Ayo dolan menyang Sekaten, gamelane wis muni. Begitulah kalimat lawas yang sering meluncur dari bibir masyarakat pedesaan Jawa guna menandai sudah diwiwitinya ritual tahunan Sekaten. Saat ini juga, pihak Keraton Kasunanan Surakarta menggelar Garebeg Sekaten. Sejatinya, perayaan warisan kerajaan Demak itu merupakan strategi politik penguasa untuk membaurkan Islam dengan Jawa, bukan malah menjauhkan Jawa dengan Islam.
Mari kita buka kamus terlebih dahulu. Dalam bahasa Jawa, kata garebeg, grebeg, gerbeg bermakna: suara angin menderu. Soetedjo (1991) melacak lebih jauh etimologi kata garebeg ke dalam bahasa Jawa kuno, yang artinya “bising, riuh, ramai, atau keramaian”. Juga berarti “suara gemuruhnya angin”.
Mengacu etimologi tersebut, arti atau pengertian upacara garebek memamerkan adanya suatu keramaian atau perayaan dalam pengertian sekarang. Terminologi garebeg atau grebeg di sini masih menunjuk makna fisik dari upacara garebeg yang hingga zaman modern tetap dijubeli ratusan hingga ribuan orang, dan menimbulkan keriuhan terlebih saat perebutan gunungan di pelataran masjid agung.
Upacara garebeg merupakan upacara kerajaan atau negara. Yang punya hajat, yakni raja, sultan, sunan atas nama kerajaan atau negara. Dalam konteks ini, pengertian garebeg bertemali dengan peristiwa raja berbusana kebesaran miyos (keluar) dari keraton menuju sitihinggil. Raja ginarebeg (diiringi) oleh ratusan orang yang terdiri atas sentana dalem, para putra, keluarga dan kerabat raja, prajurit, serta para tamu undangan, sehingga suara prosesi (arak-arakan) menjadi gemuruh. Semua yang hadir dalam upacara itu mengenakan pakaian kebesaran.
Mereka kemudian mendengarkan gamelan yang ditabuh para abdi dalem niyaga keraton. Umar Kayam (2012) menerangkan, Gamelan Kyai dan Nyai Sekati bukan sakbaene gamelan. Maka, yang mendengarkan pada merinding semua. Merinding yang baik, bukan merinding yang bikin ngeri. Merinding yang bikin nglangut. Bikin adem dan tentram. Plang plung plang plung, ning bikin mak nyes di hati dan pikiran.
Puluhan hingga ratusan orang nglesot di halaman masjid gedhe, di bawah gapura, di emperan, di bawah pohon, dengan wajah entah ke mana mendengarkan suara gamelan itu dengan syahdunya. Para simbok-simbok datang dari desa sekitar Solo mendengarkan alunan bunyi gamelan yang bikin hati dan pikiran mak nyes, serta menikmati segarnya sirih yang akan membuat mereka awet muda. Inilah salah satu daya tarik kolektif dari sebuah tradisi peninggalan Walisongo untuk menjawakan Islam. Kita sadar, Islam bukan dari telatah Nusantara, melainkan ajaran yang dibawa (diimpor) dari belahan dunia lain.
Kebudayaan lokal kemudian mengolah kebudayaan asing sesuai dengan karakteristik ataupun kepentingannya. Contoh yang paling gamblang, istilah Sekaten diciptakan untuk menjawakan syahadatain atau dua kalimat syahadat yang berbunyi asyhadu alla ilahaillallah wa asyhadu anna Muhammadar rasullah yang berarti saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang disembah kecuali Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
Terlihat pula betapa ajaran Islam dilesakkan pada masyarakat tidak lewat jalan kekerasan maupun memakai pentungan. Budaya asli Jawa yang lentur justru direngkuh dijadikan sebagai “alat”, bukan dimasukan peti sejarah dan dicap klenik. Bukankah manusia Jawa tempo doeloe punya strategi kultural canggih untuk tidak menelan mentah-mentah kebudayaan asing, yaitu Jawa ayo digawa, Arab digarap, Barat diruwat” (Budaya Jawa mari kita bawa, Arab dikerjakan, Barat dipelihara). Kerajaan Islam Demak sudah meletakkan pemahaman itu, dan berhasil direngkuh oleh para pewarisnya dalam Dinasti Mataram Islam.
Yang juga menarik ialah pengunjung dari berbagai daerah dan lintas etnis-agama bertatap muka dan berinteraksi. Pertemuan mereka di lingkungan Sekaten merupakan potret keharmonisan warga kendati waktunya singkat. Nilai sosial terekam, pihak keraton sebagai penyelenggara dan masyarakat sekitar sebagai pendukung merasa handarbeni atas kegiatan kultural ini. Terjadilah kontak sosial yang saling mendukung.
Dewasa ini upacara Sekaten yang dilaksanakan saban bulan Mulud tersebut fungsinya bergeser untuk misi pariwisata budaya, tidak lagi murni kegiatan penyebaran agama Islam. Akan tetapi, ia sesungguhnya “museum hidup” yang mengisahkan kehebatan nenek moyang berdialog dengan kebudayaan luar tanpa harus menanggalkan baju kebudayaannya. Sekaten berfungsi sebagai penjaga memori kolektif betapa tangguhnya masyarakat Jawa di masa lampau (Heri Priyatmoko, 2016)
No responses yet