Laweyan, Potret Keperkasaan Mbok Mase

Laweyan bukan hanya perkara batik dan rumah tua. Di sana, wisatawan bisa diajak memahami aspek wirausaha yang dijalankan kaum perempuan. Dalam dimensi sejarah dan sosial, mereka merupakan kaum “minoritas”, tidak direken, bahkan diasingkan oleh kelompok sosial pemegang kekuasaan. Lapisan sosial masyarakat Jawa hanya diisi golongan bangsawan, priayi dan wong cilik (orang kecil). Kultur wirausaha tidak diakui sebagai watak kebudayaan asli masyarakat yang tumbuh dari peradaban agraris yang berpusat pada institusi keraton. Pada zamannya, pengusaha batik yang kondang dengan sebutan mbok mase ini dimusuhi. Sampai muncul mitos menyakitkan: jangan mengawini bau (gen) Laweyan jika tidak mau mati, atau minimal sengsara.

Mereka adalah tipologi pedagang sukses di Jawa karena dikenal punya etos kerja yang jempolan. Taufik Abdullah (1979) menjelaskan, etos kerja ialah sikap dasar seseorang atau kelompok orang dalam melakukan kegiatan yang bersifat fisik maupun yang bersifat rohaniah. Tidak kurang De Kat Anggelino, utusan pemerintah kolonial Belanda, membuat catatan mengenainya. Perusahaan batik yang digeluti mereka dinilai berhasil menggetarkan jagad ekonomi di Hindia Belanda. Bahkan, sampai mendorong melahirkan organisasi Sarekat Dagang Islam, embrio dari Sarekat Islam.

Dari hasil telaah historis Soedarmono (2006), diketahui bahwa dalam setiap harinya, mbok mase hanya istirahat selama 7 jam, selebihnya disediakan untuk bekerja di perusahaan dan di pasar-pasar sandang. Semangat kerja mereka begitu tinggi apabila dibandingkan dengan pekerjaan para suami di perusahaan. Untuk menggambarkan etos kerja para juragan batik perempuan ini, ada ungkapan lokal: “sing wedok mbatik, sing lanang ngingu kutut” (pekerjaan wanita melulu hanya membatik, sementara suaminya cuma bersantai dengan burung perkutut).

Kebanyakan dari saudagar yang masih beretos kerja tinggi adalah mereka yang pertama kali membuka usaha keluarga, kemudian generasi kedua atau ketiga wanita. Ditemukan fakta sejarah yang menarik, yaitu anak-anak yang sudah dipersiapkan oleh orang tuanya untuk melanjutkan usaha keluarga, biasanya sengaja tidak disekolahkan. Sebab itu sedari umur 6 tahun anak tersebut sudah digembleng memahami metode mengurus perusahaan. Mereka terjun dalam pendidikan informal keluarga yang lebih menekankan segi keterampilan di pabrik serta pengetahuan empiris mengelola perusahaan. Para buah hati pengusaha umumnya lebih banyak disiapkan untuk menyerap pengetahuan dan pengalaman orang tuanya, sebab itu bukan ukuran lamanya pendidikan melainkan nilai pemahaman.

Mbok mase juga menjadi “guru ekonomi” bagi buruh. Para pekerja dianjurkan berhemat dan meninggalkan masa bersenang-senang. Selagi masih kuat, mereka diajarkan bekerja keras, disiplin dan punya tanggung jawab. Tidak lain demi memenuhi kebutuhan rumah tangganya serta menabung untuk persiapan hari tua. Buruh yang malas bakal menjadi musuh pengusaha perempuan yang menguasai pasar lokal dan jaringan batik luar daerah ini.

Sikap mbok mase tak mau berkompromi dengan siapapun. Unsur korupsi, kolusi dan nepotisme yang dianggap bagian dari mental menerabas atawa rute yang emoh bersusah payah ini, ternyata tak menggegoti jiwa dagang mereka. Pengusaha batik ini tahan banting manakala menghadapi krisis ekonomi zaman Malaise 1930-an. Selama bertahan dari terpaan krisis, mbok mase mengajarkan kepada anaknya untuk menerapkan sistem produksi praktis, yang mereka sebut produksi berkala. Kendati tiada permintaan barang, perusahaan tetap berproduksi dalam jumlah yang kecil. Etos kerja merupakan kunci mbok mase membangun dan mengelola kerajaan bisnisnya, sampai pada akhirnya mengalahkan kekayaan kelompok bangsawan-priayi yang diperoleh dari gaji “negara” dan pajak rakyat (Heri Priyatmoko, 2015).

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

twenty + 7 =

Latest Comments