The Cultural Economy in US Metropolitan Areas

Dalam beberapa tahun terakhir, diskusi tentang definisi budaya atau kreatif ekonomi ini belum mendapatkan hasil kesimpulan yang tepat. Karena hal ini dianggap sulit untuk menarik garis lurus antara barang dan jasa antara simbol murni dan simbol utilitarian disisi yang lainnya. Maka dari itu di dalam artikel ini, penulis berfokus pada simbol yang lebih ekstrim, sebagaimana diwakili oleh industri seperti film, produksi program televisi, musik, permainan elektronik, pariwisata, arsitektur, periklanan, mode pakaian, perhiasan, dan sebagainya. Jenis industri yang seperti itulah yang dapat mewakili 4-8% dari total pekerjaan di negara maju dan relatif mengalami perkembangan yang pesat. Dalam kasus wilayah metropolitan utama seperti New York, Los Angeles, London, Paris, Milan, Tokyo, dan sebagainya, insiden pekerjaan dalam ekonomi budaya dapat meningkat ke level setinggi 25 hingga 40 persen dari total keseluruhan (Scott 2000).

Pada bagian ini penulis membagi menjadi sebelas jenis pekerjaan yang terfokus pada pencarian estetika dan semiotik. Pada tabel ditunjukkan bahwa pada tahun 2008, total pekerjaan dalam pekerjaan di Amerika Serikat lebih dari 2,6 juta hal ini mengalami peningkatan sebesar 7,31 % dibandingkan angka yang sama pada tahun 2000. Pekerjaan yang dipilih hanya mencapai 0,87 persen dari semua pekerjaan di AS, tetapi mereka tetap dapat dianggap sebagai penanda yang sangat representatif dari ekonomi budaya secara umum. Hal tersebut dikatakan seperti puncak gunung es yang dibentuk oleh sistem kerja yang jauh lebih besar dalam pekerjaan dan sektor yang terkait. Contoh-contoh penting di sini adalah pusat pariwisata dan liburan seperti Miami, FL, dan San Diego, CA; pusat konvensi dan resor seperti Orlando, FL, dan Las Vegas, NV; aglomerasi musik seperti Austin, TX, dan Nashville, TN; tempat-tempat kerajinan dan warisan seperti Santa Fe, NM, dan Savannah, GA; kota universitas seperti Madison, WI, dan State College, PA; dan kota-kota dengan populasi yang luar biasa makmur seperti Santa Barbara, CA, dan Stamford, CT, yang mempertahankan layanan budaya tingkat tinggi dan dapat menarik seniman, perancang, dan penulis sebagai tempat untuk bekerja dan hidup. Tidak semua wilayah metropolitan yang ditunjukkan tersebut memiliki gugus ekonomi kultural, tetapi semuanya merupakan gejala dari pesatnya pertumbuhan ekonomi kultural baru-baru ini dalam berbagai samarannya di Amerika Serikat saat ini, dan afinitas khusus untuk daerah perkotaan besar dan padat.

Kelompok Marshallian yang dikembangkan dengan baik adalah karakteristik khusus dari sektor produksi budaya di New York dan Los Angeles. Area pusat ini dikelilingi dan diinterpenetrasi oleh kawasan industri khusus di sektor-sektor seperti film, musik, multimedia, arsitektur, fashion, perhiasan, furnitur, desain interior, teater hidup, dan banyak lainnya, belum lagi bohemias dan dekat-bohemias seperti Chelsea dan Greenwich Village di New York atau Echo Park dan Silverlake di Los Angeles dengan ekosistem studio seniman, klub, galeri, kedai kopi, dan sebagainya (Lloyd 2002; Indergaard 2004; Rantisi 2004; Scott 2004; Currid 2007; Halle dan Tiso 2008). Kelompok ini juga mempunyai ciri-ciri khusus yaitu berperan dalam tingkat yang signifikan untuk bentuk spasialnya yang khas. Selain itu, kelompok-kelompok ini juga berfungsi sebagai poros kutub dari pasar tenaga kerja lokal yang padat itu bercabang melalui daerah pemukiman setempat (dan sedemikian rupa bahwa daya tarik magnet yang diberikan oleh kelompok kerja tertentu di lingkungan sekitarnya berkurang dengan jarak pulang pergi). Hal ini dirasa dapat membantu merampingkan aktivitas bertransaksi antarperusahaan dan meningkatkan operasi pasar tenaga kerja lokal seperti komuter, pencarian kerja, dan pencocokan karyawan dan pekerjaan. Pada saat yang sama, pengelompokan menambah kapasitas kreatif perusahaan dan pekerja dengan membawa berbagai unit pengambilan keputusan dan perilaku menjadi kontak dan komunikasi yang dekat satu sama lain; dan fitur ini pada gilirannya semakin memperbesar masukan bagi produsen untuk bertemu secara bersama-sama.

Interlude: creativity in social context

Dalam bagian ini, penulis menggaris bawahi bahwa sebelum melangkah lebih jauh kita harus membedakan terlebih dahulu apa itu pembelajaran, apa itu kreativitas dan apa itu inovasi. Secara singkat, penulis mendefinisikan pembelajaran merupakan pemberian fondasi informasional dan prokedural yang penting untuk kegiatan kreatif. Sedangkan kreativitas itu sendiri lebih mementingkan pemikiran dan tindakan (pada tingkat individu dan kelompok) yang diarahkan pada produksi wawasan dan persepsi baru yang mungkintidak memiliki signifikansi yang nyata. Kemudian definisi inovasi menurut penulis yaitu yang berasal dari wawasan dan persepsi ini lebih difokuskan pada penerapannya dalam berbagai domain aplikasi praktis. Namun, penulis juga menggaris bawahi bahwa pembelajaran tidak selalu mengarah pada kreativitas, dan inovasi seperti yang didefinisikan. Terkadang dapat melibatkan atau meniru ide-ide kreatif orang lain. Kreativitas secara tak terhindarkan terjebak di antara dua peristiwa, satu psikologis, yang lain sosiologis. Di satu sisi, kreativitas memang ada dalam bakat pribadi dan kapasitas masing-masing individu. Beberapa individu juga dapat memiliki bakat asli dan / atau memiliki pengetahuan untuk jenis tindakan kreatif tertentu atau bahkan tidak memiliki sama sekali. Di sisi lain, kreativitas juga tertanam dalam konteks sosial konkrit yang membentuk gerakan dan tujuan dalam berbagai cara.

Dalam artikel ini, penulis membagi menjadi beberapa poin dalam menyikapi tindakan kreatif dalam praktik sosial. Karena dapat membantu kita untuk memulai tugas berdasarkan gagasan kreativitas dalam realitas konkrit eksistensi dan sebagai fenomena sosial dalam dirinya sendiri, dibatasi dalam berbagai cara dalam ruang dan waktu (Törnqvist 2004). Poin yang pertama, tentang berpikir kreatif akan selalu dalam hal-hal penting yang dibentuk oleh pengetahuan dan keterampilan individu. Aset-aset seperti ini dapat diperoleh melalui pendidikan, praktek dan sosialisasi informal, yaitu, dari sumber eksternal yang juga diresapi dengan karakter historis dan geografis yang pasti. Demikian pula, keterampilan danpengetahuan terikat oleh semua cara pemeriksaan dan batas (misalnya oleh penutupan teoritis, oleh ideologi normatif, oleh tradisi sejarah) meskipun tingkat kekakuan kendala ini akan sangat bervariasi tergantung pada keadaan tertentu. Biasanya masing-masing komunitas menginternalisasi unsur-unsur lingkungan sehari-hari mereka dan merefleksikan ini kembali dalam upaya kreatif yang lebih atau kurang sosial dikondisikan.  Poin yang kedua, agar lebih bermakna secara sosial, produk karya kreatif akhirnya harus dikenali oleh orang lain. Dalam setiap kejadian, bentuk kreativitas yang bermakna harus selalu dapat terhubung dengan pasar. Meskipun output ekonomi kultural memiliki maknasimbolik yang tinggi, sistem produksi ini juga diatur oleh strategi dari perusahaan dan pekerja yang berorientasi pada tujuan. Poin yang ketiga, yaitu sebagai akibat wajar dari struktur yang lebih luas dari transaksi eksternal di mana perusahaan dan pekerja pasti beroperasi memiliki konsekuensi penting untuk melepaskan tenaga kerja kreatif. Menurut penulis, individu yang terjebak di dalam jaringan transaksional yang padat, menyukai posisi untuk memperoleh informasi yang berguna sehingga dapat mengeksplorasi makna yang lebih luas dengan diskusi bersama lawan bicaranya daripada mereka yang lebih terisolasi secara sosial. Poin yang keempat yaitu medan kreativitas, yang terdiri dari komponen kontekstual dan relasional yang kuat dengan berbagai tingkat dalam menunjukkan bahwa aktivitas kreatif cenderung ditandai dengan patabilitas. Di mana ketergantungan jalur seperti itu berlaku. Penulis menganggap bahwa kekuatan-kekuatan kreatif angkatan kerja akan lebih mungkin untuk bergerak di saluran-saluran yang diatur secara ketat oleh kondisi sosial yang lebih luas. Manifestasi penting dari fenomena ini adalah jelas dalam munculnya apa yang Dosi (1982) sebut paradigma teknologi yang terintegrasi dengan struktur pengetahuan dan praktik dalam sistem industri.

Kami selaku konsultan pariwisata mengucapkan terimakasih kepada Instansi terkait atas kepercayaan dan kerjasamanya. Demikian artikel penelitian pariwisata ini disusun, semoga bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam pembangunan pariwisata setempat.

Kata kunci: Konsultan pariwisata, penelitian pariwisata, kajian pariwisata

Untuk informasi mengenai penelitian pariwisata, berupa kajian atau pendampingan lebih lanjut dapat menghubungi Admin kami di +62 812-3299-9470

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *