Tantangan dan Transformasi Budaya Digital di Yogyakarta

Digitalisasi Yogyakarta – Perkembangan digitalisasi saat ini menjadi topik perbincangan yang menarik perhatian masyarakat di seluruh penjuru dunia. Digitalisasi tidak hanya membuka pintu peluang dalam bidang bisnis saja tetapi juga menawarkan peluang besar lainnya di berbagai bidang kehidupan, seperti politik, pendidikan, bahkan bidang sosial dan budaya. Meluasnya cakupan digitalisasi ini terhadap aspek kehidupan ternyata juga memberikan tantangan baru bagi manusia agar mampu secara efisien memanfaatkan perkembangan teknologi ini secara bijak. Perubahan gaya hidup saat ini yang sangat bergantung dengan teknologi digital juga menyebabkan manusia seakan tidak dapat hidup tanpa gadget yang merupakan suatu perangkat mekanis pendukung digitalisasi.

Apapun itu, realitanya masyarakat patut bersyukur karena dengan kemajuaan pesat teknologi digital semua hal dalam berbagai aspek kehidupan menjadi lebih mudah di akses, meskipun tentu saja masyarakat dituntut untuk dapat mengendalikan dan mengontrol segala bentuk penggunaan teknologi digital tersebut dengan sebaik-baiknya. Sejak masa lampau, kata ‘teknologi’ pada dasarnya sudah sangat familiar di telinga masyarakat. Teknologi juga menjadi salah satu fokus kajian yang sering dibahas dalam disiplin ilmu antropologi. Menurut Koentjaranigrat (1990) pada lingkup masyarakat, kehidupan manusia tidak dapat lepas dari tujuh unsur kebudayaan yang tentunya salah satu dari unsur tersebut adalah ‘teknologi’. Berdasarkan tujuh unsur kebudayaan ini, teknologi merujuk pada suatu kata benda yang bersifat konkrit dan praktis karena memiliki tujuan untuk mendukung dan memudahkan beragam pekerjaan manusia. Dahulu di zaman berburu, menhir dan kapak adalah dua contoh dari apa yang dimaksud dengan teknologi.

Namun seiring berkembangnya zaman kata teknologi juga melahirkan paradoks baru yang mana kata tersebut sering dipakai secara pragmatis untuk mendefinisikan perkembangan digitalisasi, fenomena ini memberi makna bahwa definisi teknologi saat ini seolah mengerucut hanya pada fitur-fitur terkini (modern) saja. Fitur-fitur terkini yang dimaksud dalam hal ini adalah digitalisasi dan internet yang terus berkembang pesat pada abad ke-21. Pada pertengahan tahun 2019 lalu, dunia dikejutkan dengan bencana pandemi corona virus (Covid-19) yang kemudian secara impulsif mempengaruhi seluruh aspek kehidupan bermasyarakat. Memasuki penghujung tahun 2022 ini artinya menandakan sudah dua tahun lamanya pandemi Covid-19 melanda, banyak artikel-artikel ilmiah yang menganggap bahwa pandemi ini seakan menjadi tonggak perubahan digitalisasi secara instant terhadap pola kehidupan manusia. Pernyataan tersebut tentunya tidak serta merta dibenarkan oleh semua pihak, karena bisa jadi fenomena pandemi Covid-19 ini justru menunjukkan dan menjadi bukti bahwa sebenarnya digitalisasi khususnya yang ada di Indonesia sudah sejak lama berjalan secara masif dan matang.

Sebagai upaya penanggulangan penyebaran virus Covid-19, maka pada tahun 2021 pemerintah menerapkan aturan ‘Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat’ (PPKM), instruksi ini kemudian mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan berkerja, menuntut ilmu, dan lain sebagainya secara jarak jauh (online) melalui jaringan internet. Melalui penerapan aturan PPKM tersebut pada akhirnya secara langsung masyarakat Indonesia menyadari bahwa saat ini seluruh aspek kehidupan menjadi sangat bergantung pada peranan teknologi informasi. Semakin tingginya kebutuhan akan kemajuan teknologi informasi ini menjadi simbol perubahan gaya komunikasi publik di Indonesia. Bahkan, terjadi eskalasi terhadap jumlah pengguna platform media sosial sebagai sarana pendukung aktifitas kehidupan sehari-hari. Media sosial dalam hal ini digunakan oleh masyarakat tidak hanya untuk mencari informasi aktual saja tetapi juga menjadi sarana dalam menyuarakan aspirasi publik (Bell, 2007).

Proses adaptasi digitalisasi ini kemudian mengkonstruksi pola budaya dan kebiasaan baru di segala sektor kehidupan masyarakat. Selanjutnya digitalisasi dapat dikatakan sebagai proses bersatunya (titik temu) dunia maya dengan budaya. Kemajuan digitalisasi ini juga mendorong terjadinya penetrasi teknologi terhadap media sosial yang kemudian meluas ke segala aspek kehidupan manusia dalam berbagai aktivitas. Termasuk pada bidang kebudayaan yang ikut mengalami transformasi menjadi model digital.

Baca juga : Sekilas tentang Warisan Arsitektur yang Dipengaruhi Hindu

Bicara tentang digitalisasi kebudayaan, salah satu kota yang sedang gencar dalam mendigitalkan kekayaan dan warisan budayanya adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Yogyakarta dikenal sebagai kota yang menyimpan banyak warisan budaya leluhur Jawa, sehingga masyarakat Indonesia pada umumnya menjuluki kota ini sebagai “Kota Seni dan Budaya”. Oleh karena itu dengan memanfaatkan digitalisasi, Yogyakarta kini semakin terbuka dalam memberi akses kepada masyarakat yang ingin mempelajari kebudayaannya. Berdasarkan hasil wawancara dengan KGPAA Paku Alam X (2022) yang juga menjabat sebagai Wakil Gubernur D.I. Yogyakarta, beliau mengatakan bahwa digitalisasi sesuatu yg tidak bisa kita tolak, karena institusi yg menolak perubahan hanyalah ‘kuburan’ dan ada satu hal yg tidak bisa kita nafikan saat ini, yaitu realita bahwa cara mendapatkan informasi itu bergantung pada life style dan perkembangan zaman, inilah yang kemudian juga mengubah gaya dan pola pikir hak hidup seseorang. Perlu diingat, informasi merupakan hak dasar manusia. Setiap individu punya hak untuk mendapatkan informasi yang benar. Itu sebabnya setiap tanggal 28 September diperingati sebagai hari keterbukaan informasi publik di seluruh dunia.

Untuk informasi mengenai penelitian pariwisata, berupa kajian atau pendampingan lebih lanjut dapat menghubungi Admin kami di 081232999470.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

seventeen − two =

Latest Comments