Gudeg telah dikenal oleh masyarakat Indonesia khususnya sebagai makanan khas dari Kota Yogyakarta. Popularitas tersebut juga yang membuat Yogyakarta dikenal dengan nama Kota Gudeg. Gudeg adalah makanan tradisional yang terbuat dari Nangka muda (nangka) yang direbus selama beberapa jam dengan gula kelapa serta santan. Dengan dilengkapi dengan berbagai bumbu tambahan membuat Gudeg menjadi terasa manis dilidah dan memiliki rasa yang khas dan enak sesuai dengan selera masyarakat Jawa pada umumnya.
Awalnya Gudeg yang dikenal oleh masyarakat Indonesia khususnya Yogyakarta jaman dahulu adalah Gudeg Basah. Seiring perkembangan jaman, kebutuhan Gudeg untuk oleh-oleh yang semakin berkembang juga seirama dengan munculnya Gudeg kering. Gudeg kering baru ditemukan sekitar enam dasawarsa yang lalu. Sifatnya yang kering membuat gudeg tersebut tahan lama dan sering dimanfaatkan sebagai oleh-oleh yang tentu saja berdampak dengan munculnya industri rumahan yang menyajikan oleh-oleh Gudeg khas Yogyakarta.
Penerima Anugerah Kebudayaan Kategori Pelestari 2016. Ibu Tjitro Sastrodiprodjo membuka usaha Gudeg Bu Tjitro sejak tahun 1925. Pelestarian masakan tradisional Yogyakarta ini ia wariskan kepada keturunannnya. Saat ini Gudeg Bu Tjitro telah dilestraikan dan dikembangkan oleh generasi keempat. Gudeg yang dimasa Ibu Tjitro hanya dapat dinikmati 6 jam dari proses pembuatan, kini dengan inovasi pengalengan dapat dinikmati konsumen hingga mancanegara. Semakin luas Gudeg Bu Tjitro menjangkau konsumen, semakin luas juga misinya memperkenalkan kuliner tradisi sebagai budaya bangsa Indonesia.
Dalam hal pewarisan resep gudegnya, Ibu Tjitro (alm) memberikan keleluasaan kepada keturunannya untuk mengembangkan rumah makan gudeg sesuai dengan kemampuan dan inovasinya masing-masing. Pada generasi keempat, Rika dan suaminya mulai berinovasi agar gudeg dapat dikemas secara tahan lama, sehingga memperluas pasar tanpa mengurangi kenikmatan gudeg fresh yang dapat dinikmati di rumah makan mereka. Pada masa Ibu Tjitro memang baru menyajikan gudeg fresh atau yang dikemas dalam besek dengan daya tahan enam jam. Lalu, di masa generasi kedua dan ketiga mulai mengembangkan pengemasan gudeg menggunakan kendil yang bisa tahan sampai dua hari. Pada generasi keempat, teknologi pangan juga semakin berkembang, mereka mulai memikirkan untuk dapat mengemas gudeg dalam kaleng.
Kami selaku konsultan pariwisata mengucapkan terimakasih kepada Instansi terkait atas kepercayaan dan kerjasamanya. Demikian artikel penelitian pariwisata ini disusun, semoga bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam pembangunan pariwisata setempat.
Kata kunci: Konsultan pariwisata, penelitian pariwisata, kajian pariwisata
Untuk informasi mengenai penelitian pariwisata, berupa kajian atau pendampingan lebih lanjut dapat menghubungi Admin kami di +62 812-3299-9470
No responses yet