Kita masih ingat kala Presiden Joko Widodo mantu tanggal 8 November 2017. Mantan juragan mebel ini memesan 4.000 satai kere yang bakal menyapa lidah 8.000 tamu. Ngatmi dan Tugiyem ialah bakul sate yang memeroleh rejeki nompok itu. Kedua perempuan ini saban hari menjajakan kuliner sederhana dengan cara yang sederhana pula –bandingkan dengan warung Yu Rebi yang lebih tenar–, yakni memakai gerobak yang diparkir di bibir jalan Arifin, Kalurahan Kepatihan Wetan, Solo.
Kuliner yang semula dianggap “murahan” ini sedang naik daun. “Martabatnya” terkerek, harganya ikut menjulang tanpa memerdulikan riwayat historisnya yang pekat dengan nasib getir dan perjuangan rakyat kelas bawah. Ia tidak lagi dilihat dari segi bahannya yang terbilang remeh, bahkan buangan. Di masa kolonial, bahan tersebut dijauhi oleh pembesar Eropa dan kaum bangsawan. Meja hidangan di rumah aristokrat dan tuan kulit putih ditemukan gembus dan jeroan adalah suatu pantangan. Citra kadung dilekatkan bahwa bahan itu “badokan” wong cilik.
Tempo doeloe, di perkotaan besar di Jawa lazim ditemukan abattoir (tempat penyembelihan hewan). Bangunan didirikan pemerintah kolonial Belanda bersama penguasa lokal ini guna menjamin konsumsi kaum Eropa akan daging sapi. Demi menjaga kesehatan konsumen, pengelola abattoir pantang menjual daging bercampur gajih (gemook). Maka, sejak 1849 ditelurkan kebijakan perihal pemotongan sapi dan kerbau. “Binatang njang dipotong, baik antero atawa potong-potongannya tiada bolee di toetoop sama gemook, tetapi misti di ditinggalken begimana adanja, dan lagi tiada bolee potong binatang njang sakit, atawa djoewal dagingnja binatang njang mati…,” tulis dalam aturan itu.
Agar tak kandas di tengah jalan, petinggi kolonial membagikan buku pedoman resmi itu ke perusahaan koran pula. Harapannya, jurnalis turut mengabarkannya ke khalayak. Ambillah misal, redaksi Djawi Hisworo menerima pemberian buku Slachtbelasting No. 6/F terbitan Departement Binnenlandsch Bestuur tahun 1918 turut mengumumkan kepada segenap pembaca. Dengan judul artikel “Aturan Potong Gurung (Tenggorokan)”, redaksi menulis bahwa buku tersebut memuat regulasi tentang pajak menyembelih sapi, kerbau, dan babi yang berlaku di Hindia Belanda.
Oleh petugas di Jagalan, gajih disingkirkan. Lantas diopeni wong cilik yang tak sanggup belanja daging serta gagal menikmati sate daging yang biasa dilahap kalangan elite dan saudagar. Kantong cekak bikin mereka hanya menelan ludah. Dengan segenap kreatifitas dan merawat angan menyantap sate, bahan buangan tadi bersama gembus diolah di pawon. Hasil olahan orang kelas “kere” ini, buahnya disebut juga sate kere.
Sejatinya, sate kere merupakan potret budaya tanding (counter-culture). Ia mengacu pada gaya hidup yang menyimpang dari praktik sosial yang telah mapan. Secara sosiologis budaya tanding mencerminkan konflik perkara gaya hidup kelas. Dihayati secara mendalam, pengertian budaya tanding dalam konteks kuliner rupanya dapat memunculkan sifat kompetisi yang sehat dan kreatif. Pihak wong cilik yang merasa kalah dalam urusan makan, tidak lantas frustasi dan ngamuk, namun membalasnya dengan menciptakan kreasi baru. Meski dengan bahan berbeda, tapi namanya tetap sama: sate. Dari kerja kreatif inilah, justru melahirkan “pelangi” di meja makan.
No responses yet