Latar Belakang Pendirian Pesanggrahan di Kesultanan Yogyakarta – Sebagai salah satu wilayah pusat peradaban Jawa, di Yogyakarta banyak ditemukan bangunan berupa heritage peninggalan kejayaan pada masa lalu. Selain bangunan berupa candi, di wilayah Yogyakarta juga banyak ditemukan bangunan berupa pesanggrahan. Jika candi pada umumnya merupakan jejak peninggalan masa kerajaan Mataram Hindu, bangunan pesanggrahan merupakan peninggalan yang tidak dapat dilepaskan dari sejarah Kerajaan Mataram Islam dan berdirinya Kraton Yogyakarta Hadiningrat. Berdirinya Kasultanan Yogyakarta merupakan konsekuensi dari Perjanjian Giyanti yang terjadi pada tanggal 13 Februari 1755 M (29 Rabiul Akhir 1680 J) antara Pangeran Mangkubumi dan VOC (Belanda). Salah satu poin Perjanjian Giyanti itu adalah pembagian wilayah kerajaan Mataram Islam menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Kasunanan Surakarta dipimpin oleh Sunan Paku Buwono III sedangkan Kasultanan Yogyakarta dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Pembagian kerajaan Mataram Islam menjadi dua wilayah ini juga dikenal dengan istilah Palihan Nagari, sedangkan Babad Giyanti menyebutnya dengan istilah Sigar Semangka (Yasadipura I, 1936)
Dalam Palihan Nagari itu, Sri Sultan Hamengku Buwono I mendapatkan bagian:
- Separuh dari wilayah Negaragung yaitu daerah-daerah sekeliling Nagari (kedudukan Raja=Kraton), luasnya mencakup 53100 karya, meliputi wilayah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede. Daerah ini sebagian besar merupakan tanah apanage
- Separuh dari wilayah Mancanegara, luasnya mencakup 33950 karya, meliputi a) Daerah Madiun; Magetan, Caruban, separuh Pacitan, b) Daerah Kediri; Kertosono, Kalangbret, Ngrowo (Tulungagung), c) Daerah Surabaya; Japan (Mojokerto), d) Daerah Rembang; Jipang (Bojonegoro), Teras-Karas (Ngawen), e) Daerah Semarang; Sela, Warung (Kuwu, Wirasari), dan Grobogan (Lombard, 2005: 46)
Menurut Serat Kuntharatama, pada hari Kamis Pon, 29 Jumadil’awal Be 1680 J atau 13 Maret 1755 M Sultan Hamengku Buwono pergi ke bumi Mataram tepatnya di hutan Beringan (disebut juga Beringin atau Pabringan) (Nurhajarini, 2012: 36). Didepan seluruh putera sentana dan abdi dalemnya Sultan Hamengku Buwono kemudian memproklamasikan Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram Ngayogyokarto Hadiningrat (separo Nagari Mataram) (Buminata, 1958: 78). Pada kesempatan itu Sultan Hamengku Buwono I sekaligus mengumumkan secara resmi bahwa daerah kekuasaannya dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat yang berlokasi di hutan Beringan dimana terdapat ada sebuah umbul (mata air) Pacethokan (Babad Nitik, 1981: 28), dan suatu pesanggrahan yang disebut Garjitowati. Pesanggrahan ini pembangunanya diprakarsai oleh Sunan Amangkurat IV, namun sebelum bangunan terwujud Sunan Amangkurat IV meninggal. Pembangunan kemudian dilanjutkan oleh Sunan Paku Buwono II sampai terwujud sebuah pesanggrahan yang kemudian diberi nama Ayodhya atau Ngayogya (Revianto, 2008: 63).
Setelah penetapan tersebut, Sultan Hamengku Buwono I segera memerintahkan rakyat untuk membuka hutan (babad alas) untuk didirikan kraton yang dimulai pada Kamis Pon, 13 Sura Tahun Wawu 1681 J, (bertepatan dengan 9 Oktober 1755 M). Sembari menunggu proses pembangunan kraton, Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarga dan para sentana menempati Pesanggrahan Ambarketawang yang berada di daerah Gamping. Dari tempat inilah Sultan Hamengku Buwono I selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan. Bahkan menurut Babad Giyanti, Sultan berkunjung setiap sore hari ke lokasi pembangunan kraton.
Pembangunan pesanggrahan ini juga tidak terlepas dari aspek pertahanan karena letaknya disamping sebuah gunung gamping yang secara tidak langsung memberi perlindungan kuat kepada penghuni pesanggrahan. Letak gunung Gamping berada di sebelah timur laut pesanggrahan. Di dalam gunung gamping yang membujur ke timur, terdapat lubang semacam gua buatan yang membujur sepanjang gunung gamping. Gua ini sengaja dibuat untuk tujuan perlindungan dan benteng pertahanan karena pintunya yang ada di sebelah barat berhubungan langsung dengan pesanggrahan.
Dalam artikelnya berjudul Yogyakarta, yang dimuat dalam TBG Vol. XXXVII tahun 1894, Brandes menjelaskan dengan detil mengenai wilayah yang kemudian dikenal dengan Yogyakarta itu. Menurut Brandes, bahwa wilayah yang dikenal dengan Yogya atau Ayogya yang berada di Distrik Mataram itu sudah ada sebelum Perjanjian Giyanti 1755. Hal itu didukung oleh berbagai dokumen awal Belanda, yang telah diterbitkan dari tahun 1743. Dalam catatan perjalanan van Imhoff, dinyatakan bahwa Gubernur Jenderal VOC itu pernah tinggal di wilayah ini pada tahun 1746 dalam perjalanan pulangnya dari Kartasura, ketika terjadi peristiwa Geger Pecinan (Noorduyn, 1986: 87-96).
Menurut catatan perjalanan Gubernur VOC von Imhoff, bahwa rombongan iring-iringan dia melewati Desa Taji (mungkin Desa Taji, Juwiring saat ini), setengah jam kemudian sampai di Prambanan, yang disamping jalan terdapat banyak batu besar bertebaran (yang dimaksud adalah Candi Prambanan). Kira-kira satu jam dari Prambanan, von Imhoff melewati Sungai Ampar yang airnya mengalir ke selatan, dan tibalah dia di Desa Arandulan, tempat tinggal Mas Garendi pada tahun 1743. Menurut informasi penduduk setempat yang diterima oleh von Imhoff, disekitar itulah pusat Mataram, dimana terdapat sebuah rumah peristirahatan (pesanggrahan) Susuhunan yang sangat luas dan dalam keadaan kosong. Jarak Desa Taji ke pesanggrahan Susuhunan di Mataram (Gerjitowati) adalah 4,5 jam perjalanan.
Baca juga : Indonesia Negara yang Kaya akan Pesona
Babad Giyanti pupuh VI menginformasikan bahwa perjalanan pulang Gubernur Jenderal von Imhoff setelah berkunjung selama 7 hari di Surakarta pada 1746 melewati wilayah Mataram. Van Imhoff menghabiskan waktu sekitar tiga hari di Ayogya, untuk melihat reruntuhan Pasar Gedhe, Kerta, dan Pleret dan untuk melihat Laut Selatan, kemudian kembali ke Ayogya lagi. Von Imhoff tercengang melihat keindahan tanah Ayogya (saening tanah Yogya) (Yasadipura I, 1936)
Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki istana baru sebagai peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk boyongan berpindah menetap di kraton Yogyakarta. Peristiwa boyongan ini terjadi pada tanggal 7 Oktober 1756 M atau 13 Sura Jimakir 1682 J (Kemis Pahing). Di Kraton sendiri tanggal pendiriannya dinyatakan dalam sebuah gambaran dua ular naga yang saling mengait, yang menggambarkan konogram (sengkalan) Dwi Naga Rasa Tunggal yang berarti 1682 tahun Jawa (Revianto, 2008: 64). Sengkalan tersebut menyiratkan makna Sari-Rasa-Tunggal (hakekat kesatuan) dan Sarira-Satunggal (hakekat kesatuan). Untuk sementara, Sultan Hamengku Buwono dan keluarga tinggal di Gedhong Sedahan.
Bagian utama dari Kraton Yogyakarta kedhaton. Kraton dikelilingi oleh dinding batu bata. Sekeliling Kraton terdapat parit yang dalam. Lima pintu gerbang menghubungkan Kraton dengan wilayah jaban beteng/luar, yaitu: (1) Tarunasura (gerbang timur-laut); (2) Jagasura (gerbang barat-laut); (3) Jagabaya (gerbang barat); (4) Nirbaya (gerbang selatan); dan (5) Madyasura (gerbang timur). Gerbang Madyasura di sebelah timur tidak pernah dibuka sampai pada tahun 1923. Mungkin gerbang ini dahulu dianggap sangat keramat, karena dari arah timur matahari (Dewa Wisnu) akan muncul di dunia ini (Soedarsono, 1997: 125).
Bangunan tempat kediaman Sultan dan kerabatnya disebut Prabayeksa yang selesai dibangun pada tahun 1756. Kemudian menyusul bangunan Siti Hinggil dan Bangsal Pagelaran yang selesai pada tahun 1757. Sementara Regol Danapratapa dan Bangsal Kamagangan selesai dibangun pada tahun 1761 dan 1763. Masjid Gedhe Kauman dibangun pada tahun 1771. Benteng besar yang mengelilingi kraton selesai dibangun pada tahun 1777. Bangsal Kencana selesai dibangun pada tahun 1792, dan seterusnya istana kraton Yogyakarta terus berkembang seiring berjalannya waktu.
Dari kraton inilah kemudian berkembang menjadi kota Yogyakarta. Oleh karena itu kraton menjadi elemen paling penting dari perkembangan Yogyakarta. Terdapat 2 elemen bangunan fisik yang menjadi faktor pembentuk perkembangan awal Yogyakarta, yaitu elemen primer dan skunder. Elemen primer terdiri dari dua, pertama adalah alun-alun yang merupakan ruang terbuka di depan kraton, kedua adalah Tugu yang dibangun setelah kraton berdiri, lokasinya sekitar 2,5 km di utara alun-alun utara. Setelah itu baru dibangun elemen skunder yang terdiri dari kompleks Kepatihan, Pasar Gedhe (Beringharjo), Benteng Vredeburg dan kediaman Residen (Priyono, 2021: 135-136).
Proses selanjutnya Sultan Hamengku Buwono I juga memerintahkan untuk membangun kampung-kampung yang ada di sekeliling Baluwarti Kraton. Kampung ini diperuntukkan bagi pemukiman prajurit angkatan perang dan abdi dalem kraton. Pada awalnya mereka tinggal didalam Baluwarti Kraton. Namun seiring perkembangan faktor sosial dan politik kemudian kampung prajurit dan sebagian kampung abdi dalem dipindah ke njaba beteng.
Di samping benteng pertahanan berupa beteng, posisi Kraton Yogyakarta juga memiliki aspek pertahanan lain yang berupa bentang alam, yakni sungai. Kraton Yogyakarta diapit beberapa sungai baik di sisi barat maupun sisi timur. Sungai Code dan Sungai Winongo merupakan pertahanan ketiga, Sungai Gajah Uwong dan Sungai Bedhog sebagai ring pertahanan keempat dan Sungai Opak serta Progo sebagai pertahanan kelima. Bentang alam lainnya adalah Gunung Merapi yang menjulang tinggi di bagian utara dan Samudera Hindia di sebelah selatan (Uddin, 2018: 76).
Selain bangunan yang bersifat sarana dan prasarana pendukung keberadaan Kraton dan perkembangan kota Yogyakarta, sejak masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I dibangun juga pesanggrahan atau taman. Pesanggrahan atau taman ini biasanya dibangun sebagai tempat peristirahatan, tetirah, atau semedi untuk raja dan kerabatnya. Disamping komponen-komponen bangunan yang menunjukan sebagai tempat peristirahatan, pesanggrahan-pesanggrahan tersebut juga selalu mimiliki komponen pertahanan. Pesanggrahan tersebut dibangun sebagai tempat untuk beristirahat yang sifatnya eksklusif, hanya untuk keluarga kerajaan. Selain itu, beberapa pesanggrahan juga berfungsi filosofis-spiritual.
Pesanggrahan atau taman yang pertama kali dibangun di Kesultanan Yogyakarta adalah Pesanggrahan Tamansari yang mulai dibangun pada 1757 oleh Sultan Hamengku Buwono I. Tamansari merupakan taman kerajaan atau pesanggrahan Sultan Hamengku Buwono I dan keluarganya. Setidaknya sampai dengan Sultan Hamengku Buwono VIII, semua sultan pernah membangun pesanggrahan pada masa pemerintahannya. Semua pesanggrahan yang dibangun itu mempunyai latar belakang, tujuan, dan kekhasan bangunannya, yang membuatnya unik dan berbeda antara satu dengan lainnya.
Beberapa pesanggrahan yang dapat diketahui tinggalan dan tapaknya sampai saat ini di wilayah Yogyakarta adalah sebagai berikut (Hadiyanta, 2020: 2):
- Pesanggrahan masa Sultan Hamengku Buwono I yaitu Pesanggrahan Ambarketawang, Pesanggrahan Tamansari, dan Krapyak.
- Pesanggrahan masa Sultan Hamengku Buwono II yaitu Pesanggrahan Rejawinangun, Rejakusuma, Purwareja, Sanapakis, Wanacatur, Tlogo Ji Toya Temumpang, Kanigara, Kwarasan, Cendhanasari, Wanacatur, Tanjungtirta, Madyatawang, Samas, dan Pengawatrejo.
- Pesanggrahan masa Sultan Hamengku Buwono VI yaitu Pesanggrahan Ambarbinangun.
- Pesanggrahan masa Sultan Hamengku Buwono VII yaitu Pesanggrahan Ambarrukma.
- Pesanggrahan masa Sultan Hamengku Buwono VIII yaitu Pesanggrahan Ngeksiganda.
Selain para sultan di Kesultanan Yogyakarta, upaya membangun pesanggrahan juga dilakukan oleh Paku Alam dari Kadipaten Pakualaman. Paku Alam V membangun Pesanggrahan Glagah yang ada di Temon Kulon Progo, di kawasan makam Girigondo Paku Alam V juga membangun sebuah pesanggrahan yang berlokasi di Desa Kaligunting Temon. Sementara Paku Alam VII membangun Pesanggrahan Hargopeni yang ada di Kaliurang.
Untuk informasi mengenai penelitian pariwisata, berupa kajian atau pendampingan lebih lanjut dapat menghubungi Admin kami di(0812-3299-9470).
No responses yet