Manuskrip merupakan koleksi langka yang dipunyai oleh setiap bangsa di belahan dunia. Masyarakat bisa mempelajari perjalanan hidup leluhurnya melalui naskah lama yang telah dianggit leluhurnya. Manuskrip sangat penting utuk dikaji dan dijaga kelestariannya karena ini merupakan jejeak sejarah yang sangat penting. Ini juga merupakan warisan masa lampau yang memuat pengetahuan yang berkaitan dengan realitas atau kondisi sosiokultural yang berlainan dengan kondisi sekarang.
Manuskrip juga mengandung informasi yang tak sembarangan dari bidang sastra, agama, hukum, adat istiadat, dan lannya. Informasi yang berada di manuskrip dapat membantu atau menjadi panduan bagi penekun sejarah maupun peneliti di bidang humaniora tatkala mempelajari topik yang dikajinya. Contohnya adalah kur’an kajawekaken.
Kur’an kajawekaken ini telah di laporkan oleh Yatini Wahyuningsih, SE, M.Si pada 28 Juni 2021 di Surakarta. Sederhananya, kur’an kajawekaken adalah terjemahan Al-Quran dalam prosa Jawa. Kur’an ini menjadi salah satu sarana penyebaran Islam pada masanya. Kur’an ditulis di Surakarta pada awal abad XX atau sekitar 1905/1906, ini sezaman dengan pemerintahan Paku Buwana X. Proses penerjemahannya dilakukan oleh tiga orang ulama keraton, salah satunya Bagus Ngarpah. Kemudian, penyelarasan dan penulisan ke Bahasa Jawa dilakukan oleh Mas Ngabei Wiro Pustaka dan Ki Rana Subaya. Kur’an kajawekan terdiri dari tiga bagian yang berjumlah 30 juz. Nama-nama didalamnya tetap menggunakan Bahasa Arab tetapi penulisannya menggunakan Aksara Jawa dengan dibaca dari sebelah kiri, seperti membaca aksara pada umumnya.
Manuskrip ini sepertinya draf dari bagian pertama dari 3 jilid tafsir Qur’an yang diproduksi oleh Bagus Ngarpah. Nancy Florida menjelaskan bahwa pada 27 Desember 1906, 3 bagian Qur’an diserahkan kepada Ngarpah. Penulisan manuskrip ini oleh, “pun suwonda” dimulai pada 26 Rabingulakir Alip 1835 (30 Juni 1905). Teks ini dapat dikategorikan sebagai bentuk terjemah bebas Al-Quran. Dalam penulisannya,ada beberapa nomer anyat yang tidak sesuai dengan Al-Quran. Namun demikian, secara isi sama sekali tidak ada perubahan. Proses penerjemahan ini dilakukan oleh tiga orang, yakni Kyai Bagus Ngarpah, seorang ulama Keraton Kasunanan Surakarta pada masa Pakubuwono X sebagai penerjemah. Kemudian Mas Ngabehi Wiro Pustoko sebagai abdi dalem jajar mantra kantor Radyapustaka bertugaas sebagai penyelaras. Sedangkan Ki Rono Suboyo sebagai abdi ndalem jajar Nirbaya Kaparak Tengen yang membantu Kantor Radya Pustaka ditugasi menjadi penulis ke bahasa jawa. Teks ini dipecah menjadi tiga buah buku ang berjumlah 30 juz. Menggunakan aksara jawa, dengan awalan surat dalam teks berbunyi, “Awit inngkang Asma Allah Kang Maha Murah Tur Kang Maha Asih”. Sementara untuk penulisan terjemahan menggunakan tinta hitam dan merah, tinta merah adalah untuk penulisan daftar.
Untuk sampai saat ini, kondisinya masih bertahan dengan upaya pelestarian dengan pelestarian secara langsung dan promosi secara mulut ke mulut.
No responses yet