Eskalasi jumlah pengguna internet bukanlah hal yang mengejutkan, namun ada fakta lain yang lebih mengejuttkan daripada itu yaitu ketika mengetahui terjadinya peningkatan jumlah institusi dan komunitas dari budaya daerah tertentu yang ikut serta memanfaatkan internet sebagai media pelestarian budaya, termasuk wayang kulit. Mengapa hal ini dianggap mengejutkan? Pasalnya, selama ini institusi maupun komunitas dengan kosentrasi di bidang budaya dan tradisi tersebut seakan memiliki ideologi kuat yang selalu berlawanan dengan arus modernisasi. Ideologi tersebut bahkan sebelumnya terlihat seperti memusuhi teknologi digital. Oleh karenanya, apakah ternyata ihwal ini salah? Berdasarkan fenomena baru tersebut, salah dan benar bukanlah pokok bahasan dalam kajian ini. Melihat realita adanya langkah adaptasi kultural yang diambil oleh para kaum tradisionalis sebagai strategi pelestarian budaya di ranah digital inilah yang menjadi hal menarik untuk dianalisis lebih dalam.
Di satu sisi secara garis besar dapat dilihat bahwa digitalisasi merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan manusia, dan di sisi lain tampak adanya adaptasi kultural yang ternyata menghasilkan negoisasi-negoisasi baru. Jika merujuk pada fakta yang terjadi, pelbagai upaya pelestarian budaya daerah yang dilakukan kelompok maupun institusi kebudayaan tertentu kini memanfaatkan teknologi digitalisasi sebagai medium formal dalam menyampaikan informasi kepada publik. Dalam ihwal ini, kehadiran digitalisasi dan internet membuat semua batas tegas yang telah terbentuk sebelumnya berubah.
Selaku dalang muda yang tergabung di dalam tim digitalisasi wayang kulit Keraton Yogyakarta, sejak awal tahun 2019 sebagai bentuk strategi pelestarian budaya, khususnya terkait dokumentasi sejarah, Keraton Yogyakarta berhasil melakukan program digitalisasi dalam bentuk foto terhadap dua kotak koleksi wayang kulit keraton. Hasil dari digitalisasi koleksi tersebut kemudian telah dipublikasikan kepada publik melalui website resmi Keraton Yogyakarta (kratonjogja.id). Peluncuran program digitalisasi wayang kulit ini tentu mendapat banyak sambutan dan apresiasi dari masyarakat, namun sangat disayangkan terkait beberapa alasan teknis seperti tingginya resolusi gambar yang menyebabkan lambatnya akses jaringan, maka saat ini koleksi digitalisasi tersebut harus di take down dari website dan mengalami tahap perbaikan jaringan hingga waktu yang belum dapat ditentukan.
Ide awal digitalisasi wayang kulit Keraton Yogyakarta ini datang dari inisiasi Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu (putri ke-4 Sri Sultan Hamengkubuwana X) bersama dengan suaminya Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Notonegoro yang mengalami kesulitan mendapatkan informasi terkait kebudayaan Jawa saat menuntut ilmu di Amerika Serikat. Berdasarkan latar belakang pengalaman tersebut maka tercetuslah program digitalisasi wayang kulit. Menurut keterangan Mas Jajar Cermogupito, harapannya pemanfaatan teknologi digital terhadap pelestarian seni wayang kulit ini dapat menjadi sumber referensi yang tepat bagi masyarakat. Khususnya bagi para seniman tatah sungging maupun para dalang di luar benteng keraton (bukan bagian dari abdi dalem Keraton Yogyakarta).
Secara visual dan ukuran memang mudah membedakan wayang kulit gagrag Yogyakarta dan Surakarta. Wayang kulit gagrag Yogyakarta secara ukuran lebih besar dan terlihat berisi, sementara gagrag Surakarta lebih ramping. Namun melalui digitalisasi arsip foto yang diunggah oleh keraton, kita dapat menemukan detail yang lebih spesifik lagi, contohnya ternyata bila diamati warna dan ornament yang digunakan dalam sunggingan wayang kulit gagrag Yogyakarta dan Surakarta pun berbeda. Secara garis besar hal ini menujukkan bahwa tradisi dan modernisasi ternyata memang mampu berjalan selaras.
Untuk informasi mengenai penelitian pariwisata, berupa kajian atau pendampingan lebih lanjut dapat menghubungi Admin kami di 081232999470.