mostbet az casinolackyjetmostbet casinopin up azerbaycanpin up casino game

Sejarah  Babad Giyanti Dumugi Geger Inggrisan

Sejarah  Babad Giyanti Dumugi Geger Inggrisan – Naskah BGDGI merupakan naskah skriptorium Keraton Yogyakarta yang disalin pada 17 Januari 1847, semasa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V. Di dalam penelusuran sejarah naskah, ditemukan informasi intrinsik teks yang menyebutkan bahwa naskah ini merupakan salinan dari teks asli berjudul Serat Mareskalek milik dari Kanjeng Gusti Pangeran Suryanglaga, putra kedua dari Sri Sultan Hamengku Buwono III. Pada teks BGDGI ditemukan pula informasi mengenai carik yang menyalin teks tersebut, bernama Raden Sumayuda. Di sebutkan bahwa Raden Sumayuda mohon ampun kepada Sultan Kelima sebab sangat pelan dalam menyalin naskah tersebut. Raden Sumayuda memerlukan 43 bulan dalam proses penyalinan naskah induk tersebut. Terdapat dugaan bahwa penyalinan teks tidak dilakukan sepenuhnya di keraton, tetapi juga di luar keraton melihat waktu penyalinan yang begitu lama. Meski demikian, Keraton Yogyakarta sebagai skriptorium menjadi tempat utama dalam produksi teks dan naskah BGDGI

Merujuk pada tahun penyalinan teks BGDGI, sejalan dengan peristiwa renaisans sastra di lingkungan Keraton Yogyakarta. Pasalnya, ekosistem sastra yang carut marut akibat peristiwa Geger Sepehi (1812) kembali tumbuh kembali pada periode pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V (1823-1855). Beberapa karya baru yang ditulis dan disadur ulang terdiri dari babad, suluk, roman Islam, sastra wayang, silsilah, pawukon, hingga cerita-cerita kenabian. Konsentrasi keraton dalam penulisan sastra keagamaan dimaksudkan untuk pengembangan kebudayaan rohani. Kondisi ini setidaknya berlangsung antara tahun 1757-1873 ketika intervensi kolonial terjadi di jantung pemerintahan keraton.

Pada awal penulisan karya sastra di keraton, tidak terdapat ruang khusus untuk penyimpanan manuskrip. Sri Sultan Hamengku Buwono II menyimpan “Serat Suryaraja” yang telah selesai ditulis di Gedhong Prabayeksa. Pada pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V, terdapat lonjakan penulisan dan penyalinan karya sastra. Antara 1846-1851, setidaknya terdapat 121 sastra ditulis, baik itu babad, piwulang, suluk, primbon, maupun silsilah. Keseluruhan karya sastra yang diproduksi sejak pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V hingga Sri Sultan Hamengku Buwono VII tersimpan di kediaman sultan. Baru pada pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, perpustakaan di keraton mulai dilembagakan. 

Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939), terjadi perubahan struktur administrasi keraton ke dalam bentuk tepas yang berarti seksi atau bidang. Perubahan struktur administrasi ini berdampak pada dibentuknya lembaga khusus yang menaungi koleksi sastra di keraton. Seluruh karya sastra berupa naskah kemudian dikumpulkan, sehingga dapat dibaca oleh kerabat dan Abdi Dalem lain. Sultan kemudian mengalih fungsi sebuah gedung untuk menjadi perpustakaan bernama Widya Budaya pada 1920. Semula bangunan tersebut difungsikan sebagai kediaman sementara KGPAA Mangku Negara VII, saat hendak meminang putri Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Akan tetapi, setelah tidak digunakan sebagai kediaman KGPAA Mangkunegara VII saat berkunjung ke Yogyakarta, Widya Budaya berfungsi sebagai perpustakaan hingga saat ini.

Sementara itu, karya sastra yang berkaitan dengan seni pertunjukan disimpan di perpustakaan Kawedanan Kridhamardawa. Perpustakaan ini dibangun pula oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII yang menaruh perhatian terhadap seni pertunjukan, terutama Wayang Wong yang sering digelar sekitar tahun 1920 hingga 1930. Di perpustakaan tersebut, terdapat naskah-naskah bedhaya dan srimpi, musik barat, tatah sungging, macapat, hingga gendhing-gendhing karawitan. Saat ini, perpustakaan tersebut berada di kompleks Bangsal Kasatriyan. Keseluruhan koleksi karya sastra di keraton berjumlah 704 naskah, yang terdiri dari 450 naskah yang tersimpan di Widya Budaya dan 254 yang tersimpan di Kridhamardawa

Dari sejarah sastra di keraton, keberadaan Naskah BGDGI yang semula dimiliki oleh pangeran patut dipertanyakan perubahan kepemilikiannya menjadi koleksi Museum Sonobudoyo. Perihal ini dimungkinkan terjadi karena adanya peristiwa hibah koleksi yang dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pada Museum Sonobudoyo pada saat pembukaan museum, tahun 1935. Terlebih lagi, Museum Sonobudoyo merupakan institusi yang diinisiasi pula oleh Sultan untuk mengembangkan ekosistem kajian terhadap Kebudayaan Jawa, Sunda, Bali, dan Lombok di Yogyakarta. Meski tidak terdapat berita acara yang pasti mengenai kegiatan hibah tersebut, namun T.E. Behrend dalam kertas kerjanya tahun 1989 menyebut bahwa naskah-naskah tersebut merupakan koleksi Museum Sonobudoyo saat ini. 

Baca juga : Strategi Peningkatan Kunjungan Wisatawan

Untuk informasi mengenai penelitian pariwisata, berupa kajian atau pendampingan lebih lanjut dapat menghubungi Admin kami di(0812-3299-9470).

Tags:

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Latest Comments

Tidak ada komentar untuk ditampilkan.