“Ning kuto solo, muda lan mudi, Ing taman jurug ing pinggir Bengawan solo, Muda lan mudi, awan lan mbengi, Do suko-suko nanging ojo ngiket janji”. Itulah petilan tembang Taman Jurug yang dibawakan maestro Didi Kempot. Lirik lagunya Didi Kempot sanggup merekam memori Taman Jurug yang berada di tepian sungai tua itu. Sampai pada sepenggal bait “banyu bengawan sinorot, cahyaning bulan, lir sewu dian alerap nggugah kenangan”, imajinasi historis kita diajak terbang ke masa lampau.
Taman Jurug pekat dengan kenangan sejarah yang memanjang dari periode kerajaan hingga kiwari. Terminologi “jurug”, merujuk pustaka Têmbung Kawi Mawi Têgêsipun anggitan Wintêr (1928), artinya lorod (turun). Sementara pekamus Poerwadarminta dalam Bausastra Jawa (1939) menjelaskan istilah jurug berarti diuruki (ditimbun). Dari uraian itu sekaligus menilik kondisi geografis Jurug, maka dapat ditegaskan Jurug merupakan daerah menjorok yang kemudian ditimbuni tanah. Lantas, kondisi inilah diabadikan masyarakat lokal sebagai toponim nama daerah.
Nama Jurug mengada sedari zaman kerajaan. “Kadhawuhan nêlukakên dhusun Palur lan Jurug,” ungkap penyerat Babad Giyanti. Fakta historis ini tidak saja memantulkan usia Jurug yang menua dan merentang dalam lorong waktu, namun juga posisi penting Jurug di jagad perang. Dikisahkan, pentolan militer terlibat konflik kekuasaan di abad XVIII diperintahkan menaklukkan Desa Palur dan Jurug. Kala itu, Raden Mas Said yang berjuluk Pangeran Sambernyawa bertempur habis-habisan melawan Paku Buwana, Pangeran Mangkubumi, dan kompeni sampai memakan waktu dua windu. Untuk merangsek masuk menggempur kutharaja, atau sebaliknya menangkis serangan RM Said yang kelak menjadi Gusti Mangkunegara I itu, Jurug dipandang sebagai pintu masuk. Tak ayal, area yang dibatasi sungai besar ini diperebutkan dua kubu yang saling angkat senjata.
Selepas peperangan redup dan terselesaikan dengan perjanjian, Jurug tidak langsung melenyap dalam memori. Hanya berganti suasana bukan dalam nuansa perang, seraup wajah Jurug menjadi saksi luka batin Radèn Ngabèi Ranggawarsita. Dalam naskah biografi pujangga terkemuka itu diberitakan jenasah Radèn Ayu Găndakusuma (sang istri?) hanya bisa diantar sampai di Jurug. Sang penulis istana yang ngetop itu memilih pulang lantaran hatinya masih diamuk kepedihan. “Layon dumugi sawetaning bênawi, sariranipun lajêng wangsul,” juru serat mengabarkan. Jenasah sampai di timur sungai, dirinya lantas pulang ke rumah. Sehebat apapun tangan dingin Ranggawarsita, tetap saja ia tak kuasa melewati Jurug dan melompat sungai mengantarkan Radèn Ayu Găndakusuma ke peristirahatan terakhir di lereng Gunung Lawu.
Jurug juga bertemali dengan detak perekonomian Surakarta. Dekade kedua permulaan abad XX, di atas sungai Jurug mulai dipasangi kreteg agtawa jembatan guna menopang ekonomi praja. Peresmian jembatan dihadiri “kaisar Jawa” PB X: “Sampeyan dalêm sang nata mangkya dèn aturi têdhak marang ing Jurug mariksa pambikaking krêtêg enggal.” Para kawula dalem berasal dari laladan Tawangmangu hendak ke pasar kerajaan, tidak perlu lagi sempoyongan menyebrang nambangan atau perahu membawa barang dagangan.
Suasana yang nyaman di Jurug menempel pula dalam batok kepala maestro keroncong Gesang. Puluhan tahun silam, panorama indah di bibir kali itu menerbitkan inspirasi kekidungan Bengawan Solo yang ditembangkan Gesang kala umur 23 tahun. Ia bertandang ke Jurug untuk nglaras dan menikmati dering keheningan di sana. Tidak mandeg di situ, Taman Jurug mendatangkan kenikmatan bagi orang yang berdayung sampan. Kenyataan faktual ini direkam oleh Arswendo Atmowiloto dalam novel Canthing.
No responses yet