Mengoptimalkan Fungsi dan Nilai Lahan Melalui Compact City – Pertumbuhan perkotaan cenderung tumbuh secara dinamis mengikuti perkembangan demografis, ekonomi, dan fisik-spasial. Dari aspek spasial, perkotaan cenderung tumbuh secara masif-ekspansif hingga menyebabkan adanya gejala urban sprawl yang tidak terkendali. Urban sprawl merupakan istilah dari pembangunan perkotaan yang tidak terkontrol dan terkendali serta pertumbuhan kota yang merambat ke daerah pinggiran kota. Gejala ini telah dirasakan berbagai kota di dunia, termasuk Indonesia. Perkembangan kota-kota besar, seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, dan lainnya membuat daerah pinggiran kota menjadi sasaran dampak pembangunan. Jika permasalahan ini terus dibiarkan, maka wilayah pinggiran hingga perdesaan akan merasakan dampaknya.
Untuk mengatasi hal tersebut, terdapat satu konsep pembangunan perkotaan yaitu compact city. Compact city atau kota kompak merupakan konsep perencanaan perkotaan yang berfokus pada pembangunan berkepadatan tinggi dengan penggunaan fungsi lahan yang beragam di satu lahan yang sama dengan tujuan untuk mengifiensikan lahan semaksimal mungkin. Konsep compact city pertama kali dicetuskan oleh George Dantzig dan Thomas L. Saaty pada tahun 1973. Visinya adalah meningkatkan kualitas kehidupan perkotaan dengan tidak menambah alih fungsi lahan dan sejalan dengan prinsip keberlanjutan.
Konsep compact city sering disebut juga dengan transit-oriented development (TOD) yaitu konsep pembangunan berkepadatan tinggi dengan sistem moda berbasis transit. Sistem moda berbasis transit bertujuan untuk meningkatkan pola pergerakan masyarakat dengan transportasi umum, sehingga bisa mengurangi konsumsi energi bahan bakar. Compact city bercirikan pembangunan dengan fungsi-fungsi kota yang terpusat dan dapat dijangkau dengan berjalan kaki serta memiliki aksesibilitas tinggi untuk menuju stasiun atau halte transportasi umum.
Baca juga : Brutalisme Merangkul Keindahan Mentah Beton
Indonesia telah menerapkan konsep compact city dalam bentuk transit-oriented development (TOD), contohnya pada Kawasan Berbasis Transit (TOD) pada beberapa stasiun MRT Jakarta fase 1 koridor selatan-utara. Prinsip perencanaan TOD Stasiun MRT Jakarta menggunakan delapan prinsip, yaitu (1) pengembangan fungsi campuran dalam radius tempuh jalan kaki dari setiap stasiun; (2) memaksimalkan kepadatan dan keaktifan sekitar stasiun transit; (3) peningkatan kualitas konektivitas dari dan menuju stasiun; (4) peningkatan kualitas hidup dengan menyediakan ruang terbuka, plaza, dan jalan yang memadai; (5) keadilan sosial dengan mempertahankan komunitas dan jaringan sosial di daerah sekitar stasiun transit dan menyediakan infrastruktur sosial; (6) keberlanjutan lingkungan; (7) ketahanan infrastruktur; dan (8) pengembangan ekonomi lokal yang bisa menarik investasi dan peluang kerja baru (MRT Jakarta, 2023).
Untuk informasi mengenai penelitian pariwisata, berupa kajian atau pendampingan lebih lanjut dapat menghubungi Admin kami di (0812-3299-9470)
No responses yet