Revitalisasi Seni Pertunjukan – Seni pertunjukan merupakan sesuatu yang hidup dan dinamis. Ia dihidupi oleh warga yang juga dinamis juga. Di era post tradisi[1] ini, ketika arus informasi, arus perpindahan manusia semakin cepat, perkawinan silang antar etnis dan ras sehingga menimbulkan persilangan budaya yang cepat dan dinamis, maka tradisi dan lokalitas kita ternegosiasi. Banyak kesenian kita yang kemudian mati dan punah karena efek ini. Kematian tersebut karena kesenian tidak mampu melakukan transformasi dalam zaman yang selalu berubah. Diantara penyebab matinya kesenian bisa karena sudah ditinggalkan penikmatnya, tidak update teknologi, atau bahkan cara menghadirkan kesenian yang tidak menyesuaikan kebutuhan zaman, sehingga seperti tak dibutuhkan lagi. Sepertinya kita tidak rela jika kesenian dengan kekayaan nilai, pengetahuan dan teknologi kita tersebut kemudian mati begitu saja. Oleh karenanya membutuhkan revitalisasi agar kekayaan kesenian kita tetap lestari bahkan berkembang.
Revitalisasi dipahami sebagai menambah vitalitas baru kedalam sebuah kesenian yang hidup dan dinamis dalam ruang hidup yang dinamis juga. Revitalisasi tidak hanya mencari keaslian tapi usaha untuk menambahkan vitalitas pada idiom estetik seni tradisi kita. Pencarian identitas bukan hanya pencarian bentuk dan makna saja, tapi juga membaca bagaimana seni dihadirkan dalam sebuah ruang pertunjukan dulu dan kini, serta mencari kemungkinan agar idiom estetik tradisional tersebut dapat kontekstual, sehingga dapat membuka peluang untuk berkembang. Karena seni merupakan akumulasi dari praktik terdahulu sehingga mencari keaslian adalah sesuatu yang mustahil.
Dalam konteks revitalisasi seni jathilan lancur terlebih dahulu kita dapat membaca bagaimana kesenian ini dulu dihadirkan. Menurut Pigeud pada awalnya kesenian jathilan hanya dibawakan oleh empat orang dan satu orang dalang. Dalang di sini bukan pencerita seperti pada pertunjukan wayang, namun dalang di sini berperan sebagai pemimpin. Mereka berkeliling untuk acara perkawinan atau hajatan yang ada di desa (Pigeaud, 1938: 217). Lalu jathilan awalnya merupakan kesenian yang dibawa berkeliling untuk mencari penanggapnya (barangan) (Kuswarsntyo, 2017, 3). Artinya kesenian jathilan merupakan sebuah kesenian yang digunakan untuk berkeliling artinya untuk arak-arakan, jadi kesenian ini merupakan kesenian luar ruang. Seni luar ruang tidak hadir dalam gedung/ bangunan dengan penonton yang pasti, tertib dan tetap. Ia bisa hadir dilapangan, kebun, pinggir jalan atau tempat lain, dengan penonton yang bisa masuk keluar seenaknya dengan posisi menonton yang juga senyaman mereka sendiri. Seni-seni luar ruang biasanya hadir dengan sesuatu yang “gigantik”, baik dari segi bentuk properti maupun alat musik yang berukuran besar seperti reog ponorogo dan bebegig sukamantri, atau pernak pernik kostum yang mencolok seperti pada pakai adat dalam tradisi melayu, atau pemainnya berjumlah banyak seperti tari kecak bali, atau pengeras suara yang “menggelegar” seperti seluruh musik pengiring seni luar ruang pastilah keras.
Sebagaimana kesenian rakyat kita kebanyakan yang merupakan seni luar ruang, begitupun dengan jathilan. Walaupun secara jumlah pemain dan ukuran properti yang tidak begitu besar, namun mungkin dulu konsep pertunjukan jathilan lancur merupakan sesuatu yang “gigantik”, jika dilihat dari jumlah penduduk yang tidak begitu banyak, polusi suara yang masih minim, dan sajian saat itu masih sederhana, tidak seperti hari ini. Selain itu data ini kuatkan bahwa seni jathilan hari ini yang berkembang dan maju (banyak penikmatnya) adalah seni jathilan yang menghadirkan sesuatu yang besar (gigantik), baik dari segi jumlah pemain, ukuran properti, musik yang kompleks, warna-warni cahaya laighting yang lebih beragam dan hidup, dan tata sound yang “menggelegar”. Akan tetapi banyak diantara para seniman yang berusaha untuk merevitalisasi dan mengembangkan seni jathilan kemudian terjebak dan kehilangan identitas jathilannya. Sebagian besar seni jathilan yang berkembang sudah seperti seni campur aduk, yang tidak punya lagi pijakan tradisi yang jelas. Jadi cara pandang revitalisasi jathilan lancur harus merupakan proses mentransformasi kesenian tersebut menggunakan idiom-idiom estetik khas Yogyakarta.
Selanjutnya pada dasarnya musik jathilan lancur bukan musik yang berdiri sendiri, ia merupakan musik yang mengisi medium tari jathilan. Artinya ia tidak bisa berdiri sendiri sebagai sebuah pertunjukan musik, tapi harus dalam satu ruang pertunjukan dengan yang “njathil”. Pendapat tersebut selaras dengan irama musik jathilan yang monoton dan tidak melodius, ia hanya berupa iringan-iringan saja. Maka penotasian dan pencatatan jenis tembang tidak dapat dilepaskan dalam konteks ruang “njatil”, artinya penotasian hanya dalam bentuk pola-pola gending, yang menyesuaikan dengan tarian. Posisi pembawa irama dalam musik iringan jathilan adalah kendang, dan posisi kendang selalu mengikuti gerak tari yang sedang berlangsung.
Baca juga : Jathilan Lancur Dulu dan Kini
Kami selaku konsultan pariwisata mengucapkan terimakasih kepada Instansi terkait atas kepercayaan dan kerjasamanya. Demikian artikel penelitian pariwisata ini disusun, semoga bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam pembangunan pariwisata setempat. Untuk informasi mengenai penelitian pariwisata, berupa kajian atau pendampingan lebih lanjut dapat menghubungi Admin kami di 0812-3299-9470.
[1] Bambang Sugiharto
No responses yet