Tradisi dalam Makanan Sebagai Identitas Etnis Tionghoa Tanjungpinang

Kedatangan etnis Tionghoa di kota Tanjungpinang sudah ada sejak abad ke-17, terbukti dengan telah dibangunnya kelenteng Tien Hou Kong atau Vihara Bahtrra Sasana di Jl. Merdeka kawasan pecinan kota Tanjungpinang. Kedatangan etnis Tionghoa dari berbagai suku juga sempat menimbulkan pertikaian antar etnis Tionghoa di Tanjungpinang dan di Kampung Senggarang. Pada tahun 1840-1850, pertikaian antar suku Hokkien di Tanjungpinang dan suku Teow Tjiu di Kampung Senggarang tak dapat terelakan. Namun seiring berjalannya waktu dan momentum asimilasi seperti perkawinan antar suku seakan meleburkan perbedaan menjadi satu kesatuan etnis Tionghoa.

Saat ini pun, Bahasa yang digunakan di Tanjungpinang juga sama yaitu menggunakan Bahasa Teow Tjiu sebagai Bahasa Keseharian. Dengan kesamaan gaya hidup dari etnis Tionghoa Tanjungpinang, tercermin juga dari sikap menghormati dan menghargai tradisi setiap perayaan. Walaupun secara umum sama, di Tanjungpinang sendiri memiliki tradisi, antara lain:

  1. Tuan Yuan Fan (makan malam imlek), merupakan tradisi penting di kebudayaan etnis Tionghoa. Selain mempersiapkan diri dengan membersihkan rumah, menyiapkan pakaian bary berwarna merah dan memotong rambut, makanan yang disajikan juga aktifitas paling penting sepanjang tahun dalam keluarga. Anggota keluarga yang merantau akan pulang pada hari ini untuk berkumpul bersama keluargadan kerabat, menyantap hidangan malam imlek sambil bercengkrama dan bercanda.
  2. Lunar hari ke-7 (ren ri), menurut cerita rakyat yang beredar, hari ke 7 dari bulan lunar pertama adalah hari Dewa Nuwa menciptakan kehidupan bagi manusia. Di tanjung pinang, hari ini dirayakan dengan menyantap Yu Sheng. Cara memakannya pun cukup unik, yaitu bersama kerabat dan anggota keluarga berkumpul, berdiri mengelilingi Yu Sheng di piring besar, menggunakan sumpit mengaduknya sambil berteriak: Lao a, Lao a! Fa a, Fa a! Yang artinya memancinf, memancing, kaya, raya!.
  3. Yuan xiao jie (cap go meh), malam ke-15 dari tanggalan Lunar. Pada tiongkok kuno, pada malam ini diperingati dengan festival bermain lentera. Hari ini juga menunjukkan malam bulan pertama yang pertama kali setelah imlek. Tradisi yang paling sering doselenggarakn adalah pergi ke klenteng untuk sembahyang, selebihnya merayakan dengan bermain lemntera di rumah atau sekitar klenteng.
  4. Qing ming (cheng beng), hari bakti dan menghormati orang tua dan leluhur, di tanjung pinang, makna cheng beng adalah untuk menyembah orang terdekat yang sudah meningal, berkumpul kembali bersama keluarga dan menyapu makam. Cheng beng / sapu makan termasuk tradisi yang memilliki makna super historis dan spiritual dengan mengaitkan elemen penting tradisional seperti dupa, kertas makam, kertas bakar, hingga sesajen.
  5. Duan wu (peh leng cun), dikenal dengan Dragong boat festival merupakan salah satu perayaan untuk hari Duan Wu. Dari sejarah China, hari Duan Wu adalah merayakan seorang penyair Qu Yuan yang sedih dan melompat ke sungai karena sang Raja tidak mempercayai nasihatnya. Beras ketan memiliki simbolik bagi cerita ini dan acara dragon boat merupakan salah satu kegiatan untuk merayakannya. Keunikan di Tanjungpinang sendiri bahwa hari Duan Wu, Peh Leng Cun tidak hanya diselenggarakan satu kali, melainkan bisa mencapai 4 kali dalam satu tahun.
  6. Festival hantu (zhong yuan gui men kai), festival ini jatuh pada tanggalan Lunar dipertengahan bulan ke-7, dimana pintu gerbang hantu dibuka. Festival hantu adalah sembah kepada leluhur ataupun roh-roh kesepian. Selama 1 bulan penuh, mereka akan berpesan pada anak-anak agar tidak pulang terlalu malam untuk menghindari malapetaka yang tidak diinginkan. Di Tanjungpinang, tradisi sembahyang, menaruh sesajen dan bakar kertas di depan rumah pada saat tanggalan ini sudah menjadi hal yang biasa kita jumpai.
  7. Festival bulan (zhong qiu), festival bulan purnama paling bulat dan terang sepanjang tahun. Di hari ini, ada tradisi di Negara RRT yaitu menikmati bulan purnama. Jika di Tanjungpiinang, menyantap kue bulan adalah salah satu simbolk perayaan ini.
  8. Festival Ronde/Musim Dingin (Dong zhi), di Tanjungpinang biasanya “menggosok ronde” di rumah masing-masing, disembah kepada leluhur dan dimakan bersama keluarga dengan makna bertambahnya umur.

Kami selaku konsultan pariwisata mengucapkan terimakasih kepada Instansi terkait atas kepercayaan dan kerjasamanya. Demikian artikel penelitian pariwisata ini disusun, semoga bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam pembangunan pariwisata setempat. Untuk informasi mengenai penelitian pariwisata, berupa kajian atau pendampingan lebih lanjut dapat menghubungi Admin kami di +62 812-3299-9470

Kata kunci: Konsultan pariwisata, penelitian pariwisata, kajian pariwisata

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

one × 4 =

Latest Comments