Pengembangan Desa Wisata Nglanggeran

Industri pariwisata telah menjadi salah satu pendorong ekonomi utama di banyak negara berkembang dengan salah satu model pengembangan pariwisata yang berkembang pesat adalah pariwisata perdesaan (Villanueva-álvaro, Mondéjar-Jiménez, & Sáez-Martínez, 2017). Alternatif pengembangan pariwisata perdesaan yang kerap diterapkan di Indonesia disebut dengan istilah desa wisata. Desa wisata merupakan pariwisata yang memberikan pengalaman aktivitas di wilayah pertanian (Frochot, 2005) yang mengutamakan keterlibatan masyarakat (ASEAN, 2016; Yanes dkk., 2019) dengan mempertimbangkan aspek sosial, lingkungan, dan budaya wilayah (Frochot, 2005; ASEAN, 2016; Dodds dkk., 2018). Pengembangan desa wisata menerapkan prinsip pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat atau dikenal dengan istilah CBT (community based tourism) (Purbasari & Manaf, 2017).

Pengembangan desa wisata berdasarkan prinsip CBT ini dapat memberikan berbagai manfaat berupa peningkatan pendapatan masyarakat (Nair & Hamzah, 2015; Hidayah, 2013; Hermawan, 2016a; Nugroho, 2018), pelestarian sosial-budaya (Nair & Hamzah, 2015; Hidayah, 2013; Hermawan, 2016b; Nugroho, 2018), pelestarian lingkungan (Nair & Hamzah, 2015; Nugroho, 2018), peningkatan kapasitas masyarakat (Nair & Hamzah, 2015; Hidayah, 2013), hingga menjadi alat pengentasan kemiskinan wilayah (APEC, 2014, dikutip dalam Nair & Hamzah, 2015). Salah satu pengembangan desa wisata yang telah berjalan di Indonesia yaitu Desa Wisata Nglanggeran yang berlokasi di Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Salah satu modal utama pengembangan Desa Wisata Nglanggeran adalah adanya daya tarik wisata alam berupa Gunung Api Purba Nglanggeran yang memiliki keindahan panorama alam serta sejarah geologisnya tersendiri. Berdasarkan sejarah geologisnya, Gunung Api Purba Nglanggeran merupakan gunung api purba yang berumur tersier (Oligo-Miosen) atau telah ada sejak 0,6 – 70 juta tahun yang lalu (Pokdarwis Desa Nglanggeran, 2015b). Pada masa lampau, Gunung Api Purba Nglanggeran merupakan gunung vulkanik aktif yang dibuktikan dengan adanya batuan sedimen vulkanik serta adanya aliran lava andesit di kawasan Gunung Api Purba Nglanggeran (Pokdarwis Desa Nglanggeran, 2015b). Di kawasan Gunung Api Purba Nglanggeran juga dijumpai berbagai flora dan fauna langka, seperti tanaman tremas (tanaman obat yang hanya hidup di kawasan Gunung Api Purba) dan kera ekor panjang (Pokdarwis Desa Nglanggeran, 2015b).

Seiring berjalannya waktu, daya tarik wisata di Desa Wisata Nglanggeran kian bertambah dengan dibukanya obyek wisata Embung Nglanggeran, Air Terjun Kedung Kandang, Kampung Pitu, dan juga penyediaan beberapa paket wisata edukasi seperti edukasi penanaman padi, edukasi pengolahan tanaman kakao, edukasi pembuatan batik topeng, dan lainnya. Pengembangan Desa Wisata Nglanggeran dilakukan sepenuhnya atas inisiasi serta keterlibatan masyarakat yang dinaungi oleh sebuah lembaga bernama Pokdarwis Desa Nglanggeran (Kelompok Sadar Wisata Desa Nglanggeran). Penyamaan visi misi di masyarakat merupakan hal penting yang dilakukan untuk membangun fondasi dalam proses pengembangan Desa Wisata Nglanggeran. Seiring berjalannya waktu, adanya berbagai bantuan pembangunan fasilitas dan pengembangan SDM baik dari pemerintah, BUMN, swasta, dan akademisi dapat mendorong terwujudnya kesuksesan pengembangan Desa Wisata Nglanggeran. Kesuksesan Desa Wisata Nglanggeran tersebut dibuktikan dengan berbagai prestasi sampai kancah internasional, diantaranya yaitu memperoleh ASEAN CBT Award 2017 sebagai Desa Wisata berbasis masyarakat terbaik se-ASEAN (Andryanto, 2017), memperoleh penghargaan ASTA (ASEAN Sustainable Tourism Award) pada tahun 2018 (Pokdarwis Desa Nglanggeran, 2019a), dan termasuk dalam daftar Top 100 Sustainable Destinations 2019 (Green Destinations, 2019).

Selepas dari kesuksesan pengelolaan Desa Wisata Nglanggeran, diketahui terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dalam pengembangan desa wisata. Tantangan tersebut diantaranya yaitu kendala pemasaran kepada wisatawan (Priyanto & Safitri, 2016; Ratu & Adikampana, 2016) dan manajemen CBT yang buruk sehingga menyebabkan adanya kendala komunikasi antarlapisan masyarakat, kurangnya transparansi informasi dan kurangnya kepercayaan antarmasyarakat, sampai keterbatasan kapasitas manusia dan sosial (Tasci, Croes, & Villanueva, 2014; Đurkin & Perić, 2017). Di sisi lain, pada era ini berkembang TIK/ICT (Teknologi Informasi dan Komunikasi/Information and Communication Technology) yang telah melekat pada kehidupan sehari-sehari manusia dan berdampak pada perilaku masyarakat, khususnya juga pada bidang pariwisata (Szopiński & Staniewski, 2016). Adanya perkembangan TIK telah memberikan berbagai macam alat baru baik bagi pemasaran ataupun manajemen industri pariwisata (Buhalis & Law, 2008) sehingga pemanfaatannya dapat berpeluang mengatasi tantangan pengembangan desa wisata.

Kami selaku konsultan pariwisata mengucapkan terimakasih kepada Instansi terkait atas kepercayaan dan kerjasamanya. Demikian artikel penelitian pariwisata ini disusun, semoga bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam pembangunan pariwisata setempat.

Untuk informasi mengenai penelitian pariwisata, berupa kajian atau pendampingan lebih lanjut dapat menghubungi Admin kami di 081232999470.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *