Pewarisan dan Pengembangan Mitos Gunung Merapi – Dari generasi ke generasi, Mitos Gunung Merapi diwariskan secara turun-temurun sebagai tradisi lisan yang dituturkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Hal ini sejalan dengan pengakuan Mbah Marjo yang mengetahui berbagai cerita makhluk-makhluk penunggu Gunung Merapi dari orang tuanya. Selain pewarisan dalam keluarga, ritual-ritual komunal masyarakat lereng Merapi yang didorong oleh Mitos Gunung Merapi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya juga menjadi suatu wadah agar generasi muda dan anak-anak dapat melihat, ambil bagian, dan kelak menjadi aktor penyelenggaraan dan pewarisannya.
Meski begitu, seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, Mitos Gunung Merapi mulai ditinggalkan oleh orang-orang muda yang lebih percaya pada pengetahuan saintifik yang modern. Kalaupun para pemuda mengikuti tradisi-tradisi yang diselenggarakan oleh para tetua, mereka melakukannya hanya demi menghormati orang tua. Setelah erupsi tahun 2010 yang mengakibatkan wafatnya Mbah Maridjan, orang-orang muda juga mulai menyangsikan kemampuan Juru Kunci Merapi untuk berkomunikasi dan ‘bernegosiasi’ dengan Gunung Merapi seperti yang diceritakan dalam mitos-mitos yang selama ini dipercaya masyarakat. Wardyaningrum (2019, pp. 54–55) menemukan setidaknya empat alasan mengapa generasi muda mulai meninggalkan Mitos Gunung Merapi. Pertama, masyarakat sudah berubah bersama dengan kemajuan peradaban manusia, sehingga anak muda mulai melirik cara hidup yang lebih modern dan pekerjaan-pekerjaan berbeda dengan orang tuanya. Kedua, generasi muda mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dari orang tuanya, sehingga membuat cara berpikir mereka berbeda dengan generasi sebelumnya. Ketiga, teknologi komunikasi mempermudah arus informasi yang diterima oleh generasi muda dan membuat mereka bersentuhan dengan pengetahuan modern setiap saat, mengambil banyak porsi dari pengetahuan tradisional yang frekuensinya lebih jarang ditemui. Terakhir, harus diakui bahwa meningkatnya pengaruh agama-agama modern, terutama Islam yang dominan dalam masyarakat Indonesia, secara perlahan-lahan membuat masyarakat menyesuaikan praktik-praktik kepercayaan lokal dengan ajaran-ajaran agama. Hal-hal yang berisiko bertentangan dengan Agama, terutama banyak aspek dalam Mitos Gunung Merapi dan penghayatannya, mulai dihindari dan ditinggalkan.
Memudarnya Mitos Gunung Merapi pada generasi muda di lereng Merapi tentu menjadi suatu hal yang mengkhawatirkan. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, mitos dan pengetahuan tradisional menjadi sarana yang baik untuk menyukseskan program-program mitigasi bencana Gunung Merapi yang dilakukan oleh pemerintah. Bahkan, peneliti menemukan bahwa pemahaman kebencanaan yang diajarkan di sekolah-sekolah di lereng Merapi terbukti lebih efektif apabila diintegrasikan dengan legenda dan mitos lokal yang dialami oleh para pelajar dalam kehidupannya sehari-hari (Troll et al., 2021, p. 108). Hal ini menjadi bukti bahwa Mitos Gunung Merapi memiliki peran yang penting dalam pendidikan generasi muda, karena akan mencetak anggota-anggota masyarakat yang dapat menyelaraskan pengetahuan yang didapatkan dari kehidupan sehari-hari dengan pengetahuan-pengetahuan yang didapatkan di sekolah. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi para pengambil keputusan dalam lembaga-lembaga pendidikan.
Sebelumnya telah disinggung bahwa perpindahan tempat tinggal banyak masyarakat lereng Merapi ke hunian-hunian tetap (huntap) pasca erupsi telah mengubah beberapa aspek dalam cara hidup masyarakat. Meski banyak di antara mereka masih melakukan pekerjaan yang sama seperti bertani dan beternak, mereka pulang dari ladang dan hutan ke rumah yang berbeda. Kedekatan masyarakat dengan alam Gunung Merapi yang dulu hadir secara langsung dan intens di lingkungan sekitar rumahnya kini tidak lagi dirasakan karena huntap-huntap yang ada dibangun cukup jauh dari puncak Merapi dan dalam pola pemukiman modern. Hal ini telah mendorong ibu-ibu di Huntap Pagerjurang untuk mengembalikan memori keindahan alamiah yang dulu mereka rasakan sebelum erupsi melalui media Batik Canting Merapi. Melalui motif-motif yang menggambarkan alam Gunung Merapi, seperti Anggrek Merapi, Kopi Lereng Merapi, tanaman Parijoto, dan Batuan Vulkanik, ibu-ibu Pagerjurang mempertahankan memori kolektif masyarakat lereng Merapi tentang alam yang dicintainya (Dewi et al., 2019). Selain itu, melalui Batik Canting Merapi, ibu-ibu Pagerjurang juga telah ambil bagian dalam pewarisan dan pengembangan Mitos Gunung Merapi dengan mengabadikannya dalam bentuk karya.
Baca juga : Keindahan Wisata Danau Quarry Jayamix
Pemeliharaan memori kolektif merupakan hal yang sangat penting dalam usaha pewarisan Mitos Gunung Merapi. Dalam pelestarian ritual-ritual yang dilakukan sebagai penghayatan Mitos Gunung Merapi, konteks kebudayaan yang menjadi habitat ritual tersebut harus dilestarikan juga agar ritual tetap memiliki ruang untuk hidup, misalnya bahasa yang digunakan dan sistem kepercayaan yang digunakan sebagai kerangka nilainya. Hal ini harus dijaga agar Mitos Gunung Merapi melalui ritual-ritualnya tetap dapat menyentuh hati masyarakat pada generasi berikutnya dan tersimpan dalam memori kolektif masyarakat untuk seterusnya (Prawoto & Octavia, 2021, pp. 231–232). Untuk melakukan hal ini, Mitos Gunung Merapi beserta praktik-praktik penghayatan dan pengembangan-pengembangannya perlu ditransformasikan ke dalam berbagai media kontemporer yang banyak diminati oleh generasi masa kini.
Untuk informasi mengenai penelitian pariwisata, berupa kajian atau pendampingan lebih lanjut dapat menghubungi Admin kami di+62 812-3299-9470.
No responses yet