Tengkleng lahir dari buah kreatifitas wong Solo dalam menghadapi situasi yang mencekik, tepatnya masa okupasi Jepang. Kedatangan penjajah Jepang di Surakarta mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Secara resmi invasi Jepang dimulai sejak dikeluarkan dekrit no. 1 tanggal 5 Maret 1942, dan sedari itulah Indonesia berada di bawah pendudukan Jepang. Khusus daerah swapraja di Jawa diganti namanya menjadi daerah Kooti. Raja tetap berkuasa atas wilayahnya dan secara administratif berada di bawah birokrasi militer Jepang di Jakarta.
Pakar hukum asal Solo, Mr. Soewidji (1973) menuturkan, kehidupan sehari-hari bertambah sulit detik itu. Pangan dan sandang kian susah dicari. Sekadar untuk mengatasi kelaparan yang merajalela, bonggol pisan pun dipakai bahan makanan. Saking beratnya derita, di kalangan rakyat timbul humor sebagai pelepas penderitaan. Contohnya, ucapan terima kasih bahasa Jepang yang berbunyi “arigato gozaimas” disalin menjadi “kari katok goceki mas (tinggal celana pegangi mas)”, sebab semua pakaian sudah terjual habis ditukar makanan. Kalau ada upacara penghormatan pada Tenno Heika menghadap ke Tokyo dengan membungkukkan badan, ada aba-aba “sae kerit”. Aba-aba itu disalin menjadi “sae kere”, artinya keadaan kere pun lebih baik.
Humor-humor di muka merupakan jiwa zaman. Bagaimana rakyat bisa senang, sandang pangan susah, tiada pekerjaan, salah sedikit ditangkap dan disiksa, nilai uang merosot, harga-harga melambung, dan budaya keplek ilat para priayi Jawa yang kadung mendarah-daging selama berabad-abad pun terganggu. Jangan keliru, lidah orang Jawa berkenalan dengan daging kambing semenjak periode Mataram kuno. Dalam sejumlah prasasti, terdapat istilah “rajamangsa” yang arti harfiahnya adalah “makanan raja”. Termasuk dalam kategori ini, yakni kambing yang belum keluar ekornya, penyu, babi liar, dan anjing yang dikebiri.
Mengikuti teori tantangan melahirkan jawaban (challenge and response), wong Solo, termasuk komunitas Arab, dituntut bersiasat hidup supaya dapat memenuhi kebutuhan perut. Lantaran kudu menghemat dan menjawab tantangan agar perut tetap terisi, mereka tak kehilangan akal. Tulang dan jeroan kambing turut diolah dengan bumbu yang berbeda. Resepnya juga tidak terlampau sulit dicari alias tersedia di pasar tradisional. Secara umum daftar resepnya sebagai berikut, kelapa, jahe, kunyit, serai, daun jeruk segar, lengkuas, kayu manis, daun salam, cengkeh kering, bawang putih, bawang merah, garam dapur, kemiri, pala, dan kecap.
Walau hasilnya berupa tengkleng, masyarakat Solo tetap dapat menjalankan “ritual usus diprada” (menghias usus, kiasan dari kebanggaan menyantap kudapan mewah untuk ukuran masa itu). Tengkleng kemudian hari diterima masyarakat dan menambah daftar jenis makanan khas Surakarta.
Jadi, tengkleng bukan hanya citarasa, namun juga filosofi untuk tidak mudah takluk oleh penderitaan hidup. Bukan hanya urusan teknis, tapi juga nilai pengetahuan kuliner yang diwariskan puluhan tahun. Tak hanya soal pemilihan sisa daging kambing, jumlah santan dan bumbu, namun tidak pula menyia-nyiakan bahan pemberian Gusti Allah sekalipun berujud tulang dan jeroan.
Sebagai produks kreativitas, tengkleng terlampau sulit dicomot para pendosa industri makanan yang menangguk laba sebesar-besarnya tetapi mengabaikan aspek kesabaran, misalnya mie rasa soto, mie rasa rendang, dan mie rasa sate. Di pawon, koki tengkleng berpeluh memasak tengkleng, sulit dirampas oleh budaya instan ala mesin. Menyantap tengkleng bukan sekadar enak dan kenyang, namun juga menghayati kisah sejarah lokal dan memikirkan makna yang tersembunyi di dalamnya.
Kami selaku konsultan pariwisata mengucapkan terimakasih kepada Instansi terkait atas kepercayaan dan kerjasamanya. Demikian artikel penelitian pariwisata ini disusun, semoga bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam pembangunan pariwisata setempat.
Kata kunci: Konsultan pariwisata, penelitian pariwisata, kajian pariwisata
Untuk informasi mengenai penelitian pariwisata, berupa kajian atau pendampingan lebih lanjut dapat menghubungi Admin kami di +62 812-3299-9470
No responses yet