Ringkasan isi teks Babad Sunan Prabu akan dijabarkan dalam masing-masing pupuh. Adapun ringkasan isi menggambarkan isi teks secara umum dari delapan pupuh. Berikut ini penjabarannya.
- Pupuh Dhandhanggula (8 bait)
Awal teks mengisahkan tentang suasana duka atas kepulangan Susunan Sinuhun Paku Buwana I. Suara tangis keluarga dan kerabat seketika menggelegar di dalam istana. Kangjeng Ratu Kencana mendapatkan penghormatan berkabung dari putra-putri beserta keturunannya. Jenasah sang raja yang mangkat disucikan lalu disemayamkan, selanjutnya ditunggui oleh Gusti Pangeran Dipati.
Pangeran Harya Mataram, yaitu paman dari Gusti Pangeran Dipati mengucapkan belasungkawa. Pangeran Harya Mataram disertai oleh Kapten Jaswa. Sementara itu, Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar turut bersedih atas meninggalnya sang ayahanda. Mereka juga merasa khawatir terhadap sang kakak (yaitu Pangeran Dipati). Susuhunan Paku Buwana I wafat pada tahun 1643 Jawa. Hal itu ditandai dengan sengkalan tri papat rasa tunggal. Jenazah dihantarkan ke peristirahatan terakhir di Imogiri.
- Pupuh Mijil (23 bait)
Kumpeni mengangkat Kangjeng Gusti Pangeran Adipati sebagai raja menggantikan almarhum ayahandanya. Pengangkatan menjadi raja masih menunggu surat kontrak perjanjian dari Kumpeni seperti halnya telah terjadi ketika ayahandanya dulu. Sesuai perjanjian pengangkatan dilakukan oleh Kumpeni di Semarang.
Tahta sang ayahandya pantas dilanjutkan oleh Kangjeng Gusti Pangeran Adipati dengan alasan bahwa dirinya adalah putra tertua yang lahir dari permaisuri. Selain itu, sang ayahanda menyampaikan wasiat sebelum wafat di depan kerabat handai taulan serta dihadiri oleh Kumpeni.
Kapten Jaswa menyampaikan surat kontrak pengangkatan dari Betawi. Isi surat ialah sikap Kumpeni berniat melanjutkan dan membangun perjanjian seperti yang telah dilakukan antara Paku Buwana I dengan Kumpeni. Di dalam surat disebutkan juga bahwa Jendral di Betawi akan memberikan hadiah sebanyak empat ratus pikul dan hadiah lainnya jika kapal dari Eropa yang mengangkut barang-barang telah bersandar di Betawi. Kumpeni memberikan hadiah-hadiah itu sebagai bentuk tanda kasih. Kapten Jaswa membaca surat itu di bangsal kraton pada hari Ahad.
- Pupuh Dhandhanggula (25 bait)
Pukul tujuh pagi di hari Senin bertempat di pagelaran kraton telah berkumpul para bupati, mantri, para prajurit, serta Kumpeni. Di bangsal Sri Manganti, Kapten Jaswa lebih awal hadir. Pakaian yang indah dan berkilau dikenakan oleh sang putra mahkota. Kondisi di dalam istana beranjak ramai. Mereka semua telah berkumpul. Pada saat itu, Pangeran Harya Mataram dan Kapten Jaswa menyambut dengan memberikan salam atas kehadiran putra mahkota.
Pangeran Harya Mataram menyambut sekaligus menggandeng Kangjeng Gusti Pangeran Adipati dari sisi kanan, sementara itu Kapten Jaswa membersamai dari sebelah kiri. Sang putra mahkota bertahta menggantikan sang ayahanda. ia bergelar Prabu Amangkurat Senapati Ngalaga di Murti. Peristiwa itu ditandai dengan sengkalan “peksa pat ngoyag jagad”.
Seorang carik membacakan isi surat pengangkatan sekaligus perjanjian dari Kumpeni. Adapun isinya antara lain keagungan dan kekuasaan Raja Negeri Belanda terhadap negeri bawah angin dengan memberikan perintah kepada Jenderal di Pulau Jawa untuk mengangkat raja. Selanjutnya, isi surat merupakan bentuk Kerjasama agar terjalin kemanunggalan antara penduduk Jawa dengan Belanda dengan cara saling memberikan dukungan, tolong-menolong. Kumpeni dapat diandalkan jika terjadi perang. Pelantikan selesai. Acara dilanjutkan dengan pemberian selamat. Sang paman, Kapten Jaswa, serta seluruh tamu undangan yang hadir memberikan selamat dengan berjabat tangan kepada Prabu Amangkurat. Di saat bersamaan terdengar bunyi iringan gamelan dan bunyi Meriam. Turut dipentaskan pula tarian bedhaya. Acara diakhiri dengan jamuan makan. Sementara itu, di tempat lain Panembahan Herucakra yang merupakan adik dari Sunan Amangkurat mendengar berita bahwa sang ayah telah wafat.
- Pupuh Mijil (31 bait)
Prabu Amangkurat bercerita di hadapan para bendara bahwa Paku Buwana I adalah sosok yang berkharisma, bertanggungjawab, serta ucapan yang dikatakan bagaikan doa yang dikabulkan Tuhan. Almarhum telah mengatakan bahwa anak keturunannya kelak akan hidup bahagia dan menjadi raja-raja di Jawa. Anak keturunan yang tertempat tinggal di luar Pulau Jawa akan menjadi manusia yang dihormati dan dikasihi oleh sesamanya.
- Pupuh Dhandhanggula (32 bait)
Tumbuhnya perselisihan di antara keturunan Paku Buwana I. Konflik timbul ketika barang-barang simbol diambil termasuk sawah milik Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar dicabut untuk putra mahkota yang bertahta menjadi raja. Selain itu, konflik tumbuh akibat sikap Garwa Kandha yang memanasi hati Pangeran Blitar untuk merebut istana. Taktik itu dilakukan oleh Garwa Kandha sebenarnya untuk membebaskan anaknya yang bernama Ragum. Anaknya itu dipenjara di dalam istana.
Peristiwa dilanjutkan dengan pertemuan antara Pangeran Blitar dengan Pangeran Harya Mataram. Keduanya menuju ke Kapurbayan untuk berbincang enam mata dengan Pangeran Purbaya. Dari pembicaraan itu, Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya berniat untuk menyerang Prabu Amangkurat.
- Pupuh Durma (243 bait)
Garwa Kandha memimpin penyerangan terhadap Prabu Amangkurat. Pasukan Garwa Kandha sampai di alun-alun kraton Surakarta kemudian dengan segera menyerbu dan memasuki istana. Mereka yang sedang berada di dalam istana menjadi takut. Garwa Kandha bergegas menuju penjara untuk menemui sekaligus membebaskan anaknya yang bernama Ragum. Ki Tumenggung Mangun Negara bergegas menuju Loji menemui Kumpeni untuk meminta bantuan. Kumpeni segera bertindak dengan memberondong peluru lawannya. Pasukan Pangeran Blitar banyak yang terluka dan tewas. Berkat saran dari para prajurit atas perlawanan Kumpeni, maka Pangeran Blitar beserta pasukannya memilih mundur.
Mengetahui kejadian di dalam istana membuat Kangjeng Ratu menangis. Sang ibu kemudian mencari Pangeran Blitar lalu menasehatinya agar segera pergi karena Kumpenni akan menangkap Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya. Setelah itu, Pangeran Blitar menemui Pangeran Purbaya agar sang kakak segera menuju Mataram. Ketika itu juga, Ki Mangun Oneng yaitu abdi dari Pangeran Purbaya memohon izin untuk menyerang wilayah Pathi. Sesaat setelahnya, kedua pangeran bergegas pergi dan sampailah mereka di Mataram.
Di Mataram, Pangeran Purbaya mengangkat Pangeran Blitar menjadi Raja Mataram dengan gelar Sultan Ibnu Mustafa Paku Buwana Ngalaga di Ngabdurrahman Sayidinatagama. Pangeran Purbaya sendiri bergelar Panembahan Senapati Purbaya. Garwa Kandha mendapatkan gelar Tumenggung Jaya Brata. Sementara itu, seorang anak dari Prabu Amangkurat yang sejak kecil diasuh oleh Pangeran Purbaya, dinikahkan dengan Raden Ajeng Sasi.
Seorang putra dari Pangeran Blitar mendapatkan gelar Pangeran Adipati Anom. Abdi dalem banyak yang mendapatkan gelar dan kedudukan. Beberapa di antara mereka diperintahkan untuk merebut daerah-daerah lain agar dapat bergabung dengan Mataram. Ki Mas Grerit yang diberi gelar Tumenggung Sindurja ditugaskan untuk merebut Kedhu. Tumenggung Martasura ditugaskan untuk menguasai wilayah Banyumas.
Kondisi yang terjadi membuat rakyat kecil di Kartasura menjadi takut. Saat malam menjelang mereka pergi mengungsi ke Mataram. Prajurit Kartasura yang tersisa diberi uang dan kedudukan. Di sisi lain, Kumpeni datang bersama dengan pasukan orang-orang Ambon, Bugis, Makasar, dan Sembawa.
Atas situasi yang terjadi, Prabu Amangkurat mengugaskan Tuan Atmral dan seorang utusan agar pergi ke Surabaya untuk memanggil Kyai Patih Cakrajaya. Patih Cakrajaya ditemani Atmral pergi ke Kartasura setelah membaca surat dari Sinuhun Amangkurat. Selama perjalanan mereka mendengar informasi bahwa wilayah Demak telah takluk dibawah serangan Pangeran Pancawati. Namun dengan segera Atmral Baritman berhasil menewaskan Pangeran Pancawati. Ia melanjutkan perjalanan menuju Pathi lalu ke Semarang. Setibanya di Semarang, Atmral Baritman mendapatkan sepucuk surat dari Kartasura yang berisi agar melakukan penyerangan terhadap Mataram. Selain itu, Atmral Baritman juga mendapat surat dari Gurnadur Jenderal yang berisi tentang pasukan Kumpeni yang akan dibantu orang-orang Islam Ambon, Bugis, Makasar, dan Sumbawa untuk berperang. Semua pasukan itu telah bersiap-siap.
Atmral Baritman disebutkan telah sampai di Kartasura. Ia ditemui oleh Dipati Mangkupraja. Keduanya lalu menghadap raja. Di lain pihak, Panembahan Herucakra yang melarikan diri di Tembayat akhirnya dijemput menggunakan tandu menuju Mataram dengan tujuan bertemu dengan Panembahan Purbaya dan Sultan Blitar.
Atmral Baritman dan segenap pasukan Kartasura telah bersiap berperang melawan pihak Mataram. Pihak Mataram sudah mendirikan benteng pertahanan di wilayah Sanasasra. Disebutkan salah satu orang kepercayaan Panembahan Purbaya bernama Dipati Lumarap yang diikuti pasukannya bertempur sekuat tenaga melawan Kumpeni meski pada akhirnya Dipati Lumarap terkepung. Ia terkepung dari empat sisi. Dari bagian barat ia dikepung oleh Dipati Mangkupraja. Dari arah timur ia harus menghadapi Litnan Jimbaran. Dari sisi selatan para bupati telah menghadang. Sementara itu, dari arah utara Kumpeni telah bersiaga mengahadapi. Dipati Lumarap memilih pergi ke arah barat untuk menghadapi Dipati Mangkupraja. Peperangan itu menyebabkan Dipati Lumarap tewas. Berita kematian Dipati Lumarap disampaikan oleh Tumenggung Wiranegara kepada Panembahan Purbaya dan Sultan Blitar. Berdasarkan berita itu, Panembahan Purbaya dan Sultan Blitar mempersiapkan diri. Kemudian meletuslah peperangan di antara kubu Sultan Blitar dengan pihak Kumpeni. Peperangan itu menyebabkan banyak prajurit Kumpeni yang tewas, sementara itu prajurit Purbayan banyak mengalami luka. Kumpeni akhirnya mundur.
- Pupuh Sinom (278 bait)
Selama empat malam Adipati Mangkupraja dan Tuan Atmral singgah di Kartasura. Keduanya membicarakan tentang keberadaan Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya yang mana kedua pangeran itu merupakan saudara Prabu Amangkurat.Atmral Baritman dan Dipati Mangkupraja melaporkan kepada Raja Kartasura bahwa kedua pangeran itu melarikan diri setelah Mataram takluk. Pihak Atmral Baritman tidak berupaya untuk mengejar. Panembahan Purbaya dan Sultan Blitar saat itu berada di Kedhu. Keduanya lalu pulang ke Mataram.
Selanjutnya, Atmral Baritman dan Dipati Mangkupraja memohon kepada Raja Kartasura agar Patih Cakrajaya dibebaskan. Atmral menuju ke Semarang untuk membebaskan Patih Cakrajaya.Nama baik Panembahan Sultan Blitar dan Panembahan Purbaya kembali pulih karena penduduk Mataram tetap setia terhadap keduanya. Pihak Sultan Blitar dan Panembahan Purbaya berusaha lagi untuk melebarkan wilayah kekuasaan. Mereka membangun benteng di Desa Marbung. Daerah jajahan telah merambah ke daerah Kedhu.
Kartasura telah dikepung. Sinuhun Amangkurat bersedih. Ia mengangkat Raden Santareja dengan gelar Pangeran Hamangkubumi untuk melawan pasukan Mataram di Klaten. Panembahan Purbaya mengutus Panji Surengrana agar memanggil Adipati Natapura untuk menyerang Kartasura. Adipati Natapura berada di wilayah Sepanjang diberi tambahan prajurit sebesar seribu prajurit. Hal itu membuat dirinya semakin bersemangat.
Pangeran Harya Mataram telah tiba di daerah Santenan diiringi putra-putranya. Mereka adalah Raden Surya Taruna, Raden Singasari, serta Raden Jayapuspita. Mereka menyerang wilayah Jipang, Kudus, dan Demak. Ketiga wilayah itu adalah daerah kekuasaan Kartasura.
Tuan Atmral Baritman dan Patih Cakrajaya pergi ke Kartasura berangkat dari Semarang. Patih Cakrajaya diberi gelar yaitu Adipati Danureja. Ketika itu, Pangeran Panular di Kartasura sebagai pemilik banyak prajurit. Ia diperintahkan oleh Prabu Amangkurat untuk menyerang wilayah Marbung. Pangeran Panular dibantu oleh Tumenggung Malang, Brebes, serta Tegal. Setibanya di wilayah Marbung, mereka berperang melawan prajurit Mataram. Peperangan itu berlangsung delapan tahun lamanya.
Panembahan Purbaya hendak kembali ke Mataram. Seorang putranya yang bernama Pangeran Harya ditinggal di benteng. Mengetahui bahwa Panembahan Purbaya pulang ke Mataram, maka Kumpeni menyerang benteng itu lagi. Di lain tempat,, Tumenggung Natapura sebagai wakil Mataram berhasil menghancurkan bagian timur perbatasan Kartasura.
Seorang pengikut Panembahan Purbaya yang berada di Tembayat, yaitu Raden Natawijaya bertempur melawan Ngabehi Tohjaya. pada akhirnya Tembayat takluk. Sementara itu, daerah Marbung juga diserang. Penyerangan itu menyebabkan pasukan Mataram berlindung di dalam parit-parit.
Tuan Atmral dan Ki Danureja mengutus Adipati Pathi agar dapat membujuk Pangeran Harya Mataram untuk menyerahkan daerah Demak, Jepara, dan Surabaya sesuai perjanjiann dengan almarhum Sinuhun Amangkurat Ageng. Itu adalah siasat untuk menangkap sekaligus membunuh Pangeran Harya Mataram, termasuk kedelapan putra dan menantunya.
Prabu Amangkurat memanggil utusan. Ia adalah Dipati Sampang dan Ngabehi Tohjaya untuk menyerang negeri Madiun. Dipati Natapura dan Raden Jimat berangkat dari Japan sehubungan dengan pengumpulan barisan agar selanjutnya dapat bergabung dengan Sultan Blitar dan Panembahan Purbaya di Madiun. Setibanya di Madiun, mereka membangun pertahanan. Kejadian selanjutnya adalah Ki Natapura memberitahu Panembahan Purbaya dan Sultan Blitar bahwasanya lawan sudah datang bergerak dari arah utara dan selatan.
Pertempuran terjadi, pihak Mataram dari yang terdepan ialah Panembahan Purbaya dan Sultan Blitar. Sisi kanan dengan siaga prajurit Surabaya, Pangeran Jimat dan serratus orang Madura. Sebelah kiri ada Dipati Natapura dan Panembahan Herucakra beserta prajuritnya. Pihak Kartasura Bersiap Atmral Baritman, Adipati Mangkupraja, Pangeran Sampang, Kumpeni, serta Ngabehi Tohjaya. Dipati Natapura bersama prajuritnya berperang melawan prajurit pesisir. Prajurit pesisir banyak yang tewas. Sisa dari mereka berlindung di belakang Kumpeni. Pangeran Jimat beradu kekuatan dengan Adipati Sampang.
Panembahan Purbaya beserta pengikutnya sangat kuat dan solid yang akhirnya menyebabkan banyak Kuumpeni tewas. Peristiwa itu membuat gelisah Atmral Baritman. Sejurus kemudian ia segera mengumpulkan opsir serta mempersiapkan Meriam untuk disulut. Suaranya menggelegar seperti gemuruh. Malam membuat pertempuran terhenti.
Panembahan Purbaya dan seluuruuh prajuritnya mundur menuju Pranaragi kemudian ke Kedhiri. Sementara itu, di Kartasura Atmral Baritman menunjuk Ki Ngabehi Lamongan, Kapten Tonar, Kapten Babol, Kapten Pembai, Kapten Buyung, prajurit Makasar, Letnan Jimbaran dan orang Bugis agar berperang melawan Mataram. Atas takdir Tuhan, pihak Panembahan Purbaya dan Sultan Blitar kalah perang. Pangeran Madiun tertangkap lalu dibunuh di Kartasura.
Sultan Blitar pergi menyelamatkan diri ke daerah Malang. Kejadian selanjutnya ialah munculnya wabah yaitu muntah dan berak sehingga banyak Masyarakat yang mati. Selain itu, terjadi kesulitan pangan dan diikuti oleh meninggalnya Sultan Blitar dikarenakan sakit. Jenazahnya dibawa ke Kartasura untuk dihadapkan kepada Prabu Amangkurat untuk dimintakan maaf. Rombongan yang membawa jenazah Sultan Blitar dipimpin oleh Jayabrata.
Sinuhun Amangkurat memberikan tugas kepada Patih Danureja, Kumisaris Dulkup, pasukan Kumpeni, bupati pesisir, serta Dipati Semarang untuk menangkap Panembahan Purbaya. Kumisaris Dulkup menunjuk Ki Tohjaya untuk memberikan surat yang merupakan jebakan kepada Panembahan Purbaya. Surat itu disampaikan melalui Raden Senapati dan Raden Suradilaga. Surat jebakan itu berisi supaya Panembahan Purbaya kembali ke Kartasura, yang pada nantinya akan diberi sebuah wilayah sesuai yang diinginkan. Ia juga akan diberi 2.000 reyal setiap tahun, serta sawah.
Selanjutnya, setelah mengetahui isi surat maka Panembahan Purbaya berkata kepada Raden Senapati agar dapat bertemu secara langsung dengan Kumisaris Dulkup. Selain itu, agar menyampaikan bahwa Panembahan Purbaya ingin pulang ke Kartasura dengan syarat Natapura, Herucakra, Cakranegara dan pihak-pihak yang mendukungnya agar diberi ampunan. Panembahan Purbaya kemudian bertolak ke Kartasura. Berhubung sedang sakit, Panembahan Purbaya ditandu dengan kawalan dari Panembahan Herucakara, Dipati Natapura, Pangeran Cakranegara, Pasukan Madura, Suradilaga, serta Tirtanegara. Peristiwa dilanjutkan dengan pertemuan dengan Kumisaris Dulkup dan Panembahan Purbaya tiba di Kartasura. Apa yang dilakukan Kumisaris Dulkup semata-mata adalah strategi jahat untuk menangkap Panembahan Purbaya beserta pengikut-pengikutnya.
- Pupuh Dhandhanggula (43 bait)
Panembahan Purbaya dijemput oleh seorang utusan dari Betawi dengan tugas mempertemukannya dengan Jendral Betawi. Kepergian mereka lewat jalur laut bertolak dari Semarang menuju ke Betawi. Sesampainya di Betawi Panembahan Purbaya dan Panembahan Herucakra diasingkan ke Pulau Kap. Sementara itu, para pengikut Panembahan Purbaya seperti Adipati Natapura, Surapati, Suradilaga, Jaka Tangkeban diasingkan ke Selong.
Baca juga : Kutip Bait Tembang Mijil
Sunan Amangkurat IV mempunyai keturunan sejumah delapan orang putri dan dua puluh putra. Putra yang telah dewasa sebanyak dua orang. Putra pertama bernama Pangeran Harya Mangkunegara yang lahir dari Garwa Ampeyan bernama Raden Mas Sundaya. Pangeran Mangkunegara dinikahkan dengan Raden Ayu Wulan. Keduanya dikaruniai putra yang diberi nama Raden Mas Sahid. Raden Mas Sahid lahir pada Ahad Legi tanggal 4 bulan Ruwah tahun Jimakir Wuku Warigagung. Putra lelaki kedua dari Sunan Amangkurat IV diberi nama Raden Mas Prabayasa yang lahir dari Ratu Ageng.
Sunan Amangkurat IV jatuh sakit. Ia memanggil Danureja agar mengirim surat kepada Jendral Gurnadur Betawi perihal penggantinya kelak. Adapun calon pengganti yang ia restui antara lain Pangeran Harya Mangkunegara, Ki Ngabehi, Ki Dipati, dan Ki Buminata. Tidak ada nama lain di luar itu yang pantas menggantikan kedudukannya.
Sakit Sunan Amangkurat IV semakin parah. Pihak keluarga dan kerabat dikumpulkan. Sunan Amangkurat IV memerintahkan Kangjeng Ratu Ageng untuk memberikan keris pusaka kepada Pangeran Harya Mangkuengara sang putra tertuanya. Sinuhun Amangkurat IV wafat pada Sabtu Wage tanggal 17 bulan Ruwah tahun Jimakir dengan sengkalan ‘sirna tata rasa tunggal’ (1650 Jawa). Jenazah Amangkurat IV dimakamkan di Imogiri.
Untuk informasi mengenai penelitian pariwisata, berupa kajian atau pendampingan lebih lanjut dapat menghubungi Admin kami di(0812-3299-9470).
No responses yet