Upacara sadranan Gunung Gambar memiliki nilai budaya spiritual harapan dalam hidup. Religiusitas memberikan pemahaman bahwa kepada orang yang percaya dengan Tuhan atau konsep agama, Tuhan menambah kekuatan dan juga pengharapan dalam menyelesaikan permasalahan hidup dan ketika berharap menginginkan akan suatu hal, sebagaimana yang dikemukakan oleh Keesing (1992: 93-94). Perjuangan dalam hidup sebagaimana yang dicontohkan oleh Ki Ageng Gading Mas dan Pangeran Sambernyawa dalam menghadapi kesulitan hidup, menjadi sorotan arti penting mengapa nyadran diadakan. Lari kesana kemari, mengatur strategi agar ‘menang’, baik melawan diri sendiri maupun orang lain, kompeni Belanda jaman itu merupakan bentuk ikhtiar yang harus diteladani oleh manusia modern.
Tidak hanya itu, menurut masyarakat Kampung maupun Jurangjero sendiri, dengan mengilhami tradisi nyadran berarti ikut melestarikan adat dan tradisi leluhur. Jika dicermati, bahwa kebudayaan sendiri merupakan hasil cipta rasa dan karsa yang tak bisa hanya terjadi sekali, melainkan terus menerus, turun temurun, dan menjadi jati diri sebuah masyarakat. Budaya juga menuntut pewarisan secara alami, yang artinya memilili nilai bagi kehidupan mereka dan menjadi praktik kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari oleh warga sekitar Gunung Gambar. Upacara nyadran Gunung Gambar juga memiliki nilai kegotong royongan. Semua warga berbondong-bondong ikut terlibat dalam persiapan maupun pelaksanaan nyadran. Warga menaati peraturan dan mengikuti semua prosesi upacara adat nyadran dengan khidmat. Kepercayaan ini juga menambah intensitas pergaulan dan pengalaman bersama dalam kehidupan bermasyarakat.
Nilai yang tak kalah penting juga adalah selalu merasa bersyukur dan cukup atas pemberian Tuhan. Masyarakat Kampung dan Jurangjero menyikapi nyadran ini juga sebagai bentuk rasa syukur terhadap hasil panen yang telah dipetik. Banyak atau sedikit hasil panen, tidak menghalangi mereka untuk merayakannya dalam bentuk upacara adat nyadran. Bahkan, dalam kondisi kritis pandemo Covid-19 pada tahun 2020-2021, tidak membuat mereka untuk berhenti mengadakan tradisi yang sudah lebih dari tujuh generasi tersebut. Pelaksanaan nyadran sendiri menjadi proses penting dan dilakukan tanpa paksaan. Walaupun sederhana, namun hangat. Sikap semacam ini penting bagi manusia sebagai pengingat bahwa apa yang diberikan Tuhan patut dirayakan dengan bahagia. Rasa syukur mengurangi kerakusan dan ketamakan. Itu artinya, nyadran sendiri menjadi suatu jati diri yang tumbuh dalam peradaban masyarakat Gunung Gambar.
No responses yet