Stasiun Balapan dalam Ingatan Sejarah

Stasiun Solo-Balapan menyimpan sejuta kenangan, bukan hanya bagi masyarakat Kota Bengawan. Mendiang penyanyi berambut gondrong Didi Kempot juga terinspirasi olehnya. Sebelum ada bandara penerbangan, stasiun merupakan barang mewah. Tidak kurang Paku Buwana X sering memakai fasilitas ini. Dalam Serat Srikaronron dijelaskan, Sinuwun bersama rombongan naik gerbong khusus menuju Stasiun Tugu. Setibanya di Kasultanan, Sunan ditanyai Hamengku Buwana VII sebagai calon mertuanya itu: “Ananda Prabu, pada pukul berapa Anda berangkat dari keraton?” Sunan menjawab,” Ayahanda Prabu, hamba berangkat dari istana pukul 07.30. Perjalanan kira-kira duapuluh menit, sampai di Stasiun Balapan hamba duduk sebentar kemudian menaiki kereta dan saat enam menit lebihnya dari pukul 08.00 kereta api mulai bergerak.”

Waskito Widi Wardojo (2012) menafsirkan, dalam petikan obrolan kedua pembesar kerajaan pewaris dinasti Mataram Islam itu terkuak, aspek waktu pada jadwal transportasi kereta sudah mendapat perhatian serius. Bahkan, telah terjadi sinkronsasi dengan waktu yang ada di lonceng istana. Di samping itu, cerita tersebut membuktikan kepada kita bahwa periode itu sarana kereta digunakan untuk kepentingan politik keraton (perkawinan) sekaligus simbol kemewahan penguasa dengan menumpang gerbong khusus.

Dalam arsip Wonten Kagungan Dalem Cethok yang tersimpan di perpustakaan Reksopustoko menjelaskan, Stasiun Balapan sebagai stasiun kereta api pertama di Surakarta dibangun tahun 1866 semasa Mangkunegara IV (1853-1881). Sebelum berdiri stasiun, kawasan itu dulunya dipakai tempat pacuan kuda. Bisa disimpulkan, stasiun dibangun pada 1866 dan selesai tahun 1870. Periode 1866 dengan penyebutan “dalem cethok” sangat dimungkinkan itu merupakan tahun peletakan batu pertama.

Kondisi yang melatarbelakangi pengadaan sepur dan stasiun di Vorstenlanden (daerah kekuasaan raja) ialah untuk menggantikan transportasi tradisional jalur darat (cikar dan andhong) dan perahu lewat Bengawan Solo yang dinilai sudah tidak lagi efektif. Bagi para usahawan, waktu adalah segala-galanya, karena hasil perkebunan mereka harus segera sampai ke pelabuhan besar untuk dibawa ke “luar negeri”.

Stasiun Balapan memegang peran kunci dalam kemajuan industri lintas kota. Bahkan, gara-gara stasiun lawas ini pada permulaan abad XX muncul istilah: “Solo jantung pulau Jawa”. Istilah tersebut lahir dari fakta rute transportasi sepur, yaitu saban penumpang dari Batavia, Surabaya, Yogyakarta, dan Semarang, mesti berhenti dulu di Stasiun Balapan. Tak pelak, Balapan menjadi simpul pengikat kota-kota di Jawa.

Tahun 1927, ruang lobi stasiun dipercantik oleh Thomas Karsten. Memang, berbagai karya arsitek yang jago memadukan unsur Barat dengan Timur ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Atap bangunan ini memakai konstruksi baja dengan penutup seng bertumpuk tiga sehingga menjadikannya berbentuk tajuk sebagai tanda penerapan elemen lokal. Atap tajuk pada lobi bangunan berbeda dengan tajuk pada masjid, sebab rongga antar atap tak terlalu lebar dan bangunannya berbentuk persegi sehingga menjadikan atap tumpuk besarnya sama. Rongga atau sela antar atap memudahkan sirkulasi.

Sampai detik ini, bangunan yang masuk kategori cagar budaya itu terlihat masih bagus. Terus dipoles mengikuti kaidah preservasi. Cerita historis di atas perlu dihadirkan kembali guna menumbuhkan rasa cinta publik terhadap heritage dan agar makin bersemangat merawatnya. Demikianlah potret Stasiun Solo-Balapan yang selalu ninggal kenangan alias membekas dalam hati.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

7 + 14 =

Latest Comments