Dalam atlas kuliner Nusantara, selat tercatat sebagai hidangan khas Kota Bengawan yang cukup tenar. Silahkan berselancar di mesin pencari guna menggali kisah kelampauan selat Solo. Selain dangkal, pengetahuan yang kita dapat juga menyesatkan. Keliru kalau mengatakan selat diadaptasi dari salad atau slatjee dalam bahasa Belanda. Kata slatjee sudah tidak tepat, untuk salad yang betul ialah slaatje.
Di Solo, masih menurut keterangan di mesin pencari dan kadung diamini, nama makanan ini mengalami penyesuaian dengan lidah orang Jawa, tersebutlah selat. Padahal, ditilik dari segi bahan utama dan bentuknya, salad dan selat merupakan jenis masakan yang berbeda. Kendati sama-sama menggunakan sayuran segar, yang paling kentara salad tak memakai bahan daging sapi, telur serta tanpa kuah.
Dengan petunjuk kamus bahasa Belanda, dari aspek bahasa, terlacak bahwa selat diadopsi dari kata slachtje (bukan slatjee). Slachtje kurang lebih artinya: hasil penyembelihan daging yang dijadikan kecil-kecil. Kala itu, lidah orang Jawa terlampau sulit melafalkan slachtje meniru lidah toewan-toewan kulit putih. Tak salah lagi, irisan daging sapi kecil-kecil (slachtje) ini jadi bahan utama selat. Bahan lainnya, yaitu aardappel (kentang), wortelen (wortel), boon (buncis), komkommer (ketimun), sla (slada), ei (telur), dan sojasous (kuah kecap), serta saus mayones.
Merujuk sumber primer Regeering Almanak 1902 dan Regeering Almanak 1908, diketahui tahun 1900 populasi penduduk Surakarta berjumlah 109.459 orang, yang terdiri atas 1.973 orang Eropa, 5.129 Cina, 171 Arab, 262 orang asing lainnya, dan sisanya bangsa pribumi. Mengacu data sensus penduduk tahun 1920, komunitas Eropa dan Indo sebanyak 5.003 jiwa yang menyebar di Loji Wetan, Jebres, Villapark, Ngemingan, Sekarpace, dan Petoran.
Dalam rumah tangga pejabat tinggi dan pengusaha kaya, lumrah sang istri bergantung pada djongos (pelayan laki-laki), wasbaboe (pelayan wanita), kokkie (juru masak) serta kebon (tukang kebun). Terutama bab olah-olah di dapur, nyonya Belanda memercayakan pada koki pribumi. Pelayanan dan kehidupan glamour menyebabkan mereka terkesan malas berjibaku dan berpeluh di dapur.
Ketergantungan ini membawa pengaruh terhadap hidangan yang mereka santap saban hari. Tukang masak Jawa leluasa menyajikan hasil eksperimennya ke meja makan. Apalagi, di dapur majikan tersedia peralatan memasak pribumi dan Belanda yang mendukung koki berkreasi. Dalam situasi inilah, makanan selat muncul. Telur ayam dan ketimun merupakan bahan khas orang pribumi, karena gampang ditemukan di sekitar pekarangan rumah. Yang baku dalam santapan Belanda ialah kentang, wortel, slada, dan kacang-kacangan.
Selat yang berasal dari dapur kelompok sosial “cabang atas” ini dinikmati di atas meja dengan piranti sendok, garpu, pisau, dan piring sembari duduk di kursi, laiknya menyantap bistik. Tuan Walanda mengundang makan para tokoh elite pribumi yang berstatus sosial tinggi dan terpandang ke rumahnya. Untuk kasus Solo, keluarga Mangkunegaran dikenal open minded tolerance (terbuka) dan merajut hubungan mesra dengan kaum Eropa. Mangkunegaran sampai punya koki khusus memasak kuliner ala Eropa untuk menjamu tamu.
Kebiasaan bersantap menu selat makin berkembang di lingkungan keluarga Belanda dan bangsawan di Surakarta, daerah yang dijuluki “kota keplek ilat”. Begitulah, selat adalah salah satu pencapaian budaya dari dapur Solo. Ia muncul dari hasil dialog kultural orang Belanda dengan warga local (Heri Priyatmoko, 2017).
No responses yet