Isi teks naskah Babad Sunan Prabu berdasarkan uraian dalam Katalog Naskah-Naskah Perpustakaan Pura Pakualaman (Saktimulya, 2005:49) yaitu awal teks melukiskan peristiwa di Kartasura setelah wafatnya Paku Buwana I dan dilanjutkan dengan pengangkatan Amangkurat IV (Sunan Prabu) sebagai penggantinya. Teks selanjutnya menceritakan tentang Pangeran Purbaya menjadi Panembahan, tentang Pangeran Harya Mangkunegara sampai lahirnya Raden Mas Sahid. Akhir teks menceritakan wafatnya Amangkurat IV.
Teks naskah BSP ditulis dengan genre puisi tembang macapat. Tembang macapat yang menyusun teks BSP sebanyak 8 (delapan) tembang macapat dengan urutan Dhandhanggula, Mijil, Dhandhanggula, Mijil, Dhandhanggula, Durma, Sinom, dan Dhandhanggula dengan total bait sebanyak 683 bait. Berikut ini sinopsis isi teks berdasarkan delapan tembang macapat tersebut.
- Dhandhanggula, 8 bait, halaman 2-4
- Mijil, 23 bait, halaman 4-8
- Dhandhanggula, 25 bait, halaman 8-19
- Mijil, 31 bait, halaman 19-28
- Dhandhanggula, 32 bait, halaman 28-38
- Durma, 243 bait, halaman 38-100
- Sinom, 278 bait, halaman 100-179
- Dhandhanggula, 43 bait halaman 179-192
Baca juga : Babad Sunan Prabu
Di bawah ini merupakan kutipan bait dari ke delapan tembang macapat yang digunakan untuk menuliskan teks Babad Sunan Prabu. Masing-masing tembang macapat hanya akan disajikan kutipan baitnya sebanyak delapan bait.
Tabel 1. Kutip bait Tembang Dhandhanggula
1. Dhandhanggula | ||
Bait | Alih Aksara | Terjemahan |
(1) | (h. 2) Ingkang putra wus dangu neng ngarsi, pĕpak sowan dagane kang rama, garwa bĕndara putri len, pyayi sak dalĕm agung, tan adangu mafad narpati, tangis umyang gumrĕrah, tuwin Kangjĕng Ratu, Kĕncana sumungkĕm pada, putra wayah karuna samya nungkĕmi, ing pada dĕlamakan. | Sang putra telah lama di (jajaran) depan. (Telah) lengkap hadir di depan sang ayahanda yang telah terbujur. (Mereka diantaranya) permaisuri, bangsawan seluruh dalem agung. Tidak berapa lama, sang raja wafat. Isak tangis bergemuruh kemudian Kangjeng Ratu Kencana memberikan hormat tepat di kaki (jenazah). Anak cucu menangis sambil memberikan hormat di telapak kaki (sang raja). |
(2) | Gumrĕ tangis wong sajroning puri, para bĕndara miwah parĕkan, tan adangu lah ing kono, dan siniraman sampun, Ki Pangulu wus dentimbali, sayid myang kancanira, lan suranata wus, layon dalĕm tinabĕla, tuwin Kangjĕng Gusti Pangeran Dipati, ngrĕngga layoning rama. | Bergemuruh tangisan orang di dalam istana. Bendara-bendara beserta abdi perempuan. Tiadalah berapa lama di tempat itu, kemudian sudah disucikan. Ki Pangulu sudah dipanggil, sayid dan teman-temannya, dan suranata. Jenazah raja dimasukkan peti. Bahkan Kangjeng Gusti Pangeran Dipati menjaga jenazah ayahanda. |
(3) | Saupacara dalĕm pinranti, badhe andherekakĕn sĕdaya, bopati myang prajurit jro, pradikan kaji kaum, myang Kumpĕni dipundhawahi, mangke sawiyosira, layon dalĕm ngriku, sagung wong santri ngrĕmbata, yen wus rawuh ing jawi bopati mantri, dikakkĕn gĕgĕntosan. | Semua tanda kehormatan telah dipersiapkan. Semua (orang) akan menghantarkan. Bupati dan prajurit, rohaniawan haji (dan) kaum. Oleh kumpeni diperintahkan, bahwa nanti sekeluarnya (peti) jenazah raja dibawa di situ, seluruh santri memikul. Jika sudah sampai di luar (maka) bupati mantri diperintahkan bergantian (memikul). |
(4) | (h. 3) Salajĕnge yen wus ragi tĕbih, gĕladhak pĕnandhon gĕntosana, Jĕng Pangran Dipati Anom, mĕkatĕn karsanipun, mung Bupati dherekna sami, dene putra santana, tan kalilan tumut, sĕnadyan para bupatya, along kantun saos karsa dalĕm Gusti, Kangjĕng Pangran Dipatya. | Selanjutnya apabila telah agak jauh, sebelah utara alun-alun, gantilah juru tandu. Demikian perintah Kangjeng Pangeran Dipati Anom, (bahwa) hanya bupati yang menghantarkan. Adapun kerabat tidak diijinkan ikut. Meski para bupatii, sebaiknya mengikuti kehendak Kangjeng Gusti Pangeran Adipati. |
(5) | Kang paman tansah tinari-tari, sintĕn Pangeran Arya Mataram, myang Kaptin Jaswa tan adoh, asaos karsanipun, Kangjĕng Gusti Pangran Dipati, pinundhutakĕn urmat, mangke wiyosipun, layon dalĕm ingkang rama, tur sandika Kapitan Jaswa nglangkungi, met sih Pangran Dipatya. | Sang paman selalu dibujuk, siapakah Pangeran Arya Mataram, dengan Kaptin Jaswa tidak jauh. Menawarkan, kehendaknya Kangjeng Gusti Pangeran Adipati diberikan penghormatan nanti sekeluarnya jenazah sang ayah. Kapitan Jaswa mengatakan siap, (ia) sangat mengasihi Pangeran Adipati. |
(6) | Wus mangkana layon dalĕm mijil, lir winungu tangis ing jro pura, umyang ngrĕs pinyarsakake, para putra kĕlangkung, ika Pangran Purbaya tuwin, kang rayi Pangran Blitar, kaguraweng kalbu, sumĕlange mring kang raka, wus mangkana tindaking layon alaris, datan kawarneng marga. | Demikianlah, jenazah raja telah dibawa keluar. Bagaikan dorongan batin tangis di dalam istana, bersamaan bila dirasakan menyayat hati. Terlebih para putra, seperti Pangeran Purbaya dan sang adik, (yaitu) Pangeran Blitar. Tercipta di dalam hati, khawatir terhadap sang kakak. Demikian sudah perginya jenazah, sepanjang perjalanan tidak diceritakan. |
(7) | Layon rawuh sumare Magiri, wau samarga-marga tan pĕgat, (h. 4) dikir myang nawur slawate, mangkana sampun wangsul, kang dherek wus mantuk prasami, pangarsaning Bupatya, wus umatur wau, Jĕng Gusti Pangran Dipatya, raosing tyas putra tinilar sudarmi, mĕkatĕn galihira. | Jenazah sampai dan diistirahatkan di Imagiri. Tadi, selama perjalanan tidak pernah berhenti dzikir dan pujian shalawat. Demikian sudah pulang, yang menghantarkan sudah pulang semua. Pemimpin bupati, telah mengatakan (kepada) Kangjeng Gusti Pangeran Adipati, mengenai perasaan hati anak yang ditinggal ayahanda. Demikian yang dirasakan. |
(8) | Sĕnadyan tĕmbe wibawa mukti, mangsa padha tinunggu wong tuwa, ywan tan arjana wĕkase, sĕmantĕn kang Sinuhun, surudira densĕngkalani, Tri Papat Rasa Tunggal, bawaning prajagung, ruharaning tyas wong susah, paosing krĕraton gangsal wĕlas warsi, antawis laminira. | Meskipun akhirnya hidup dalam keagungan, semasa ditunggui orang tua, jika bukan keselamatan akhirnya. Waktu itu meninggalnya Sinuhun ditandai dengan sengkalan Tri Papat Rasa Tunggal. Kondisi kerajaan, gejolak hati orang dalam kesedihan, panjang (kondisi) keraton (demikian itu) sekitar lima belas tahun lamanya. |
Untuk informasi mengenai penelitian pariwisata, berupa kajian atau pendampingan lebih lanjut dapat menghubungi Admin kami di(0812-3299-9470).
No responses yet