bermanfaat bagi kesehatan bagi orang yang menderita sakit diabetis karena glikemik yang rendah mampu menjadi penghambat glukosa dalam darah sehingga bermanfaat mengendalikan kandungan glukosanya.
Sega abang abang Kabupaten Gunungkidul telah mampu menarik perhatian para tokoh nasional di anatarnya Presiden Mrgawati Sukarno Putri, Presdien Ir H Joko Widodo, Sri Sultan Hamengku Buwono X, G.K.R Hemas dan masih banyak tokoh nasional yang lain.
Proses memasak sega abang Gunungkidul tetap dilakukan secara tradisional dengan memanfaat alat tradisional, proses tradisonal dan sajian tradisional. Alat- alat tradisional yangdigunakan dalam proses emasak antara lain: keren atau tungku tradisional, dandang, siwur, enthong, dan tumbu. Proses memasak yang harus dilakukan adalah mususi yaitu proses membersihkan beras merah dari debu atau kotoran, ngaru atau ngekel dan adang. Penyajian sega abang dari jaman dahulu masih tetap mempertahankan menu ketradisionalnnya. Beberapa variasi atau kreatifitas yang dilakukan adalah dengan menambah perlengkapan makanan pendamping. Menu utama sega abang adalah: sega abang, jangan lombok ijo, daging empal, wader kal, daun papaya dana yam kampong. Ktambahan kreatifitas atau variasi sajian adalah dengan menambah menu pendamping berupa sayur brongkos kulit mlinjo.
No responses yet