Menurut Penetrasi Modal Luar Desa Wisata yang sudah berkembang mudah terkena “penetrasi modal luar”, sehingga formatnya berubah dari kegiatan dan modal berskala kecil ke “kegiatan kecil dengan modal berskala menengahbesar”. Pada awalnya masyarakat lokal akan mengembangkan fasilitas dasar di desa, sekaligus menyediakan fasilitas atraksi maupun akomodasi. Namun dalam perkembangan selanjutnya, penyediaan fasilitas-fasilitas tersebut diambil-alih aleh pemodal besar, misalnya dengan mendirikan akomodasi eksklusif, yang pada gilirannya mempersempit kesempatan masyarakat lokal untuk mengembangkan usaha. Pola “penetrasi modal luar” juga dapat terjadi dalam bentuk jaringan permodalan, di mana pemilik modal berinvestasi di berbagai jenis usaha pariwisata di desa, sementara masyarakat berperan sebagai mitranya.
Desa wisata berpotensi terjebak oleh stagnasi. Setelah sekian lama dikunjungi wisatawan, aktivitas pariwisata semakin menurun. Hal ini muncul akibat terbatasnya inovasi pengembangan atraksi. Sejak dipasarkan sebagai destinasi, desa wisata tetap menawarkan atraksi yang “itu-itu saja”, kurang terorganisir (atraksi ditata bagus ketika wisatawan menjelang datang), kinerjanya jarang dievaluasi. Kasus di Tunisia dilaporkan oleh Ludwig (1990) dengan menyebutkan monotoni atraksi sebagai ancaman serius bagi aktraktivitas desa wisata negeri tersebut. Pengelola desa wisata terlalu cepat puas ketika rombongan wisatawan berkunjung dalam jumlah besardalam jangka pendek, kemudian tidak tahu ingin berbuat apa ketika masa kunjungan berlalu. Hal ini diperburuk oleh program pemasaran yang tidak tepat membidik sasaran. Tidak jarang juga pengelola desa wisata cenderung menunggu pasar daripada proaktif menyisir segmen pasar potensial.
Dalam suatu kawasan destinasi, desa wisata cenderung berkembangsecara kuantitatif, tetapi lemah dalam daya saing. Terinspirasi oleh kesuksesan yang dicapai oleh satu desa wisata, maka desa-desa lain seakan berlomba untuk menjadi destinasi wisata baru. Penataan fisik dilakukan dengan cara mobilisasi warga desa. Sepintas hal ini tampak sebagai suatu bukti penyiapan diri menyongsong geliat pariwisata yang menjanjikan keuntungan besar atau sikap respansif desa terhadap induksi perubahan-perubahan sosial; ekonomi dan budaya di desa. Namun dalam banyak kasus sebenarnya upaya itu lebih dipicu kegairahan memperoleh simbol status baru yang lebih bergengsi; yakni desa wisata. Tentu patut dibanggakan kalau semakin banyak desa wisata yang layak untuk dijual dan dikunjungi. Sebaliknya akan sangat kontraproduktif, apabila penamaan desa wisata hanya mengisi kekosongan angka-angka statistik. Faktanya, tidak sedikit dari desa-desa wisata baru ini mengimitasi atraksi dan produk-produk wisata yang ditawarkan oleh desa wisata sebelumnya. Akibatnya, bukan daya saingnya yang dibangun, tetapi aura persaingan antar-desa wisata yang semakin tajam dan condong tidak sehat.
Desa wisata sebaiknya dikelola oleh sumberdaya manusia yang memiliki karakter entrepreneur. Pariwisata apa pun bentuknya adalah entitas bisnis yang menuntut kejelian pengelolanya menciptakan dan menangkap peluang keuntungan. Pengelola yang memiliki semangat wirausaha dan kemampuan menjalankan praktek bisnis merupakan salah satu faktor penentu sukses desa wisata. Di pedesaan Australia, Ollenburg (2006) menemukan kisah-kisah keberhasilan desa wisata berbasis pertanian sangat terkait dengan spirit wirausaha yang kuat di kalangan penggiat pariwisata. Kalangan petani melihat pariwisata bukan sebagai pelarian aktivitas ekonomi, tetapi menjadikannya sebagai bagian dari kegiatan pertanian keluarga. Barangkali hal ini berbeda dengan kondisi di desa-desa kita yang menempatkan pariwisata sebagai aktivitas pendamping dan belum sepenuhnya terintegrasi dengan aktivitaspertanian. Pada umumnya sumberdaya manusia yang mumpuni relatif sulit ditemukan di desa karena lebih tertarik dengan daya pikat-atau terbawa arus migrasi ke-perkotaan.
Desa wisata cenderung mudah terkena dampak lingkungan perkembangan pariwisata itu sendiri. Meskipun kesadaran lingkungan pada masyarakat setempat cukup baik, misalnya mengkonservasi lahan dan hutan di sekitar desa, namun hal itu dilakukan karena nilai tambahnya tidak sepadan dengan keuntungan dari pemanfaatannya. Kesadaran ini dapat berubah cepat, ketika lahan tersebut memberikan keuntungan ekonomi lebih tinggi, misalnya melalui pembangunan amenitas dan fasilitas pariwisata lainnya. Di samping itu, pemanfaatan bahan baku lokal semakin terbatas, sedangkan penggunaan bahan baku asing sering diutamakan di dalam pembangunan infrastruktur pariwisata, baik karena alasan kepraktisan, maupun karena tututan citra modern.
No responses yet