Solo kondang dengan wedang teh-nya yang ginastel (legi, panas, dan kenthel). Tradisi ngeteh juga sudah berlangsung lama. Bahkan, kerajaan Kasunanan pernah memiliki perkebunan teh di masa silam. Fakta ini terekam dalam Serat Biwadha Nata yang terpahat kalimat: “Ing Ngampel dereng dangu mêntas kabikak pabrik teh kagungan dalêm, nåmå Madusita”. Kata “madu” artinya madu (manis), lantas “sita” berarti ati (hati) atau adem (dingin).
Diperkuat pula pengaruh tradisi ngeteh orang Belanda di lingkungan elit Jawa. Di wilayah pesisir, dibuktikan oleh keluarga Kartini dan Sosroningrat yang menggandrungi kebiasaan minum teh jam 16.00-17.00. Agak berbeda dengan tradisi ngeteh yang diserap kaum bangsawan istana di pedalaman yang sering disambangi kelompok Eropa dari level pejabat hingga pengusaha perkebunan. Dalam tradisi kerajaan Jawa, minuman teh selalu disajikan di setiap acara santap keluarga bangsawan baik makan pagi, makan siang, dan makan malam. Tak luput saat menjamu tamu kehormatan, wedang teh turut menguntit. Kesaksian berharga datang dari raja Siam atawa negeri Gajah Putih (Thailand) yang beberapa kali menginjakkan kaki di lantai marmer Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran. Daun kalender menunjuk angka 2 Juli 1901. Paku Buwana X mengadakan perjamuan dengan tamunya ini. Acara ngeteh berlangsung sampai pukul 22.00.
Dalam kesempatan lain, raja dari manca ini menggambarkan proses penerimaan tamu secara rinci: seorang pembantu istana mendekat sambil memegang nampan teh berlapis emas. Di atasnya ada dua cangkir teh dan penutup berbentuk mahkota. Kemudian, penguasa Kasunanan bertanya: apakah raja Siam ingin minum teh memakai gula dan krim. Tatkala tamu berkata “ya”, Paku Buwana X mengangkat cangkir teh ditawarkan kepada tamu istimewa itu dan mengangkatnya sendiri untuk diminum. Prosedur serupa dilakukan untuk orang lain secara berpasangan. Selagi peserta minum, pelayan kerajaan menaruh nampan kosong di atas hidung, menunggu dipanggil guna meletakkan kembali kedua cangkir teh. Usai mencecap teh, pelayan datang membawa rokok. Selepas sesi merokok, pelayan mendekat membawa nampan gelas dan pembantu lainnya memegang keranjang berisi aneka minuman. Ritual macam ini dikerjakan tidak peduli di stasiun maupun istana. Raja Siam heran melihat para pelayan merayap pelan (Imtip Pattajoti Suharto, 2001).
Yang menarik, keluarga bangsawan di Jawa memaknai perabotan ngeteh untuk pamer gengsi sosial. Perlengkapan minum teh terdiri atas teko terbuat dari porselen. Teko ini bertangkai di bagian atasnya, terbuat dari emas. Ada pula cangkir dari porselen berwarna merah dengan satu pegangan dan tutup yang juga terbuat dari emas, tempat gula dan sendok kecil diletakkan pada nampan emas berbentuk bulat panjang. Agar tak kotor dan mengurangi rasa panas, cangkir diberi alas (lepek).
Onghokman (1997) dalam kasus ini menyatakan, kalau ada golongan yang hendak mengungkapkan kekayaannya melalui peralatan makan (dan minum), maka peralatan bersantap Eropa yang dipakai. Meski teko berasal dari budaya Tionghoa, namun elemen emas yang menempel mengindikasikan ada spirit pamer. Makin tinggi derajat ekonomi-sosialnya makin rumit alat-alat makan yang terbuat dari perak, bahkan emas seperti kerajaan Inggris.
Demikianlah kilas balik sejarah tradisi ngeteh di telatah Jawa. Di masa silam, elit bangsawan yang menempati posisi teratas dalam piramida sosial ala kerajaan menjadi rujukan kaum priayi dan wong cilik. Budaya ngeteh yang semula hidup di bilik rumah aristokrat, akhirnya sumebar (tersebar) dan ngrembaka (berkembang) di lingkungan masyarakat luas. Ia sukses menembus sekat sosial, tanpa bisa diklaim milik satu golongan.
No responses yet