Upacara Ngusaba Sambah Tradisi Masyarakat Bali Timur – Di tengah modernisasi zaman, masyarakat Bali Timur masih teguh menjaga tradisi leluhur mereka. Salah satu tradisi yang masih lestari hingga saat ini adalah Upacara Ngusaba Sambah. Upacara ini merupakan tradisi turun-temurun yang sarat makna dan menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Bali Timur, tepatnya Kabupaten Karangasem.
Sejarah dan Makna Upacara Ngusaba Sambah
Di wilayah Bali Timur, terdapat upacara keagamaan yang dikenal dengan istilah ngusaba atau usaba. Istilah upacara ngusaba berbagai macam, seperti usaba dangsil di Desa Bungaya, usaba guling di Desa Timrah, usaba gumang di Desa Bugbug, usaba sumbu di Desa Asak, dan usaba sambah yang dilaksanakan di beberapa tempat, seperti Desa Tengangan Pegringsingan, Desa Pasedahan, Desa Sengkidu, dan Desa Adat Tenganan Dauhtukad (Wertta, 2021).
Upacara Ngusaba Sambah telah dipraktikkan sejak berabad-abad lalu. Kata “ngusaba” berasal dari kata “usaba” yang berarti “upacara”. Sedangkan “sambah” berarti “sembah” atau “penghormatan”. Upacara ini bertujuan untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa dan para leluhur.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, ritual Ngusaba Sambah menjadi tanda sebuah babak dalam kehidupan warga lokal. Upacara Ngusaba Sambah biasanya diadakan pada saseh atau purnama kelima dalam setahun, tepatnya pada Purnama Sasih Kalima sekitar bulan Juni dan Juli. Upacara Ngusaba Sambah merupakan upacara terbesar dalam rangkaian kalendar satu tahun. Upacara ini dipusatkan di Pura Puseh Desa Pesedahan, Karangasem, Bali.
Rangkaian Kegiatan Upacara Ngusaba Sambah
Upacara Ngusaba Sambah diawali dengan berbagai persiapan, seperti membersihkan pura, menyiapkan sesajen, dan membuat penjor. Upacara ini melibatkan seluruh anggota masyarakat, mulai dari pemangku adat, pemuda, hingga para tetua desa. Menurut penelitian oleh Kertiasih dkk (2022), sebelum sampai pada upacara Ngusaba Sambah, ada beberapa rentetan istilah upacara, yaitu
- Nyujukang pemidang, yaitu kerangka ayunan dari kayu yang dinaiki oleh truna-truni,
- Nelan-elan, yaitu haturan sesajen oleh masyarakat Tenganan Dauh Tukad di Pura Bale Agung,
- Memiyut, yaitu upacara di Pura petung,
- Nyujukang ayunan, yaitu ayunan yang terbuat dari kayu dan beratap upih atau kelopak pohon pinang agar saat Daha dan Truna naik ayunan tidak kehujanan,
- Nulak damar, yaitu upacara yang dilakukan di tempat ayunan,
- Metekrok, yaitu upacara mengelilingi Pura Bale Agung dan berebut buah hasil bumi,
- Daha nyambah, yaitu upacara malam hari untuk menjemput truna baru ke rumahnya masing-masing dengan digendong sampai Pura Dalem Maja Pahit,
- Megibung, yaitu makan bersama di siang hari
- Mekemong-kemongan, yaitu ngemongin makanan sendiri yang dilakukan oleh Truna sebelum mekare,
- Mekare/Perang Pandan, yaitu upacara berupa perang dengan alat pandan yang berduri dan tamiang dari rotan serta diiringi gamelan/musik,
- Daha Ngepik, yaitu upacara yang sama dengan upacara Daha Nyambah,
- Mabuang, yaitu upacara yang dilaksanakan oleh sekaa Truna dan sehaa Daha, dan
- Perejangan, yaitu rentetan upacara terakhir Ngusaba Sambah di Pura Bale Agung.
Baca juga : Urap Hidangan Sakral Sejak Abad 10 Masehi
Untuk informasi mengenai penelitian pariwisata, berupa kajian atau pendampingan lebih lanjut dapat menghubungi Admin kami di +62 812-3299-9470.
Sumber:
Haes, P. E. (2021). Pelestarian Budaya dalam Tari Wali Krama Murwa pada Tradisi Usaba Sambah di Desa Pesedahan Karangasem. Ideas: Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Budaya, 7(3), 101-106.
Kertiasih, N. W., Mayuni, A. I., & Mardika, I. M. (2022). Pelestarian Bahasa Lokal Pada Usaba Sambah di Desa Adat Tenganan Dauh Tukad, Karangasem. Postgraduated Community Service Journal, 3(1), 7-13.
No responses yet