Ada warisan bagus Gusti Mangkunegara VII (1916-1944) di luar istana yang hingga kini masih bisa dijumpai, yakni jamban alias WC umum di Kampung Ngebrusan. Berbekal pemikiran brilian dan kondisi kas keuangan praja yang bagus, Mangkunegara VII mendirikan jamban umum atau badpaals di Ngebrusan tahun 1938. Terjemahan bebas kata “badpaals” ialah tempat pemandian (tonggak) pertama. Ada nama lain, warga setempat memilih menyebutnya dengan nama “ponten”.
Pembangunan fasilitas publik ini juga merespon politik kebersihan yang digulirkan di Hindia Belanda. Rudolf Mrazek (2006) menjelaskan, dua dekade permulaan abad XX di Hindia Belanda ada sejumlah kemajuan tentang pendistribusian air dan rioleering (saluran pembuangan tinja). Orang mulai melihat bahwa pembuangan tinja secara seksama bisa memberi imbalan dalam bentuk berkurangnya berbagai penyakit menular. Dari kacamata kolonial, lingkungan orang pribumi dinilai kurang mendukung untuk menuju hidup sehat.
Lukisan di atas sebenarnya tidak menyimpang jauh dengan realitas perkampungan di Mangkunegaran. Penguasa mana yang hatinya tidak ditindih rasa sedih saat miderpraja naik kuda mendapati ratusan warganya sehari-hari berkubang dalam lingkungan yang jorok. Buang hajat di lubang jumblengan berbau busuk tempat berbiak nyamuk malaria. Juga ketika mandi dan ngangsu (mencari air bersih), mereka harus rela antre mengingat minimnya persediaan sumur detik itu. Saking tebalnya rasa kemanusiaan
Proyek pembangunan diserahkan kepada arsitek kondang, Thomas Karsten yang ringan tangan mendandani kota yang pernah dijuluki “jantungnya pulau Jawa” ini. Langgam bangunan bercorak tradisional mirip miniatur candi sebagai cirikhas Thomas Karsten yang senantiasa memadukan unsur lokal dengan Barat. Selanjutnya dari segi assaineegering (sanitasi), jamban tersebut sengaja ditempatkan di dekat Sungai Pepe demi melancarkan saluran pembuangan air kotor dan tinja. Kotoran larut mengikut aliran sungai sehingga tidak menimbulkan bau menyengat layaknya jumblengan.
Dicermati lebih detail, terserap pula gagasan modern yang mempertimbangkan aspek hygienitas dan privasi. Di dalam badpaals disediakan dua WC dan tiga pancuran, antara kamar mandi dan WC untuk kaum lelaki dan wanita telah dipilah. Dengan hadirnya fasilitas umum perkotaan itu kontan membikin masyarakat kampung lor bungah, lantaran di tanah jajahan, WC adalah barang mahal dan terlalu istimewa bagi golongan inlander untuk ukuran kala itu. Pasalnya, terdapat diskriminasi dalam pemakaian jamban. Yang boleh memakainya antara lain, pimpinan, staf (toewan kulit putih), orang Asia, serta juru tulis. Maka, pembangunan jamban umum di Ngebrusan merupakan bukti betapa gemuknya rasa kepedulian Gusti Mangkunegara terhadap rakyat untuk “memasyarakatkan kesehatan” dan “menyehatkan masyarakat” dengan mengajari mereka cara hidup sehat. Selain itu, bangunan bernilai historis ini juga dapat dimaknai sebagai tonggak (penanda) revolusi (perubahan) masyarakat Mangkunegaran sadar lingkungan bersih.
Dari hasil penggalian dengan metode sejarah lisan diketahui bahwa tahun 1960-an, manfaat jamban berangsur menyusut. Masyarakat mulai tak lagi ngangsu air dan buang air besar di jamban seiring terpasangnya sumur yang dilengkapi WC di rumah mereka. Karena jarang digunakan, bangunan jamban akhirnya mangkrak. Berubah fungsi menjadi monumen, suatu benda yang berfaedah untuk melawan lupa.
Seiring bergulirnya waktu, sekarang bangunan historis tersebut sudah direvitalisasi oleh pemerintah kota. seringkali digunakan oleh warga atau komunitas untuk blusukan sejarah.
No responses yet