mostbet az casinolackyjetmostbet casinopin up azerbaycanpin up casino game

Tetenger Kemantren Kotagede

Kota Yogyakarta lahir dari rangkaian peristiwa sejarah di masa lampau. Hal itu menjadikan kota Yogyakarta memiliki banyak kisah-kisah sejarah baik mengenai asal-usul nama tempat maupun kisah perjuangan kemerdekaan. Di kawasan Kota Yogyakarta sendiri terdapat jejak peninggalan sejarah masa klasik (Mataram Kuna), Mataram Islam, Kolonial, Pergerakan nasional, dan revolusi. Yang tidak hanya menyajikan cerita sejarahnya saja, melainkan terdapat pula bangunan, tempat, bahkan kawasan yang menjadi saksi bisu terjadinya peristiwa tersebut. monumen atau tetenger dibangun untuk menjadikan penanda bahwa di lokasi tersebut pernah berlangsung sebuah peristiwa penting yang berpengarung bagi Kota Yogyakarta. Adapun maksud dan tujuan dari penulisan kajian ini adalah sebagai berikut:

  1. Menginventarisasi monumen dan tetenger penanda bersejarah di Kota Yogyakarta.
  2. Mendokumentasikan monumen dan tetenger penanda sejarah yang ada di Kota Yogyakarta.
  3. Menggali latar belakang sejarah didirikannya setiap monumen dan tetenger penanda sejarah tersebut.

Adapun monumen/ tetenger yang berada di kawasan Kemantren Kotagede antara lain sebagai berikut:

  1. Benteng Baluwarti, berlokasi di kompleks keraton Kotagede. Tetenger ini berbentuk situs dan berklasifikasi sebagai landmark. ini merupakan bagian dari benteng cepuri yang mengelilingi keraton kotagede. Benteng ini diperkirakan dibangun pada 1507-1516 oleh Ki Ageng Pemanahan dan secara tradisional berfungsi untuk memisahkan bagian dalam beteng (istana) dengan daerah jaba (luar) beteng (rakyat biasa) tinggal. Kemudian pembangunan ini dilanjutkan oleh Panembahan Senopati yang membangun benteng dalam (cepuri) yang mengelilingi kraton dan benteng luar (baluwarti) yang mengelilingi wilayah kota seluas kurang lebih 200 ha. Sisi luar kedua benteng ini juga dilengkapi dengan parit pertahanan yang lebar seperti sungai.
  2. Benteng Cepuri Kotagede, berlokasi di kompleks keraton Kotagede. Tetenger ini berbentuk situs dan berklasifikasi sebagai landmark. benteng ini merupakan benteng yang mengelilingi kraton kotagede. Benteng ini diperkirakan dibangun pada tahun 1507-1516 oleh Ki Ageng Pemanahan dan secara tradisional berfungsi untuk memisahkan jeron (dalem) beteng (istana) dengan daerah jaba (luar) beteng (rakyat biasa) tinggal. Kemudian pembangunan ini dilanjutkan oleh Panembahan Senopati yang membangun benteng dalam (cepuri) yang mengelilingi kraton dan benteng luar (baluwarti) yang mengelilingi wilayah kota seluas kurang lebih 200 ha. Sisi luar kedua benteng ini juga dilengkapi dengan parit pertahanan yang lebar seperti sungai.
  3. Gardu Aniem, berlokasi di Prenggan, Kotagede. Tetenger ini berbentuk bangunan dan berklasifikasi sebagai landmark. pada tahun 1909 dimulai pembangunan jaringan kelistrikan di seluruh Jawa, termasuk Kasultanan Yogyakarta. Pada februari 1914, Aniem mendapat hak untuk mengusahakan jaringan listrik untuk Kota Yogyakarta. Proses pengerjaan ini memakan waktu kira-kira 4 tahun. Pada tahun 1918 Aniem selesai membangun infrastruktur dasar kelistrikan dan siap beroperasi secara optimal. Pembangunan yang pertama adalah pembangunan gedung pabrik Aniem di wilayah Wirobajan. Pada tahun 1919 wilayah Yogyakarta wilayah yang dialiri listrik meliputi njeron beteng, Malioboro, dan Kotabaru. Tahun 1992 seluruh wilayah Yogyakarta sudah dialiri listrik dan tahun 1939 seluruh karesidenan Yogyakarta telah dialiri listrik.
  4. Makam Kotagede, berlokasi di kompleks Keraton Kotagede. Tetenger ini berbentuk situs dan berklasifikasi landmark. Pasareyan Hastana Kitha Ageng adalah sebutan untuk pemakaman Kerajaan Mataram Islam yang berada di sebelah barat Masjid Agung Mataram, dan dibangun bersamaan dengan selesainya pembangunan masjid, yaitu tahun 1511 Saka = 1589 M. Hastana Kitha Ageng merupakan pemakaman kerajaan pertama dibangun oleh kerajaan Mataram-Islam. Pemakaman ini dibangun atas perintah Panembahan Senapati, dan dilakukan secara bertahap. Bahkan setelah Panembahan Senapati meninggal pun masih terus dilanjutkan. Seluruhnya ada 627 makam. Makam-makam yang tertua dilindungi oleh suatu cungkup besar yang terdiri atas tiga bagian. Makam ini pernah mengalami kebakaran hebat yang merusakkan bengunan-bangunan makam. Renovasi kemudian dilakukan atas perintah Sunan Pakubuwana X, dengan menggunakan bahan bangunan dan gaya arsitektur zaman itu.
  5. Masjid Gedhe Mataram, berlokasi di Kompleks Keraton Kotagede. Tetenger ini berbentuk bangunan dan berklasifikasi sebagai landmark. Kompleks masjid ini dibangun pada tahun 1640-an pada saat masa pemerintahan Sultan Agung. Masjid ini memiliki empat pintu masuk, tiga di sebelah timur dan satu di utara. Di halaman masjid terdapat prasasti setinggi 3 meter, yang menerangkan bahwa Masjid Kotagedhe di bangun dua tahap. Pembangunan pertama oleh Sultan Agung dan pembangunan kedua oleh Raja Kasunanan Surakarta, yakni Paku Buwana X.
  6. Monumen Jumenengan HB IX/ Pacak Suji, berlokasi di Prenggan, Kotagede. Tetenger ini berbentuk struktur dan berklasifikasi sebagai monumen. Monumen ini berada di sudut timur laut pasar Kotagede. Pembangunan monumen ini adalah sebagai ungkapan hormat dan suka cita masyarakat Kotagede. Monumen ini dibangun tahun 1940. Waktu itu, diatas tugu persegi ada lambang Keraton Mgayogyakarta, kemudian dihiasi dengan kain putih sebagai dekorasi. Ketika terjadi gempa tahun 2006, monumen ini hancur. Kemudian masyarakat membangun monumen kembali yang mirip seperti sebelum terkena gempa.
  7. Tugu Jam Paku Buwono X, berlokasi di Jl. Mondorakan No. 29, Purbayan, Kotagede. Tetenger ini berbentuk strukur dan berklasifikasi sebagai monumen. Monumen ini dibangvun sekitar tahun 1934 ketika masa pemerintahan Paku Buwono X dan menjadi simbol kekerabatan Keraton Surakarta dengan Keraton Yogyakarta. Monumen ini juga menjadi saksi bisu pembangunan Kotagede pada awal abad ke-20.
  8. Watu Gilang, berlokasi di Kompleks Keraton Kotagede. Tetenger ini berbentuk bangunan dan berklasifikasi sebagai landmark. watu gilang dipercaya orang sebagau takhta raja-raja Mataram Islam berupa papan batu berwarna hitam legam. Batu itu dipercaya sebagai singgasana raja kerajaan Mataram Islam, Panembahan Senopati. Cekungan yang ada di batu tersebut diduga merupakan bekas kepala Ki Ageng Mangir yang dibenturkan ke batu oleh Panembahan Senopati ketika Ki Ageng Mangir menghaturkan sembah kepada Panembahan Senopati

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *