Kebudayaan dapat diterjemahkan sebagai sebuah kompleksitas yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai masyarakat. Salah satu bentuk kebudayaan yang masih terus dilestarikan hingga saat ini adalah tradisi. Dalam praktiknya, tradisi dapat terwujud dalam beragam bentuk—salah satunya adalah ritual adat. Ritual adat atau upacara tradisi merupakan suatu konsep kegiatan sosial budaya yang memiliki beberapa aspek di dalamnya serta bertujuan antara lain sebagai upaya suatu kelompok masyarakat tertentu dalam ihwal mencari keselamatan, kebebasan batin, keberkahan maupun kesejahteraan secara bersama-sama berdasar pada ideologi, kepercayaan, tata olah rasa dan pemaknaan lingkungan terkait terhadap alam.
Minimnya pemahaman masyarakat terhadap makna di balik pelaksanaan suatu tradisi akan menimbulkan permasalahan yang sifatnya berkelanjutan. Jika dibiarkan, permasalahan tersebut akan menimbulkan reduksi makna suatu tradisi yang dipahami oleh masyarakat. Selanjutnya, hal tersebut dapat mengakibatkan acuhnya generasi muda terhadap pelaksanaan suatu tradisi. Mereka hanya mengikuti euforia pelaksanaan suatu tradisi tanpa mengetahui makna sesusungguhnya dari tradisi tersebut. Dengan demikian, diperlukan pemahaman yang baik terhadap makna yang terkandung dalam sebuah tradisi agar para generasi pewaris dapat terus melestarikan tradisi hingga generasi-generasi berikutnya.
Salah satu bentuk budaya ritual adat yang saat ini masih berlangsung adalah ritual adat Gunung Lanang yang berlokasi di Dusun Bayeman, Kapanewon Temon, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Melalui upaya pengkajian ritual adat Gunung Lanang ini diharapkan dapat menjadi suatu tinjauan ilmiah informatif bagi masyarakat sebagai upaya pelestarian terhadap ritual adat terkait mengingat dalam tulisan dimuat beberapa aspek antara lain aspek historis, aspek latar belakang, aspek rangkaian prosesi serta beberapa aspek lain yang dapat menunjang upaya tersebut. Selain itu, kajian ini turut diharapkan dapat menjadi salah satu basis tulisan untuk pengusulan Warisan Budaya Tak Benda serta basis perumusan kebijakan pembangunan berkelanjutan kebudayaan (Nugroho, Carden, Antlov, 2018). Tujuan dilakukannya kajian atas ritual adat Gunung Lanang ini ialah untuk: upaya inventarisasi objek budaya ritual adat Gunung Lanang, baik dalam hal nilai, pengetahuan, maupun keberadaan dan keberlangsungannya, diperoleh gambaran pelaksanaan ritual adat Gunung Lanang dan bagaimana keterlibatan masyarakat di dalamnya, diperoleh bagaimana nilai, tujuan, dan makna atas ritual adat Gunung Lanang.
Baca Juga : Kajian Analisa Bisnis Pengembangan Sport And Convention City Temenggung Abdul Jamal Batam
Secara umum ritual yang berlangsung di situs Gunung Lanang terbiagi menjadi menjadi dua, yakni ritual yang dilakukan secara individu atau kelompok kecil dan ritual yang berlangsun secara komunal, yang mana melibakan jumlah pelaku yang cukup banyak (100 lebih pelaku), dengan berbagai asal wilayah, dan beragam latar belakang kepercayaan. Ritual malam Satu Sura dilakukan pada malam penanggalan Satu Sura (dalam penanggalan kebudayaan Jawa). Dalam ritual tersebut terdapat beberapa rangkaian acara, antara lain Larungan, Wayangan, dan Padusan, Hingga acara inti yang merupakan doa bersama yang dipimpin oleh salah satu pelaku adat. Dari seluruh peserta ritual yang terlibat, tidak semua melakukan sesi Padusan ini. Peserta yang melakukan Padusan hanya sejumlah 80 hingga 90 orang, dengan menggunakan pakaian Jawa sederhana siap basar (berkainkan jarik sederhana) baik laki-laki atau perempuan. Sebelum sesi ini peserta padusan yang beragama Islam diarahkan untuk terlebih dahulu membaca ayat suci Al- qur’an. Kemudian pada saat sesi padusa berlangsung, peserta akan diguyur tubuhnya dengan air yang telah disiapkan di beberapa kendhi di depan bangunan Purna Graha tersebut. Air dalam kendhi tersebut merupakan air campuran dari beberapa Sendang yang diyakini sebagai air yang suci atau baik (membawa berkah). Setelah sesi Padusan, dilaksanakanlah sesi pagelaran wayang kulit dari pukul 22.00 WIB hingga dini hari sekitar pukul 01.00 WIB. Dan setelah selesai pagelaran wayang kulit, dilaksanakanlah sesi larung laut, yakni sesi persembahan masyarakat kepada sang maha pencipta, yakni dengan melarungkan kepala kerbau serta sesaji lain seperti tumpeng dan rangkaiannya seperti jajanan pasar. Hingga pada sesi terakhir dilaksananlah acara doa bersama yang dipimpih oleh sala satu pelaku adat.
Ritual Mujadahan merupakan ritual doa bersama yang dilakukan ketika sekelompok orang memiliki permohonan. Doa pada ritual ini dapat dilakukan kapan saja, dan jam berapa saja. Pada ritual ini, tidak ada prosesi yang tetap untuk harus disesuaikan oleh pelaku ritual yang datang, baik dalam hal tata cara, sesaji, ataupun harinya. Ritual ini hanyalah doa secara bersama, dan seringkali melibatkan tokoh agama untuk memimpin ritual tersebut. Mujadahan dapat dilakukan di titik lokasi manapun pada area Gunung Lanang.
Keberadaan sesaji yang paling dapat dilihat ialah pada acara Ruwatan pada penanggalan Jawa Satu Sura. Yakni serangkaian tumpengan, berbagai jenis jenang Jawa, berbagai jenis jajanan pasar, nanas, tebu hitam, kelapa, pisang ayu, ketupat, janur kuning, serta kepala kerbau. Secara keseluruhan, makna atas sesaji tersebut ialah mengingatkan diri akan jati diri sebagai manusia biasa ciptaan Tuhan yang harus senantiasa bersyukur.
Berbagai jenis jenang menggambarkan akan asal-usul sebagai manusia secara lahiriyah. Hal ini karena tiap jenis jenang melambangkan konsep “Sedulur Papat Liima Pancer” dalam kepercayaan masyarakat Jawa. Sedulur Papat Liima Pancer merupakan konsep yang menjelaskan bahwa manusia sejak lahirnya memiliki saudara berjumlah empat yang bertugas menjaga manusia tersebut. Sehingga agar selalu dijaga keselamatannya maka manusia harus selalu mengingat saudara-saudara tersebut. Maka bentuk-bentuk sesaji dengan empat warna menjadi bentuk sapaan atau bentuk mengingat terhadap saudara-saudara tersebut, baik dengan jenang- jenangan, makanan alami (tidak diolah), ataupun nasi warna. Yang pada intinya warna yang disimbolkan tersebut ialah warna Kuning, Merah, Hitam, dan Putih. Sementara pada ritual Adat Gunung Lanang, yang diambil ialah penyimbolan dengan menggunakan jenang-jenangan. Yakn jenang putih yang menyimbolkan sperma yang mana berasal dari diri ayah, dan dimaksudkan untuk menghormati saudara dari arah timur atau air (Tirtanata), Jenang Hitam yang dimaksudkan untuk selalu menghormati saudara dari arah Utara atau bumi (Warudijaya), Jenang Kuning yang dimaksudkan untuk selalu menghormati saudara dari arah Barat atau angin (Sinatabrata), serta Jenang Abang yang dimaksudkan untuk selalu menghormati saudara dari arah Selatan atau api (Purbangkara) yang mana melambangkan ibu karena warna merah adalah warna darah menstruasi.
Jajanan pasar, melambangkan penanggalan Jawa yang harus diingat sebagai masyarakat Jawa. Jajanan pasar yang dipilih ialah berjumlah lima jenis, sehingga sesuai dengan jumlah hari dalam pasaran Jawa, yakni Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi. Untuk pemilihan jenis jajanan pasar ini fleksibel, yang mana akhirnya dipilihlah lima saja jenis jajanan pasar.
Nasi Rasul (dalam masyarakat Jawa dikenal sebagai sego gurih), menggambarkan tentang utusan Tuhan yang harus diingat oleh umat manusia. Penyimbolan tersebut diambil dari kata “Rasul” pada Nasi Rasul, yang mana merupakan status atas seorang utusan Tuhan dalam menyampaikan suatu Agama (dalam kepercayaan Samawi). Penyebutan tersebut karena masyarakat memiliki penamaan lain atas sego gurih (bahasa Jawa)/ Nasi uduk, sebagai Nasi Rasul.
Serta ketupat melambangkan sebuah kesalahan, yang harus disadari oleh manusia bahwa manusia tidaklah lepas dari sebuah kesalahan. Penyimbolan ini diambil dari kata kalepat (bahasa Jawa), yang diambil dari kata ketupat, yang artinya adalah kesalahan. Sehingga dengan itu manusia hendaknya dapat selalu mengingat kesalahannya, dan selalu ingat bahwa manusia tidaklah lepas dari kesalahan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa keberadaan sesaji hanyalah pada ritual yang dilaksanakan secara komunal. Yang mana hal tersebut karena pelaksanaan ritual secara komunal melibatkan banyak pihak dari berbagai kalangan baik asal wilayah, sosial budaya, maupun jenis kepercayaan, sehingga perlu adanya penyamaan prosesi agar terakomodasi berbagai perbedaan itu. Serta adanya sesaji ketika ritual secara komunal merupakan sarana atas kompelsitas prosesi ritual. Kemudian pada ritual larung laut yang masih dalam rangkaian acara ruwatan malam satu sura, terdapat sesaji kepala kerbau. Yang mana dimaknai sebagai bentuk atas persembahan masyarakat sebagai manusia kepada sang pencipta.
Meski antusias masyarakat cukup baik, namun keterlibatan masyarakat pada saat palaksanaan ritual besar seperti ruwatan dan larung laut tersebut seringkali hanya pada ranah teknis dan bukan substansional. Sehingga pada sepeninggalan bapak Warsono sebagai ketua, pada kisaran tahun 2021 ritual tersebut tidak terlaksana lagi terlepas karena fakor pademi covid 2021.
Jika diamati perkembangannya, hal tersebut menjadi faktor potensi sulitnya ritual Gunung Lanang untuk berkembang. Hal tersebut karena sempinya ruang regenerasi nilai-nilai ritual adat yang dilakukan secara komunal.
No responses yet