Ada satu episode sejarah penting yang sukses membuat seluruh masyarakat Yogyakarta dan Surakarta tertunduk sedih. Saat kedua “anak kandung” dinasti Mataram Islam ini tengah bermesraan setelah lama terlibat konflik batin yang diawali peristiwa Palihan Nagari (1755), harus menahan perih. “Rel penyambung” paseduluran atau pengikis konflik kerajaan Jawa itu tutup usia tepat pada malam satu Sura 1939 Masehi.
Ya, Paku Buwono X sebagai menantu Sri Sultan Hamengku Buwono VII terbang ke “kahyangan” selama-lamanya. Beliau meninggalkan permaisuri terkasih Gusti Kanjeng Ratu Emas. Dalam memori sejarah, raja bertubuh tambun itu dipahami sebagai “obat” mujarab bagi trah Mataram yang sempat bersitegang akibat pertikaian yang melibatkan pemerintah kolonial Belanda. Demi menghormati menantu Sultan sekaligus mengenang kemurahan hatinya semasa hidup, abdi dalem Gurawan dan Gading yang khusus ditugasi mengurusi jenazah keluarga bangsawan membuatkan trebela atawa peti mati istimewa seraya pipinya basah oleh linangan air mata kepedihan.
Masyarakat di dua kota ini tak bakal menjumpai lagi Paku Buwono X naik kereta api bertandang ke Yogya sebagaimana terlukis dalam serat Sri Karongron: jalan diperbaiki dan belum jadi, maka tidak bisa dilewati, meski jalan kaki tidak ada bedanya. Motor melaju, sudah sampai jalan besar lagi, daerah Yogya, terus melaju sampai barat Ngambarukma belok ke selatan melaju agak pelan, melewati Lempuyangan. Singkat cerita, sang raja ingin singgah di Pakualaman, sudah turun semuanya dari kendaraan. Kangjeng Gusti Pangeran Dipati Prabu Suryadilaga beserta istri menyambut kedatangan raja.
Yang menarik, di saat Vorstenlanden masih diselimuti duka, mencuat ramalan bahwa geblak raja yang jatuh tepat pada tanggal satu Sura ini merupakan perlambang runtuhnya kegemilangan Kerajaan Kasunanan atawa dinasti Paku Buwono tamat. Ramalan itu rupanya tak meleset. Wibawa raja pengganti dan jagad feodalisme disapu gerakan antiswapraja. Beda nasib dengan adik kandungnya, Kasultanan Yogyakarta tetap kokoh lantaran sigap merespon gelombang revolusi dan titis membaca perubahan zaman.
Di mata wong Jawa, peristiwa inilah yang tampaknya memantapkan kesakralan Sura di kutharaja sebagai rujukan warga pedesaan dari waktu ke waktu. Terlebih lagi, Paku Buwono X cukup dikenal rakyat lantaran berkali ulang menggelar perjalanan (incognito) di pulau Jawa, kendati dituding pemerintah Belanda sebagai pemborosan.
Jika dicermati, Sura merupakan wujud budaya tanding atas perayaan meriah ala kaum Eropa. Barisan tuan kulit putih di Hindia Belanda seringkali membuka awal tahun Masehi dengan bersulang atau tiup terompet, alih-alih menciptakan suasana tenang dan berlaku tirakat. Manusia Jawa klasik memaknai Sura untuk momentum kontemplasi dan berhenti beberapa jenak dari ingar-bingar. Maklum bila hidup aturan tak tertulis dalam masyarakat Jawa untuk tidak menghelat perayaan yang bersifat meriah seperti pernikahan.
Sedari dulu, keraton diyakini sebagai pusat kosmis, titik jagad cilik, dan daya kekuatan raja di situ, menjadi pusat kegiatan pada malam satu Sura. Di Solo mengarak pusaka istana dan kerbau Kyai Slamet, sedangkan di Yogya menggelar ritual mubeng beteng dengan mulut terkunci (tapa mbisu). Mereka diingatkan oleh budi baik kerbau yang menjadi sahabat petani kala membajak sawah. Mereka diajak berjalan di tengah kesunyian untuk memperoleh ilham. Ritus yang sakral ini pastilah meneguhkan otoritas keraton bukan hanya sebagai pemangku urusan dunia, tapi juga perkara illahiah. Sejatinya kegiatan ini merangkul masyarakat untuk berdoa secara kolektif dan menyambut tahun baru tanpa menyalakan kembang api.
Kini, tradisi Sura mengalami perluasan makna. Bukan sekadar milik wong Jawa yang dipakai untuk memandikan keris, mempersembahkan sesaji di laut, serta melakoni kungkum di kali tempuran. Dalam konteks keindonesiaan, datangnya bulan Sura kiranya sangatlah tepat dijadikan sebagai malam perenungan dengan melakukan muhasabah alias evaluasi diri kadar keimanan kita (Heri Priyatmoko, 2019).
No responses yet