Perencanaan Top-Down dan Bottom-Up dalam Pariwisata

Mengoptimalkan Data untuk Kebijakan Pariwisata

Pengembangan sektor pariwisata memerlukan pendekatan perencanaan yang terstruktur dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Pengembangan sektor ini seringkali menggunakan perencanaan top-down dan bottom-up. Keduanya memiliki karakteristik, kelebihan, dan kekurangan yang berbeda, yang memengaruhi hasil dari pengembangan pariwisata itu sendiri.

1. Pendekatan Top-Down

Pendekatan top-down melibatkan proses perencanaan yang dari level atas, seperti pemerintah pusat, lembaga nasional, atau organisasi besar. Kebijakan, strategi, dan arahan utama ditentukan oleh otoritas tersebut, kemudian diterapkan ke tingkat lokal.

2. Pendekatan Bottom-Up

Sebaliknya, pendekatan bottom-up mulai dari masyarakat lokal, komunitas, atau pemangku kepentingan di tingkat bawah. Ide, kebutuhan, dan aspirasi masyarakat menjadi dasar dalam menyusun rencana pengembangan.

3. Kombinasi Top-Down dan Bottom-Up

Dalam praktiknya, pendekatan yang ideal sering kali merupakan kombinasi dari keduanya. Pemerintah pusat dapat menyediakan kerangka kerja, regulasi, dan sumber daya melalui pendekatan top-down, sementara masyarakat lokal dapat berkontribusi dengan wawasan dan partisipasi aktif melalui pendekatan bottom-up. Kombinasi ini memastikan bahwa proyek pengembangan pariwisata dapat berjalan secara efisien sekaligus sesuai dengan kebutuhan lokal.

Baca Juga: Perencanaan Bottom-Up dalam Pengembangan Desa Wisata

Perbandingan Kedua Pendekatan

Aspek Top-Down Bottom-Up
Pengambilan Keputusan     Di tingkat otoritas pusat   Di tingkat komunitas lokal
Fokus Perencanaan Proyek berskala besar   Kebutuhan spesifik wilayah
Partisipasi Terbatas   Sangat tinggi
Efisiensi Waktu Lebih cepat   Cenderung lebih lambat
Kesesuaian Lokal Kurang spesifik   Sangat relevan

Contoh Implementasi

  • Pendekatan Top-Down: Pembangunan kawasan pariwisata terpadu seperti “Bali Tourism Development Corporation” (BTDC) di Nusa Dua yang dirancang oleh pemerintah pusat.
  • Pendekatan Bottom-Up: Pengembangan desa wisata seperti Desa Penglipuran di Bali, yang berhasil karena inisiatif masyarakat lokal.
  • Kombinasi: Program “Desa Wisata Mandiri” yang didukung oleh pemerintah melalui dana desa tetapi mengutamakan perencanaan berbasis komunitas.

Pemilihan pendekatan dalam pengembangan pariwisata harus disesuaikan dengan konteks dan tujuan yang ingin dicapai. Pendekatan top-down efektif untuk proyek berskala besar yang memerlukan koordinasi nasional, sedangkan pendekatan bottom-up lebih relevan untuk proyek yang mengutamakan partisipasi lokal dan keberlanjutan. Dengan menggabungkan kelebihan keduanya, pengembangan pariwisata dapat mencapai hasil yang lebih optimal dan inklusif.

Untuk informasi lainnya hubungi admin kami di:

Whatsapp: (0812-3299-9470)

Instagram: @jttc_jogja

Tags:

Comments are closed

Latest Comments