“Modho Ne’e Hoga Meku Ne’e Doa” dalam Konteks Filsafat Relasionalitas

Modho Ne’e Hoga Meku Ne’e Doa – Manusia tidak hanya memiliki kodrat sebagai makhluk rasional, tetapi juga makhluk yang relasional Keduanya itu memiliki hubungan yang erat kaitannya dalam menjelaskan eksistensi manusia yang sejati sebagai makhluk sosial. Relasi mengandaikan adanya rasio di mana manusia mampu untuk berpikir dan menyadari bahwa sesama di sekitarnya adalah partner yang sepadan dalam membangun interaksi baik itu persatuan, persaudaraan, dan kerja sama. Untuk itu, tepat jika kesadaran atau conscientia merupakan tema penting dalam filsafat (Riyanto, 2013). Konsep pemikiran Armada Riyanto tentang relasionalitas dimulai dari kesadaran. Kesadaran yang dimaksud ialah kesadaran “aku”. Kesadaran manusia akan dirinya sebagai “Aku” dapat menjadi media yang relevan dalam kaitannya dengan relasi yang harmonis antarsesama manusia. Armada mengatakan bahwa manusia itu kaya dalam kesadarannya, halnya karena manusia menyadari dirinya sebagai “Aku”. Kesadaran “Aku” merupakan asal usul dari pengetahuan manusia. Manusia bertindak melalui kesadarannya. Kesadaran tentang dirinya mengarahkan manusia untuk bertindak secara benar dan tepat terhadap orang lain. Armada melanjutkan bahwa kesadaran akan “Aku” adalah kesadaran akan “Esse”-ku (Being-ku), realitas “mengada”-ku. Kesadaran “Aku” adalah kesadaran tentang keseluruhan eksistensi dan keberadaanku.

Kesadaran akan “Aku” mengisyaratkan pula akan relasi dengan orang lain. Dan relasiku yang tercipta dengan orang lain itu memuat relasi yang menyeluruh. Artinya, bahwa kesadaran itu bukan mengungkapkan sesuatu kesadaran yang hanya terbatas atau tertuju kepada diri sendiri, melainkan kesadaran itu perlu menyentuh relasiku dengan sesama di sekitar. Selanjutnya, Riyanto melanjutkan bahwa kesadaran itu tidak hanya mengenal kekuatan dan kelemahan yang ada dalam diriku, sebab itu hanya merupakan pengenalan akan ciri atau karakteristik fisik (Riyanto, 2018). Lebih lanjut, ia menjelaskan kesadaran “Aku” memuat di dalamnya seluruh pengalaman, jatuh bangun, keprihatinan terhadap sesama, dan relasi-relasi yang memuat di dalamnya akan eksistensi dan keberadaanku. Aplikasi dari kesadaran “aku” ini adalah bahwa kesadaran ini berdampak pada perbuatan yang menyeluruh. Artinya, kesadaran tersebut memungkinkan juga akan tindakan yang mendalam, natural, dan relasional (Riyanto, 2018). Orang lain di sekitar memungkinkan kesadaran “Aku” untuk bertindak baik dalam mengusahakan nilai persatuan, kerja sama, persaudaraan, dan nilai kebijaksanaan lainnya yang memiliki intensi dalam membangun jalinan relasi yang baik antarsesama. Inilah bentuk kesadaran “Aku” yang selalu berelasi dengan sesama.

Landasan di atas diperkuat oleh seorang filsuf eksistensial, yakni Martin Buber yang mencetuskan relasi antara “Aku” dan “Engkau”. Aku tidak mungkin berelasi dengan diriku sendiri tetapi yang memungkinkan “Aku” dapat berelasi ialah keberadaan “Engkau” yang ditampilkan sebagai penyusun komunikasi itu sendiri. Dan dalam mencapai suatu penghayatan akan persatuan terhadap orang lain, dalam hal ini orang Nagekeo yang menghayati pepatah “modho ne’e hoga, meku ne’e doa,” kesadaran “Aku” itu merupakan sebuah bentuk solusi. Dikatakan demikian karena ketika ia bertumbuh dalam kesadaran akan ke-“Akuannya” sebagai individu, maka di situ pula muncul suatu keprihatinan akan keberadaan orang lain sebagai “Aku” yang lain. Keprihatinan atau kepedulian terhadap yang lain mengatakan pula bahwa itulah cita rasa hidup bersama sebagai bentuk ungkapan nilai persatuan. Sebab konsep persatuan diterjemahkan dalam perbuatan manusia yang selalu memiliki relasi yang baik dengan sesama dan terarah kepada yang lain. Sebagai konsekuensi logis dari kesadaran ini juga terciptanya jalinan relasi dengan “Aku” yang lain dalam mengupayakan nilai persatuan dalam tatanan hidup bersama. Ia menjadi makhluk yang peduli akan keberadaan orang lain. Kesadaran “Aku” memungkinkan orang untuk menjalin relasi yang inklusif, di mana ia mampu keluar dari keegoisannya dan pandangannya yang sempit akan keberadaan orang lain. Keberadaan orang lain bukan sebagai ancaman, melainkan kehadiran orang lain mencetuskan akan nilai persatuan dan persaudaraan yang ingin dibangun. Tindakan yang demikian merupakan wujud kesadaran individu. Kesadaran “Aku” yang mampu menempatkan diriku seturut eksistensi dan keberadaan-ku dalam kehidupan bersama. Tujuan dari kesadaran “Aku” adalah mengarahkan manusia untuk bertindak seturut norma yang berlaku dalam tata kelola bersama. Dengan demikian, dampaknya akan sangat jelas bahwa eksistensi dan keberadaan-ku dalam kehidupan bersama adalah terciptanya persatuan dan persaudaraan bagi “Aku” yang lain.

Baca juga : Esensi Arsitektur Modern

Nagekeo pertama-tama perlu dibangun jalinan relasi yang baik antarsesama. Relasi “aku” dan orang lain (the other) bukan lagi dilihat sebagai relasi antara subjek dan objek, melainkan relasi intersubjektif. Relasi intersubjektif mengandaikan tidak ada yang disubordinasi satu dengan yang lain. Artinya, bahwa orang lain di sekitar bukan lagi objek untuk ditindas, dimusuhi atau dilenyapkan, tetapi melihat orang lain sebagai partner dalam membangun hidup bersama. Hal itu terungkap secara gamblang dalam pepatah yang dihidupi dan dihayati oleh orang Nagekeo, yakni “modho ne’e hoga, meku ne’e doa.” Untuk informasi lebih lanjut mengenai pelatihan kami, anda dapat menghubungi Admin kami di nomor (0812-3299-9470).

Tags:

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 × 3 =

Latest Comments