Sumbu Filosofi Jogja: Jejak Sejarah dan Nilai Spiritual, merupakan konsep tata ruang yang menggambarkan hubungan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Ini adalah garis imajiner yang membentang dari Gunung Merapi di utara, melewati Keraton Yogyakarta, hingga Pantai Selatan (Samudra Hindia) di selatan. Sumbu ini mewakili nilai-nilai spiritual yang mencerminkan perjalanan kehidupan manusia mulai dari lahir, menjalani kehidupan duniawi, hingga kembali kepada Sang Pencipta.
Sejarah dan Filosofi di Balik Sumbu Filosofi
Sumbu Filosofi ini dirancang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I ketika mendirikan Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1755. Konsep ini terinspirasi dari pandangan dunia Jawa yang percaya pada keseimbangan antara jagad besar (makrokosmos) dan jagad kecil (mikrokosmos), serta keterhubungan antara dunia fisik dan metafisik. Keraton Yogyakarta, sebagai pusat dari sumbu ini, adalah simbol kehidupan manusia di tengah-tengah dunia yang menghubungkan alam pegunungan (Merapi) dan lautan.
Secara filosofis, sumbu ini juga menggambarkan perjalanan spiritual manusia. Gunung Merapi di utara melambangkan kelahiran dan asal mula manusia, sedangkan Pantai Selatan melambangkan akhir dari kehidupan dan kembalinya manusia kepada Sang Pencipta. Di antara keduanya, berdiri Keraton Yogyakarta yang menggambarkan kehidupan manusia dalam keseharian, penuh dengan upaya untuk mencapai keharmonisan antara kebutuhan spiritual dan duniawi.
Tiga Elemen Utama dalam Sumbu Filosofi
Sumbu Filosofi Yogyakarta terdiri dari tiga elemen utama, yaitu Gunung Merapi, Keraton Yogyakarta, dan Pantai Selatan. Setiap elemen memiliki peran penting dalam mencerminkan keseimbangan antara alam, manusia, dan spiritualitas.
- Gunung Merapi: Merapi adalah simbol kekuatan alam dan spiritualitas. Dalam pandangan masyarakat Jawa, Merapi adalah sumber energi yang tak hanya memberikan kesuburan, tetapi juga mengingatkan manusia akan kekuatan Sang Pencipta.
- Keraton Yogyakarta: Keraton berada di tengah-tengah dan melambangkan kehidupan duniawi, keseimbangan, dan pusat kebudayaan. Keraton menjadi simbol bagaimana manusia harus hidup di tengah dunia dengan tetap menjaga hubungan dengan alam dan Sang Pencipta.
- Pantai Selatan (Samudra Hindia): Pantai Selatan melambangkan akhir perjalanan hidup, kematian, dan kembalinya manusia kepada asal. Selain itu, Pantai ini berkaitan dengan legenda Nyi Roro Kidul, Ratu Laut Selatan, yang dipercaya menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan dunia gaib.
Sumbu Filosofi dalam Kehidupan Sehari-hari
Selain menjadi tata ruang kota, juga menjadi pedoman bagi masyarakat Yogyakarta dalam menjalani kehidupan yang seimbang antara dunia material dan spiritual. Ritual-ritual adat, upacara, hingga perayaan budaya sering kali berlandaskan pada filosofi ini. Misalnya, tradisi “Labuhan” di Pantai Selatan, yang merupakan bentuk penghormatan dan persembahan kepada alam, mencerminkan keyakinan akan keterhubungan manusia dengan kekuatan alam dan spiritual.
Sumbu Filosofi Yogyakarta bukan hanya sekadar konsep tata ruang, tetapi juga merupakan simbol kekayaan budaya, nilai spiritual, dan panduan hidup bagi masyarakatnya. Di tengah modernisasi, sumbu ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga keseimbangan antara kehidupan duniawi dan spiritual agar tercipta harmoni dalam kehidupan.
Baca Juga: Mengenal Luas dan Batas Negara Indonesia.
Referensi Bacaan: Darban, A. R. (2010). Sejarah Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Ricklefs, M. C. (1993). A History of Modern Indonesia Since c. 1300. Stanford University Press, Hadiwijono, H. (1971). Religion in Java: Historical and Cultural Studies. Leiden: Brill, dan Geertz, C. (1960). The Religion of Java. University of Chicago Press.
Sumber gambar: kebudayaan.kemdikbud.go.id
Untuk informasi lainnya hubungi admin kami di:
Whatsapp: (0812-3299-9470)
Instagram: @jttc_jogja
No responses yet