Di Solo, dijumpai Pasar Kembang yang menggoda untuk dikunjungi. Tempat tersebut menjajakan bunga untuk sesaji, sadranan, jenazah, atau asesoris. Pasar yang khas ini tidak gampang dijumpai di setiap perkotaan besar di Jawa. Maka, keberadaannya pun boleh dibilang langka. Secara teoritis, pasar tradisional lahir serta berkembang mengikuti hari pasaran (Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan Pahing). Pasar secara harfiah berarti berkumpul untuk jual-beli barang sekali dalam lima hari Jawa. Nah, gumbrenggeng atau keriuhan suasana Pasar Kembang tidak tergantung pada hari pasaran tertentu. Komoditas yang ditawarkan memang tidak banyak terpengaruh oleh pasaran, melainkan dipengaruhi intensitas upacara ritual yang dijalankan masyarakat setempat.
Dalam panggung seminar sejarah budaya, masyarakat Jawa tak jarang ditempeli julukan “manusia seribu upacara”. Alasan logisnya, mulai masih dalam kandungan sampai kematian (seribu hari), orang Jawa sudah disibukkan dengan upacara slametan. Fase metu (lahir), manten (nikah), dan mati (meninggal) diperingati lewat gelaran ritual yang menyertakan kembang (bunga) sebagai pelengkap sesaji.
Sayangnya, muncul persoalan aktual, yaitu manusia Jawa mengalami keterputusan akar kulturalnya mudah membubuhkan cap: sesaji bagian dari klenik, mistik, dan irasional. Padahal, diperlukan “membaca” sesajen secara arif sebagai bentuk lain dari doa dan bermuatan asa yang baik. Dalam upacara perkawinan, misalnya, terdapat sajen aran kembang yang diwujudkan dalam bentuk sesajian berupa aran kembang (remukan kerak nasi yang sudah digoreng), kembang pari (kerak nasi yang masih mentah), serta kembang telon dan rokok cerutu. Kembang telon dan cerutu ditaruh dalam wadah yang terbahan dari daun pisang yang kedua sisinya diikat dengan potongan lidi.
Orang Jawa memberi makna dalam sajen tersebut, yakni rintangan dan halangan dapat hadir lewat kegemaran buruk ma-lima (maling, madat, medok, minum, dan main). Simbol aran kembang dan kembang pari melukiskan kerasnya cobaan hidup berumah tangga, seperti kerasnya dan tajamnya kedua makanan itu. Kemudian, simbol kembang telon (kenanga, mlati, dan kanthil) menurut tradisi Jawa kuno mendeskripsikan godaan yang datangnya dari tiga dunia, baik dunia atas (dunia dewa), tengah (dunia manusia), dan bawah (dunia binatang). Kemudian, cerutu menyimbolkan sifat madat atau suka mengonsumsi barang haram.
Perlu menjelaskan bahwa kembang menjadi bagian dari sajen upacara dan perlengkapan meditasi sebetulnya berfungsi sebagai “parfum” tradisional yang telah ditemukan nenek moyang berabad-abad silam. Berkat kembang itulah, aroma ruangan menjadi harum tanpa harus menyemprotkan wewangian yang diimpor dari Barat. Demikian pula takkala prosesi siraman dalam upacara pernikahan khas Jawa. Calon pengantin tampil memesona di muka publik dengan tubuh menguarkan aroma wangi, tanpa harus memakai sabun produk Barat.
Keakraban masyarakat Jawa dengan kembang dalam kehidupan sehari-hari tergambar dari parikan atau pantun yang sangat merakyat. Ia mudah dibuat dan diucapkan oleh siapa pun, termasuk para bakul pasar dengan pembeli. Ambillah contoh: Kembang mawar ganda arum ngambar-ambar, ati bingar aja mung yen nampa bayar. Kembang jagung kembang kenanga, yen wis kadhung aja tinggal lunga. Kembang jagung kembang melathi, yen wis kadhung aja digetuni. Kembang mlathi dironce-ronce, kene setengah mati kana ora nggape. Kembang mlati ganda arum warna peni, watak puti kudu gemi lan nastiti. Eksistensi Pasar Kembang musti dijaga, dengan cara dipromosikan dan dikunjungi.
No responses yet