Serat Sruti

Manuskrip merupakan koleksi langka yang dipunyai oleh setiap bangsa di belahan dunia. Masyarakat bisa mempelajari perjalanan hidup leluhurnya melalui naskah lama yang telah dianggit leluhurnya. Manuskrip sangat penting utuk dikaji dan dijaga kelestariannya karena ini merupakan jejeak sejarah yang sangat penting. Ini juga merupakan warisan masa lampau yang memuat pengetahuan yang berkaitan dengan realitas atau kondisi sosiokultural yang berlainan dengan kondisi sekarang.

Manuskrip juga mengandung informasi yang tak sembarangan dari bidang sastra, agama, hukum, adat istiadat, dan lannya. Informasi yang berada di manuskrip dapat membantu atau menjadi panduan bagi penekun sejarah maupun peneliti di bidang humaniora tatkala mempelajari topik yang dikajinya.  Contohnya adalah Serat Sruti.

Serat Sruti atau Serat Niti Sruti ini sudah dilaporkan oleh Yatini Wahyuningsih, SE, M.Si pada tanggal 28 Juni 2021 di Surakarta. Serat Sruti merupakan serat yang terbilang lebih kuno dibandingkan serat lain. Serat ini digarap pada 1591 atau 1612 di Pajang oleh Pangeran Karang Gayam, yang kemudian diterjemahkan oleh pujangga kebanggaan Kasunanan Surakarta, R.Ng. Ranggawarsita pada pertengahan abad XIX. Serat ini berisi mengenai ilmu ketatanegaraan yang mengacu pada moral dan etika, yaitu bagaimana seharusnya seorang raja bersikap dan bertindak untuk memimpin kerajaannya. Versi asli serat ini ditulis menggunakan bahasa Jawa Kawi, lalu diterjemahkan oleh Ranggawarsita ke dalam bahasa Jawa yang lebih modern.

Syair dibuka dengan Dhandanggula :”sarasa sinimeling jaladri/bahni maha stra candra sangkala”. Ditulis dalam 3 kolom: Kawi, terjemahan kata per kata ke jawa modern, penjelasan dalam prosa Jawa Modern. Penanggalan syair kawi menggunakan condrasangkala pada syair pembuka, yang terbaca: “banhi [3] maha [1][a] stra [5] condra [1]” (1513 tahun Jawa= 1591 Masehi) atau “jaladri [4] bahni [3] mahastra [5] condra [1]”(1534 tahun Jawa= 1612 Masehi).”

Serat ini memuat ajaran kepemimpinan Jawa yang melputi:

  1. Kedudukan yang dipimpin (kawula), menuntut kepatuhan mutlak dari seorang bawahan/yang dipimpin kepada atasan/pemimpin.
  2. Kedudukan pemimpin (gusti), seorang yang menempatkan dirinya sebagai wakil Tuhan dengan berbagai atribut/sigat kepemimpinan yang “dipinjam” dari sifat ilahiah, sehinga mematuhi pimpinan berarti mematuhi Tuhan.
  3. Relasi pemimpin (gusti) dan yang dipimpin (kawula), suatu ikatan hubungan kekeluargaan (patron- client) lewat “perintah halus” atau “pasemon” untuk mencapai kesamaan/ kesatuan maksud, kehendak, atau tujuan, antara pemimpin dan yang dipimpin (manunggaling kawula gusti).

 

Sampai sekarang serat ini masih bertahan ddengan upaya pelestariannya dengan cara promosi secara langsung dan promosi secara lesan, atau dari mulut ke mulut. Adapun dokumentasinya berupa naskah, mikrofilm, dan foto digital.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *