Pleret dalam Sejarah Kerajaan Mataram Islam

Pada awal pendiriannya, Kerajaan Mataram Islam berpusat di Kotagede. Kotagede dibangun oleh Kyai Ageng Mataram atau lebih dikenal sebagai Ki Gede Pemanahan, diperkirakan antara tahun 1577 M hingga 1578 M. Dalam Serat Kandha disebutkan angka tahun 1513 C atau 1591 M untuk tahun pembangunan dalem (istana) dan kotanya (benteng). Pusat pemerintahan kerajaan Mataram di Kotagede ini berlangsung sampai dipindahkan ke Kerta oleh Sultan Agung pada tahun 1618 M.

Pada awalnya daerah Pleret Merupakan calon ibukota Mataram yang telah direncanakan oleh Sultan Agung, ketika Mataram masih beribukota di Kotagede. Selama Mataram di perintah oleh Sultan Agung, beberapa fasilitas Keraton telah di bangun. Pembangunan Keraton ini dengan mengerahkan beberapa desa di bawah kekuasaan Mataram yang melakukan bedhol desa ke wilayah Kerto. Mereka kemudian oleh Negara di perkerjakan sebagai pembuat bata untuk persiapan pembangunan bangunan-bangunan penting Keraton Kerto. Berdasarkan abad sangkala 1565 J (1643 M), salah satunya berupa pembangunan danau atau laut buatan dengan membendung Sungai Opak sebelah timur Pleret, yang nantinya di Segarayasa.

Sumber-sumber Belanda menyebutkan bahwa Pleret, terutama Keraton nya dikelilingi oleh batang-batang air. Pembangunan Keraton  Pleret berjalan terus setidaknya sampai tahun 1668 M, sewaktu makam Ratu Malang di Gunung Kelir selesai dibuat. Ratu malang adalah salah seorang istri Sunan Amangkurat I yang di peroleh dengan jalan merampas dan membunuh suami Ratu Malang yakni Ki dalem. Hal ini mengingat sunan amangkurat I merupakan raja tiran yang tidak segan-segan membunuh orang yang menghalangi kehendaknya.

Akhir masa Keraton  pleret sebagai pusat pemerintahan Mataram Islam ditandai dengan serbuan pasukan Trunajaya, yang mengakibatkan Amangkurat I meninggalkan kota itu pada tanggal 28 juni 1677 M, kemudian di sebutkan bahwa Pangeran Puger (salah seorang putra Amangkurat I) kembali ke Pleret dan berhasil merebut kerajaan dari tangan Trunajaya. Ia tinggal di pleret sampai tahun 1644 J dan kemudian pindah ke kertasura. Setelah itu, keraton pleret tidak berfungsi lagi sebagai benteng alam perang diponegoro. Selanjutnya pada masa colonial Belanda, bekas-bekas bangunan di pleret di ambil batanya untuk membangun pabrik gula kedaton pleret. Walaupun demikian, ketika Rouffaer mengunjungi tempat itu pada tahun 1889, ia masih dapat membuat peta sketsa Keraton  berdasarkan peninggalan-peninggalan yang masih ada. Ia memperkirakan bahwa tembok istana dulu tingginya antara 5-6m, tebalnya 1.5m, dan terbuat dari bata. Bagian atasnya di beri penutup berbentuk segitiga yang terbuat dari balok-balok batu putih.

Seperti telah disebutkan pada bagian terdahulu bahwa museum adalah lembaga penyelenggaraan pengumpulan (collecting), perawatan (treatment), pengawetan (preservasing), penyajian (presentation), penerbitan hasil penelitian dan pemberian bimbingan edukatif kultural tentang benda yang bernilai ilmiah. Dengan demikian, jika dilihat dari perspektif sejarah pengembangan museum ini sangat penting bagi kita untuk menunjukkan bahwa kita memang patut bangga, bahwa nenek moyang kita cukup mempunyai kesadaran sejarah yang tinggi. Mereka meninggalkan ratusan bahkan ribuan prasasti, monumen, bangunan bersejarah serta naskah, yang bisa dipelajari kembali.

PT Kirana Adhirajasa Indonesia, selaku konsultan pariwisata mengucapkan terimakasih kepada semua pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan kajian pariwisata terkait Kajian Pleret dalam Sejarah Kerajaan Mataram Islam. Kajian ini diharapkan dapat menjadi salah satu pijakan bagi pemerintah D.I. Yogyakarta khususnya Dinas Kebudayaan dalam penentuan area pengembangan museum serta pengoptimalan jumlah pengunjung.

Untuk informasi lebih lanjut mengenai kajian atau konsultasi Pariwisata dapat menghubungi Admin kami di 081215017910.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

three × four =

Latest Comments