Dalam peta kuliner Indonesia, sega liwet diukir sebagai upaboga (makanan pusaka) yang dikenal maknyus. Ditinjau dari segi pembuatan, nasi liwet dimasak dengan cara beras dikasih air santan. Kuliner asli bikinan kaum pribumi Jawa tersebut terdiri dari nasi putih gurih, irisan daging ayam, sambal goreng labu siam, kumut (santan kental) dan telur kukus. Ia memang sedari lama digunakan untuk ubarampe ritual tradisional oleh nenek moyang, di samping menjadi santapan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Saban bulan Mulud menyapa, manusia Jawa tempo doeloe rutin menggelar acara selametan (kenduri) dengan hidangan nasi liwet atau nasi wuduk. Upacara tersebut dialamatkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad agar diguyur berkah. Merujuk sumber tradisi lisan, utusan Gusti Pangeran itu gemar sekali menyantap nasi samin. Lantaran wong Jawa tak sanggup memasak nasi samin, maka dibuatlah tiruan yang hampir serupa, yakni nasi liwet. Bagi yang di rumah tidak olah nasi liwet dan tidak mengikuti kenduri, bisa membelinya di arena Sekaten. Menonton Sekaten sembari mengisi perut dan ngalap berkah ialah kenikmatan yang sulit untuk didustakan.
Serat Centhini yang disusun tahun 1814-1823 juga menyinggung sepintas. Ditulis, sega liwet wajib dihadirkan manakala pulau Jawa diguncang gempa bumi. Uniknya, jenis kuliner yang dihidangkan dan sebaris doa yang ditembangkan tergantung pada bulan apa bencana alam itu menimpa. Nasi liwet beserta beraneka lauk ikan senantiasa disajikan dan doa dilantunkan ketika gempa bumi terjadi di bulan Dulkaidah. Naskah kuno itu memuat selarik kalimat: liwet anget ulam kang nggajih/ wus lumajeng ngarsi/ sadaya kemebul. Fakta historis ini menegaskan, nasi liwet plus lauk berbahan hewani dihidangkan sewaktu orang Jawa mengadakan acara makan besar. Nyata sudah bahwa nasi liwet bergerak lincah di dua ruang berbeda dari masa ke masa: ubarampe upacara dan meja makan.
Kita kudu angkat topi terhadap bakul nasi liwet yang mayoritas bermukim di Baki, Sukoharjo. Hingga kini, semangat mereka menggelegak memproduksi kuliner tersebut dari generasi ke generasi. Serat Jatno Hisworo melukiskan Paku Buwana IX (1861-1893) memborong nasi liwet untuk ngopeni para pangrawit keraton: ketika hendak pulang, para penabuh gamelan keraton disediakan makanan nasi gudeg, nasi pelas, nasi liwet, yang diborong dari masyarakat desa Baki. Para pangrawit diminta makan sekeyang mungkin supaya istrinya nanti tidak repot menyiapkan sarapan (di rumah).
Berarti, nasi liwet buatan tangan-tangan ahlinya, yakni warga Baki, sedari dulu telah menyentuh lidah komunitas kerajaan. Kenyataan tersebut membuka kesadaran bahwa lekuk perjalanan wirausaha kuliner nasi liwet mengalami kesinambungan, seperti halnya sejarah wirausaha batik Laweyan dan Kauman. Ganasnya gelombang modernisasi dan perubahan zaman yang menggerogoti unsur lokal, ternyata tidak menyingkirkan eksistensi sepincuk (sejarah) nasi liwet. Disokong oleh media yang turut mempopulerkan, bertambah hari nasi liwet menyedot banyak peminat. Lihat saja di kawasan Solo Baru pada malam hari dan bibir jalan Slamet Riyadi kala pagi buta, berderet bakul nasi liwet melayani pembeli dengan sumringah (Heri Priyatmoko, 2017).
Realitas yang patut kita syukuri bersama adalah sega liwet sanggup bertarung dengan makanan restoran yang didominasi kuliner Barat. Sesuatu yang sederhana dan lawas belum tentu kalah dengan kemasan modern dan mahal. Satu keajaiban yang tak ditemukan pada makanan lain, yakni nasi liwet sukses merubuhkan sekat sosial (kaya-melarat), usia (tua-muda) dan etnis (pribumi-nonpribumi).
No responses yet