Panggung Krapyak merupakan bagian awal dari tiga susunan sumbu filosofis (Panggung Krapyak – Keraton Yogyakarta – Tugu Pal Putih) yang menggambarkan “Sangkan Paraning Dumadi” (dari mana manusia berasal, dan ke mana manusia kembali) pada konteks “Jagad cilik” (mikrokosmos). Kata Krapyak menurut kepercayaan masyarakat Jawa, khususnya Keraton Yogyakarta, adalah tempat roh-roh suci yang atas perkenan Allah dihembuskan ke dalam calon bayi yang berada dalam kandungan Ibu. Oleh karenanya, Panggung Krapyak secara simbolis menggambarkan “yoni“. Pertemuan antara Wiji (asal kata nama Kampung Mijen) atau benih, dengan Tugu Pal Putih (menggambarkan “lingga“) di utara Keraton Yogyakarta, melambangkan awal proses kelahiran manusia. Panggung Krapyak dibangun sekitar tahun 1760 oleh Sri Sultan HB I yang memiliki kegemaran yang sama dengan Prabu Hanyokrowati yaitu berburu. Panggung sebagai pos berburu sekaligus sebagai daerah pertahanan dari binatang buas. Panggung Krapyak yang menyerupai kotak ini memiliki ukuran luas 17,6 m x 15 m dan tinggi 10 m. Dindingnya terbuat dari batu bata merah yang dilapisi semen. Pada setiap sisinya terdapat sebuah pintu dan dua buah jendela yang berada di kanan kirinya. Dan ternyata, Bangunan ini ditetapkan sebagai cagar budaya dengan Per.Men Budpar RI No. PM.89/PW.007/MKP/2011.
Secara simbolik Panggung Krapyak merupakan bagian awal dari tiga susunan sumbu filosofi (Panggung Krapyak – Kraton-Tugu) Sangkan Paraning Dumadi. Panggung Krapyak menggambarkan Yoni, atau alat kelamin wanita. Pertemuan antara Wiji (benih) yang digambarkan antara Panggung Krapyak (sel Telur) dengan Tugu Pal Putih sebelah Utara Kraton (sperma) yang melahirkan manusia. Krapyak menurut kepercayaan Jawa, khususnya Kraton adalah tempat roh-roh. Pencipta berkenan menghembuskan Roh suci ke dalam badan besar seorang calon bayi dalam kandungan sang ibu. Panggung Krapyak berlokasi sekitar dua kilometer ke arah selatan dari Kraton Yogyakarta. Bangunan Panggung Krapyak berdiri dengan kokoh, berbentuk kastil dengan batu yang ditata setinggi lebih kurang 10 m. Semula Panggung Krapyak berfungsi sebagai tempat Sultan dan kerabatnya berburu menjangan dan berpesiar. Saat ini Panggung Krapyak menjadi salah satu tempat tujuan pariwisata. Warga di sekitar Panggung Krapyak masih mengetahui bahwa dulunya Panggung Krapyak ini menjadi arena berburu Menjangan oleh Sultan dan Kerabatnya, hal tersebut juga dikuatkan dengan adanya Desa Menjangan yang berada persis di sebelah selatan Panggung Krapyak. Menurut warga, dahulu terdapat juga segaran (laut buatan) yang ada di sisi timur selatan Panggung Krapyak, namun saat ini telah menjadi kampung padat penduduk. Makna harfiah dari Krapyak adalah cagar perburuan berpagar. Ini digunakan untuk merujuk pada alam arham. Alam arham merupakan tempat bersemayam jiwa setelah berpisah dari essensi illahiyah tetapi sebelum turun ke dalam embrio. Menurut tradisi kraton kedua konsep itu berkaitan, sebab sultan memelihara rusa di kawasan tertutup, memiliki makna yang sama dengan Allah menahan jiwa jiwa yang belum diciptakan hingga saatnya nanti tepat untuk mereka turun ke dunia. Secara simbolik Panggung Krapyak merupakan titik awal sumbu filosofis sangkan paraning dumadi. Panggung Krapyak-Kraton adalah sumbu sangkaning dumadi.
Panggung Krapyak memuat ajaran penting tentang proses pertumbuhan manusia. Panggung Krapyak merupakan perwujudan awal dari proses kelahiran manusia. Bangunan ini merupakan lambang dari lauh mahfudl dalam kosmologi tasawuf yang merupakan rahasia penciptaan manusia. Konsep ini menjelaskan bahwa Allah telah menuliskan kehidupan seorang manusia berawal dari lauh mahfudl. Panggung Krapyak menjadi salah satu kelengkapan keraton Yogyakarta, sejak masa pemerintahan Sultan HB I bangunan ini berlantai dua, bentuk piramida separuh. dibangun 1782 sebagai fasilitas di dalam area hutan perburuan milik keraton. Panggung Krapyak dilengkapi pagar tembok pendek mengelilingi pinggiran atap. permukaan atas terdapat 4 umpak landasan tiang bangunan berbahan kayu. Pada lantai atas tersebut sultan dapat mengamati prajurit dan kerabatnya dalam berburu menjangan (rusa). Area lokasi bangunan ini dikenal juga dengan sebutan “Kandang Menjangan” dahulu berupa hutan yg diisi hewan menjangan untuk di buru, dipinggir hutan ditutup agar hewan tetap di dalam. bentuk, sisa pagar keliling hutan sudah tidak ditemukan.
Kami selaku konsultan pariwisata mengucapkan terimakasih kepada Instansi terkait atas kepercayaan dan kerjasamanya. Demikian artikel penelitian pariwisata ini disusun, semoga bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam pembangunan pariwisata setempat.
Untuk informasi mengenai penelitian pariwisata, berupa kajian atau pendampingan lebih lanjut dapat menghubungi Admin kami di +62 812-3299-9470
No responses yet